Mewujudkan Sekolah Berbasis Pesantren

Oleh :
Tuti Haryati, M.Pd
Penulis adalah pemerhati literasi, Kepala Sekolah SMP Islam Al Azhaar Tulungagung.

Penanaman karakter ke anak bukanlah hal baru. Setiap orang tua di segala Negara dan di sekala Zaman selalu menanamkan karakter kepada anaknya.Hidup tanpa karakter adalah Hidup tanpa tujuan, tanpa ruh, dan tanpa semangat. Karakter sebagai modal psiko mental, dengan demikian harus diturunkan kepada anak sejalan denganmenurunkan kemampuan mereka untuk mencari ilmu, dan terus hidup.Penanaman karakter Islam merupakan salah satu keistimewaan pesantren.
Sekolah berbasis pesantren (SBP) adalah sekolah yang menyatukan keunggulan sistem pendidikan sekolah dan pesantren. Sejak awal kelahirannya, pesantren tumbuh, berkembang dan tersebar di berbagai pedesaan dan perkotaan. Keberadaan pesantren sebagai lembaga keislaman yang sangat kental dengan karakteristik Indonesia ini memiliki nilai-nilai yang strategis dalam pengembangan sikap dan perilaku masyarakat Indonesia. Realitas menunjukkan, pada satu sisi, sebagian besar penduduk Indonesia terdiri dari umat Islam, dan pada sisi lain, mayoritas dari mereka tinggal di pedesaan.
Berdasarkan realitas tersebut, pesantren sampai saat ini memiliki pengaruh kuat pada hampir seluruh aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim yang taat. Kuatnya pengaruh pesantren tersebut membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan perilaku masyarakat Islam khusus bagi yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren.
Menurut penulis bahwa tulisan ini mengankat kiprah yang dilakukan pesantren, peran ustadz ustadzah dan metode pembentukan perilaku santrinya. Dari penelusuran itu, langkah-langkah pesantren itu ke depan sangat penting untuk didiskusikan secara intens agar pesantren benar-benar bisa eksis, berperan maksimal mengantarkan masyarakat pada kemampuan untuk menyikapi kehidupan-kehidupan kontemporer dengan segala dampak yang dibawahnya.
Seperti contoh yang terjadi di sekolah penulis, bagaimana peran orang tua, santri dan sekolah harus sinergi. Santri harus bermukim di pondok dengan harapan santri bisa fokus dan mengikuti semua kegiatan pondok, tidak memikirkan pulang sehingga kemandirian, betah di pondok akan tercipta. Bagi pesantren setidaknya ada 7 metode yang diterapkan dalam membentuk perilaku santri, diantaranya :
Pertama Metode Keteladanan, Secara psikologis, manusia sangat memerlukan keteladanan untuk mengembangkan sifat-sifat dan potensinya. Pendidikan perilaku lewat keteladanan adalah pendidikan dengan cara memberikan contoh-contoh kongkrit bagi para santri. Dalam pesantren, pemberian contoh keteladanan sangat ditekankan. Pimpinan dan ustadz harus senantiasa memberikan uswah yang baik bagi para santri, dalam ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun yang lain.
Kedua Metode Latihan dan Pembiasaan. Mendidik perilaku dengan latihan dan pembiaasaan adalah mendidik dengan cara memberikan latihan-latihan terhadap norma-norma kemudian membiasakan santri untuk melakukannya. Dalam pendidikan di pesantren metode ini biasanya akan diterapkan pada ibadah-ibadah amaliyah, seperti shalat berjamaah, kesopanan pada pimpinan dan ustadz. Pergaulan dengan sesama santri dan sejenisnya. Sedemikian, sehingga tidak asing di pesantren dijumpai, bagaimana santri sangat hormat pada ustadz dan kakak-kakak seniornya dan begitu santunnya pada adik-adik pada junior, mereka memang dilatih dan dibiasakan untuk bertindak demikian.
Ketiga Mendidik melalui ibrah (mengambil pelajaran). Secara sederhana, ibrah berarti merenungkan dan memikirkan, dalam arti umum bisanya dimaknakan dengan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa. Abd. Rahman al-Nahlawi, seorang tokoh pendidikan asal timurtengah, mendefisikan ibrah dengan suatu kondisi psikis yang manyampaikan manusia untuk mengetahui intisari suatu perkara yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan, ditimbang-timbang,
Keempat Mendidik melalui mau’idzah (nasehat). Mau’idzah berarti nasehat. Rasyid Ridla mengartikan mauidzah sebagai berikut. “Mau’idzah adalah nasehat peringatan atas kebaikan dan kebenaran dengan jalan apa yang dapat menyentuh hanta dan membangkitkannya untuk mengamalkan”.
Kelima Mendidik melalui kedisiplinan, Dalam ilmu pendidikan, kedisiplinan dikenal sebagai cara menjaga kelangsungan kegiatan pendidikan. Metode ini identik dengan pemberian hukuman atau sanksi. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran siswa bahwa apa yang dilakukan tersebut tidak benar, sehingga ia tidak mengulanginya lagi.
Di pesantren, hukuman ini dikenal dengan istilah takzir. Takzir adalah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar. Hukuman yang terberat adalah dikeluarkan dari pesantren. Hukuman ini diberikan kepada santri yang telah berulang kali melakukan pelanggaran, seolah tidak bisa diperbaiki. Karena mencoreng nama baik pesantren.
Keenam Mendidik melalui targhib wa tahzib, Terdiri atas dua metode sekaligus yang berkaitan satu sama lain; targhib dan tahzib. Targhib adalah janji disertai dengan bujukan agar seseorang senang melakukan kebajikan dan menjauhi kejahatan. Tahzib adalah ancaman untuk menimbulkan rasa takut berbuat tidak benar.Tekanan metode targhib terletak pada harapan untuk melakukan kebajikan, sementara tekanan metode tahzib terletak pada upaya menjauhi kejahatan atau dosa.
Ketujuh Mendidik melalui kemandirian. Kemandirian tingkah-laku adalah kemampuan santri untuk mengambil dan melaksanakan keputusan secara bebas. Proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan santri yang biasa berlangsung di pesantren dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu keputusan yang bersifat penting-monumental dan keputusan yang bersifat harian. Pada tulisan ini, keputusan yang dimaksud adalah keputusan yang bersifat rutinitas harian. ukhuwahsantri.blogspot.co.id
Terkait dengan kebiasan santri yang bersifat rutinitas menunjukkan kecenderungan santri lebih mampu dan berani dalam mengambil dan melaksanakan keputusan secara mandiri, misalnya pengelolaan keuangan, perencanaan belanja, perencanaan aktivitas rutin, dan sebagainya.Hal ini tidak lepas dari kehidupan mereka yang tidak tinggal bersama orangtua mereka dan tuntutan pesantren yang menginginkan santri-santri dapat hidup dengan berdikari. Santri dapat melakukan sharing kehidupan dengan teman-teman santri lainnya yang mayoritas seusia (sebaya) yang pada dasarnya memiliki kecenderungan yang sama. Apabila kemandirian tingkah laku dikaitkan dengan rutinitas santri, maka sudah jelas santri memiliki tingkat kemandirian yang tinggi.

                                                                                                   ————- *** —————

Rate this article!
Tags: