Mewujudkan “Piramida” Zonasi CoViD-19

Peta Jalan “Down-grade” Pandemi Menjadi Endemi

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

Pengetatan dan pelonggaran mobilitas masyarakat, misalnya, harus dilakukan paling lama setiap minggu, dengan merujuk kepada data terkini. Mungkin hal ini sering dibaca sebagai kebijakan yang berubahubah, atau sering dibaca sebagai kebijakan yang tidak konsisten. Justru itulah yang harus kita lakukan, untuk menemukan kombinasi terbaik antara kepentingan kesehatan dan kepentingan perekonomian masyarakat. Karena virusnya yang selalu berubah dan bermutasi, maka penanganannya pun harus berubah sesuai dengan tantangan yang dihadapi.

(Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi di hadapan Sidang Umum MPR, 2021)

Selama lima hari berturut-turut (sejak akhir pekan kedua September 2021) penambahan kasus CoViD-19 sangat melandai. Bagai turun secara dramatik, sudah di bawah 5 ribu kasus per-hari. Membanggakan, sekaligus menjadi pengharapan pandemi akan segera berlalu. Konsekuensinya, pemerintah merevisi “level” pelaksanaan PPKM, ditakar dengan assesmen berdasar guideline WHO (World Health Organization, Badan Kesehatan Dunia). Seluruh daerah telah naik kelas level ke-pandemi-an.

Dibanding masa “ledakan” pandemi pertengahan Juli lalu, kasus positif turun sebesar 96%. Daerah dengan PPKM level 4 tersisa sebanyak 23 kabupaten dan kota, seluruhnya di luar Jawa dan Bali. Serta daerah PPKM level 3 sebanyak 74 daerah. Peserta PPKM level 2 kini menjadi yang terbanyak, tercatat di 23 kabupaten dan kota. Sedangkan PPKM level 1 semakin bertambah. Berdasar assesmen Kementerian Kesehatan, beberapa daerah di Jawa Timur sudah dikategorikan PPKM level 1.

Penurunan dramatik kasus CoViD-19 menjadi perhatan dunia. Selama tujuh pekan ke-pandemi-an.turun secara konsisten. Selanjutnya diharapkan gambar level pandemi akan berbentuk bangunan “piramida.” Zona merah (yang paling parah) berada pada bagian puncak piramida, dengan sedikit area skala mikro. Di bawahnya terdapat zona oranye, dan zona kuning, yang lebih melebar. Sedangkan zona hijau (yang berstatus risiko paling ringan) semakin meluas, dengan daerah paling banyak.

PPKM masih diperpanjang lagi ke-8 kali, sejak diberlakukan pada tanggal 3 Juli 2021 lalu. Seluruh Jawa dan Bali telah bebas PPKM level 4. Tetapi masih terdapat 23 kabupaten dan kota di kawasan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Papua, masih harus melanjutkan PPKM level 4 hingga 20 September. Kementerian Kesehatan melakukan assesmen setiap pekan di seluruh daerah. Pemerintah mentarget seluruh propinsi akan masuk PPKM level 2 pada November 2021.

Gambar “piramida” merupakan tahapan menuju pandemi terkendali. Selanjutnya seluruh daerah bisa berstatus zona hijau. Walau masih ditemukan kasus positif CoViD-19, tetapi di bawah 1 kasus per-100 ribu penduduk. Maka pemerintah (pusat) berkewajiban menjamin ketersediaan obat CoViD-19, yang mudah diakses rumah sakit, dan Satgas daerah. Begitu pula pemerintah desa juga bisa meningkatkan partisipasi dengan siaga menyediakan isolasi terpusat.

Berkah “Ledakan” Kasus

Namun masih diperlukan assesmen ulang tentang warna zona, sekaligus antisipasi penanganan. Antara lain, jumlah kasus pada zona merah, perlu diperkecil. Jika ditemukan 10 kasus, bisa dianggap KLB (Kejadian Luar Biasa). Diperlakukan seperti KLB Demam Berdarah Dengue (DBD), dan KLB Tuberculosis (TB). Sehingga daerah (kabupaten dan kota) zona hijau benar-benar aman, tanpa risiko wabah secara sistemik. Walau CoViD-19 masih akan selalu bisa ditemukan.

Tetapi diduga, “piramida” akan dimulai dari kota besar utama di pulau Jawa. Megapolitan Jakarta, Surabaya, dan Semarang, yang dahulu menjadi pusat pasien CoViD-19, akan mengawali lolos pandemi. Karena konon CoViD-19 masih akan selalu ada dalam kehidupan sehari-hari. masyarakat. Namun fasilitas kesehatan yang memadai (dan kecakapan tenaga kesehatan), maka virus SARS-2 (CoViD-19) bisa cepat disembuhkan.

“Modal” utama kota-kota besar lolos pandemi, sesungguhnya bukan sekadar keunggulan fasilitas kesehatan. Melainkan “ledakan” kasus yamg diperoleh dari penambahan testing, dan tracing. Memperbesar testing merupakan langkah “berani.” Karena biasanya beberapa daerah lebih suka memperkecil intensitas testing. Risiko “ke-berani-an” testing, adalah kemungkinan semakin banyak masyarakat terdeteksi positif CoViD-19. Berkonsekuensi memperluas treatment (pengobatan).

Namun Satgas CoViD-19 Jakarta, misalnya, melakukan testing sebanyak 800% lebih besar dibanding standar WHO. Dalam sehari dilakukan testing terhadap 18.876 orang, yang terdeteksi positif sebanyak 969 orang (5,1%). Niscaya makin memberatkan penanganan, terutama penyediaan ruang isolasi, dan pengobatan. Juga pemberian Bansos (Bantuan Sosial). Namun berkahnya sangat besar. Terutama bisa menjejaki pemetaan area, dan mencegah ke-parah-an penularan.

Di Surabaya, testing juga dilakukan masif di setiap pintu masuk dari luar kota. Surat Keterangan swab antigen menjadi syarat masuk masuk Surabaya, atau menjalani swab di lokasi penyekatan. Termasuk di ujung jembatan Suramadu (ruas pilar Surabaya). Sampai memicu demo pelintas Suramadu. Pemkot Surabaya tetap kukuh. Bahkan setiap temuan kasus positif, dilanjutkan tracing dengan takaran satu banding dua puluh, menyasar kontak terdekat. Tracing di Surabaya telah melebihi standar Kementerian Kesehatan (1 banding 15).

Konsekuensi Pandemi

Penurunan kasus CoViD-19 layak menjadi perhatian dunia, karena Indonesia tidak pernah melakukan lockdown. Karena UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, tidak mengenal istilah lockdown (penutupan area). Tetapi memiliki frasa kata yang senafas dengan “lockdown.” Pada pasal 15 ayat (2) huruf b, dinyatakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala besar), sebagai tindakan kekarantinaan kesehatan. Berlanjut PPKM. Menjadi terbesar di dunia, karena melibatkan 165 juta jiwa penduduk.

Namun niscaya, PSBB, dan PPKM, bukan suasana yang mem-bahagia-kan. Nyata-nyata menimbulkan kerugian ekonomi sangat besar, dialami seluruh rakyat, dan pemerintah tekor. Kalkulasi kerugian pernah dihitung pemerintah Malaysia, akibat lockdown mencapai Rp 3,4 trilyun per-hari! Dalam setahun mencapai Rp 1.237 trilyun. Pemerintah Indonesia juga tekor, terutama menggelontor anggaran penanganan CoViD-19, sekitar seperempat total APBN (sekitar Rp 687 trilyun).

Konsekuensi logis pembatasan kegiatan masyarakat, pemerintah wajib melaksanakan upaya preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), dan promotif (perbaikan) kesehatan. Serta wajib pula menggelontor bantuan sosial (Bansos) terdampak pandemi. APBN tahun 2021 telah mempagu anggaran khusus belanja vaksin sebesar Rp 74 trilyun. Naik sebesar 26,48% dibanding tahun 2020, karena sasaran vaksin bertambah (menyasar anak usia 12-17 tahun, dan dosis ketiga).

Begitu pula impor belanja obat, vitamin, dan alat kesehatan (ringan) selama semester I (Januari-Juni) dari China, mencapai US$ 810,7 juta (dengan kurs setara Rp 11,6 trilyun, dengan kurs Rp 14.300). Pencegahan, dan pengobatan menjadi kewajiban pemerintah. Secara lex specialist, tertuang dalam UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada pasal 153, dinyatakan, “Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata … untuk pengendalian penyakit menular ….”

Jaminan ketahanan kesehatan juga diamanatkan konstitusi, tercantum dalam UUD pasal 28H ayat (1). Begitu pula Bansos, sebagai mandatory berdasar UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Tercantum dalam pasal 26 tentang bantuan pemenuhan kebutuhan dasar. Berdasar pasal 48 huruf d, pemenuhan kebutuhan dasar merupakan prosedur tetap penyelenggaraan penanggulangan bencana. Ironisnya Bansos hingga kini masih memerlukan validasi massif, karena masih banyak rakyat luput dari catatan sebagai penerima perlindungan sosial.

Assesmen level ke-darurat-an berdasar guideline WHO patut dicermati lebih seksama. Pemerintah perlu membangun komunikasi ke-pandemi-an yang lebih ramah. Terutama penurunan level ke-darurat-an, yang lebih jujur. bisa mencegah kegelisahan (dan kegaduhan) sosial akibat terkungkung PPKM level yang diperberat. Penurunan level PPKM sekaligus sebagai apresiasi, bukti sukses kinerja tenaga kesehatan.

——— 000 ———

Tags: