Pemerintah mencabut subsidi minyak goreng (migor) yang semula diberikan kepada industri migor. Sebelumnya, pemerintah telah membuka kembali “keran” ekspor CPO (Crude Palm Oil, minyak sawit), karena stok bahan migor sudah melimpah. Tetapi seleuruh kebijakan pemerintah belum bisa serta-merta mewujudkan harga migor murah terjangkau. Juga belum sesuai HET (Harga Eceran Tertinggi) yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah masih perlu secara ketat menjamin pasokan bahan migor dalam negeri.
Kalangan pengusaha kebun sawit, CPO, dan pabrik migor, sudah “keok” terpukul kebijakan moratorium bahan minyak goreng (sawit dan CPO). Walau moratorium hanya tiga pekan. Ketersediaan sawit melimpah, dan murah. Tetapi tidak merugikan petani sampai mendalam. Karena sebelumnya petani juga menerima “berkah” harga sawit global yang super mahal. Saat ini harga TBS (Tandan Buah Segar) sawit rata-rata sebesar Rp 4 juta per-ton.
Tetapi jika tidak di-iringi kebijakan yang tepat, maka seluruh tandan sawit (dan hasil sawit) akan meluncur ke luar negeri. Karena harga CPO (Crude Palm Oil) internasional masih sangat tinggi. Dalam bentuk curah seharga Rp 26 juta per-ton. Tidak ada pengusaha yang rela melepas “peluang” harga tinggi. Sehingga pemerintah harus lebih ketat menjalankan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation). Setiap pengusaha CPO wajib memasok 20% kuota ekspor untuk kebutuhan dalam negeri.
Sebenarnya kebutuhan minyak goreng dalam negeri tidak banyak, jika dibanding kesanggupan produksi CPO sebanyak 45 juta ton (60% pasokan dunia). Kebutuhan CPO untuk migor hanya 194 ribu ton per-bulan (2,328 juta ton setahun). Tetapi karena seluruh CPO dijual ke manca negara, maka ketersediaan dalam negeri hanya sebanyak 64,5 ribu ton. Hanya di-sisa-kan sepertiga dari kebutuhan. Itu yang membuat gemas semua orang, termasuk presiden Jokowi.
Kebutuhan migor dalam negeri bagai negara yang tidak memiliki kebun sawit. Terjadi antrean sangat panjang pembelian migor sesuai HET (migor curah seharga Rp 14 ribu per-liter). Sedangkan harga migor (kemasan sederhana) di Malaysia hanya sebesar Rp 8.500,- per-kilogram (sekitar Rp 6.400 per-liter). Sampai presiden menetapkan moratorium ekspor bahan migor. Menjadi syok terapi yang manjur. Ketersediaan migor dalam negeri mencapai 211 ribu ton (pada bulan April 2022).
“Kemenangan” sudah di depan mata, harga dan kecukupan pasokan sudah memadai. Pemerintah pada awal Pebruari 2022 telah menetapkan HET (Harga Eceran Tertinggi) minyak goreng curah sebesar Rp 11.500,- per-liter. Serta minyak goreng kemasan sebesar Rp 14.000,- per-liter. Namun HET tidak pernah terealisasi di pasaran. Harga minyak goreng makin melambung. Pemberlakuan DMO (Domestic Market Obligation) juga tidak digubris.
Dengan DMO, seharusnya, seluruh pasar (tradisional, dan pasar modern), akan “dibanjiri” migor. Namun nampaknya, pengusaha CPO, masih “mabuk” keuntungan dengan harga minyak sawit yang makin melangit. Setelah pembukaan kembali keran ekspor, diharapkan seluruh pengusaha CPO mematuhi kebijakan kecukupan pasokan dalam negeri, dengan menyisihkan 20% jatah ekspor untuk kebutuhan Migor. Jika harga Migor masih tinggi, maka bisa jadi “keran” ekspor CPO akan ditutup lagi, lebih lama.
Harga Migor dalam negeri wajib terjangkau, karena 80% areal milik negara. Ironis, dalam 6 bulan (sejak Desember 2021) harga Migor terus melambung. Sekaligus terjadi kelangkaan. Harga migor tanpa subsidi kepada pengusaha, merupakan prinsip keadilan sosial. Bahkan harga migor dalam negeri (sesuai HET Rp 14 ribu) masih tergolong tinggi, disbanding negeri tetangga. Berdasar konstitusi, pemerintah berkewajiban menjamin harga Sembako terjangkau (murah dan mudah), termasuk minyak goreng.
——— 000 ———