Migrasi Penduduk Pasca Lebaran

ANi Sri RahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Kota-kota besar saat ini mulai menunjukkan geliatnya pascaliburan Idul Fitri. Dinamika sosial ekonomi akan kembali pada posisi semula. Salah satu masalah klasik yang dihadapi kota-kota besar adalah meningkatnya proses urbanisasi dan migrasi kaum pendatang dari daerah.
Gejala urbanisasi dan migrasi ini bukan semata-mata masalah fisik atau ekonomi. Tetapi, sudah menjadi masalah sosial kependudukan yang kompleks. Mereka dibawa saudara maupun tetangganya yang sudah terlebih dahulu tinggal di kota-kota besar. Mereka yang menjadi masalah adalah kaum pendatang yang tidak memiliki keahlian memadai. Hal ini menjadi masalah klasik yang dihadapi kota-kota besar pasca-Lebaran. Cara penyelesaiannya tidak menunjukkan akar masalah sesungguhnya.
Masalah klasik ini sebenarnya terjadi karena beberapa hal. Pertama, pusat pertumbuhan ekonomi masih terpusat di kota-kota besar yang jadi magnet pertumbuhan ekonomi nasional. Setiap orang dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan berlomba-lomba bermigrasi ke kota-kota besar berharap keberuntung.
Kedua, karena kota-kota besar masih sebagai sentral pembangunan, faktanya, keadilan pembangunan belum tersebar di daerah-daerah. Kita menjumpai di lapangan bahwa pembangunan belum bisa dikembangkan di kawasan-kawasan yang masih potensial, terutama di luar Jawa. Kita memerlukan pengembangan kawasan sebagai bagian dari strategi pembangunan sosial yang berkeadilan.
Ketiga, akibat migrasi, kaum pendatang dari berbagai daerah memberikan implikasi kependudukan bagi daerah-daerah, yaitu semakin berkurangnya sumber daya manusia (SDM) di daerah maupun perdesaan. Khususnya, SDM terdidik yang dipercaya menjadi aktor utama pembangunan daerah. SDM daerah maupun perdesaan tergiur dengan kesempatan kerja maupun tingginya gaji di perkotaan. Sebenarnya, hal ini fenomena yang manusiawi. Tetapi, akan menjadi masalah besar jika pemerintah tak mampu menyelesaikannya.
Akar Masalah
Kekhawatiran Pemerintah terhadap meningkatnya pendatang pasca-Lebaran tentu dapat dipahami dalam konteks dinamika pembangunan sosial ekonomi. Ancaman migrasi dan urbanisasi para pendatang dari daerah terjadi karena persoalan keadilan pembangunan yang tidak merata di Indonesia. Realitas di lapangan, kita bisa melihat bahwa kota-kota besar adalah impian penduduk Indonesia untuk bekerja. Selagi masalah ketidakadilan pembangunan masih belum bisa diatasi maka melonjaknya migrasi pendatang selalu akan terjadi setiap tahunnya. Ancaman ini memberikan beberapa implikasi.
Pertama, kapasitas demografi akan semakin meningkat dan akan menghadapi tantangan semakin besar dengan akses lahan yang mendukung kehidupan warganya dengan aman dan nyaman. Ini menjadi ancaman kapasitas kota bagi kehidupan warganya yang lebih manusiawi dan humanis. Kepadatan penduduk akan semakin besar. Di sisi lain, akses pemilihan lahan semakin terbatas. Hal inilah yang menjadikan kota-kota besar sebagai ruang kontestasi secara fisik maupun sosial bagi warganya.
Kedua, gejala migrasi dan urbanisasi akan memberikan implikasi pada ancaman kriminalitas, kemiskinan kota, dan berbagai masalah sosial perkotaan lainnya. Tingginya kontestasi sosial ekonomi di kota besar melahirkan dua kelompok, yaitu kelompok sosial dominan dengan kepemilikan kapitalnya dan kelompok subordinasi dengan defisit kapital. Kelompok kedua ini adalah kelompok yang terpinggirkan dalam arus kontestasi. Sebagian besar dari mereka adalah kaum pendatang tanpa pendidikan formal dan keahlian khusus.
Pengembangan Kawasan
Gejala urbanisasi dan migrasi tak bisa hanya diselesaikan dengan operasi yustisi yang tidak menyelesaikan masalah. Melarang pendatang datang ke kota besar juga bukan solusi yang mendasar. Persoalan ini harus diselesaikan secara komprehensif oleh seluruh pemangku kepentingan. Sinergi antara Pemerintah pusat, dan pemerintah daerah bisa dilakukan secara simultan dan berkelanjutan.
Pembangunan dalam konteks sosial, gejala migrasi ini bukan sekadar masalah kota besar, tetapi dalam konteks yang lebih luas merupakan masalah pemerataan pem bangunan di Indonesia. Agenda strategis yang harus dilakukan adalah pengembangan kawasan.
Pembangunan yang berpusat pada satu wilayah sudah tidak relevan lagi dalam konteks pembangunan sosial. Dominasi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi politik yang selama ini berkembang tidak bisa lepas dari strategi ekonomi politik Orde Baru yang mengedepankan sentralisasi. Rezim mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan di satu kawasan tertentu dan mengabaikan pengembangan kawasan di luar pusat pertumbuhan tersebut. Akibatnya, terjadi disparitas pembangunan sosial ekonomi di luar pusat-pusat pertumbuhan, terutama Pulau Jawa.
Ketika Orde Baru, kita sering mendengar Indonesia adalah Pulau Jawa. Kita juga mendengar Indonesia selalu identik dengan “Jakarta sentris”. Tidak heran, pasca-Orde Baru muncul berbagai kekecewaan dalam bentuk gerakan separatisme yang diusung berbagai kelompok karena kekecewaan terhadap pembangunan yang tidak adil.
Kita harus belajar pada pengalaman Orde Baru dalam mendesain strategi pembangunan ekonomi politik. Pembangunan yang bertumpu pada satu pusat kekuasaan bisa menjadi bom sosial pada kemudian hari tanpa memperhatikan pengembangan kawasan lainnya. Apalagi, pasca-Orde Baru Indonesia mempraktikkan otonomi daerah. Perspektif yang harus dibangun adalah adanya filosofis membangun berbagai pusat pertumbuhan yang memungkinkan terjadi akselerasi pembangunan sosial ekonomi di tingkat akar rumput.
Saat ini, berkembang secara masif era pemberdayaan sebagai konsekuensi logis dari model pembangunan berpusat kepada rakyat (people cenceterd development). Semakin banyak pusat pertum buhan ekonomi yang dibangun akan ada modal pembangunan yang lebih ber keadilan sosial. Kita tak lagi bergantung pada dominasi pusat yang memarjinalkan peran kawasan lain. Selagi kita tak bisa menyelesaikan permasalahan urbanisasi ini ke akar masalahnya maka kita akan menghadapi masalah klasik setiap tahun. Kita memerlukan solusi komprehensif untuk me minimalisasi ancaman urbanisasi ini.

—————- *** —————–

Rate this article!
Tags: