Mikroba untuk Solusi Saluran Air dan Septic Tank Mampet

Prof drh Herry Agaoes Hermadi sebagai penggagas biofermentor menjelaskan pembuatan biofermentor dan penggunaannya pada warga kelurahan Kedung Baruk, Minggu (29/1). [adit hananta utama]

Prof drh Herry Agoes Hermadi dan Biofermentor Karyanya
Kota Surabaya, Bhirawa
Bau tak sedap di lingkungan padat penduduk mudah sekali ditemui. Penyebabnya beragam, mulai dari saluran pembuangan hingga keberadaan septic tank yang terlalu dekat dengan rumah tinggal. Ini menjadi masalah, seperti yang terjadi di Kelurahan Kedung Baruk Rungkut, Surabaya.
Oleh para mahasiswa Universitas Airlangga (Unair), masalah seperti itu berusaha dipecahkan dengan metode penghancur feses menggunakan biofermentor. Melalui  Kuliah Kerja Nyata (KKN), para mahasiswa berusaha mengimplementasikannya langsung ke masyarakat.
Prof drh Herry Agoes Hermadi, penggagas biofermentor ini menjelaskan, biofermentor terbuat dari isi perut sapi yang telah diolah.  Biofermentor merupakan salah satu penemuan ilmiah berupa bakteri yang diciptakan untuk menghancurkan feses. Reaksinya dapat mengubah aroma feses menjadi wangi dan dapat berfungsi sebagai pupuk organik.
“Mulanya para mahasiswa ini melihat masalah lingkungan khususnya saluran septic tank yang cukup mengganggu. Mulai dari bau tidak sedap dan saluran yang sering buntu,” jelas pria yang juga penanggung jawab KKN di Surabaya ini, Minggu (29/1).
Dengan biofermentor ini, bakteri akan berkembang biak sehingga mampu mengurai kotoran dan tidak bau lagi.
Lebih lanjut Prof Herry menjelaskan proses pembuatan biofermentor. Dokter hewan ini memulai simulasinya dengan menggunakan drum berukuran besar dengan diisi air sumur hingga hampir penuh. Selanjutnya, air tersebut dicampur dengan cairan bakal biofermentor yang  telah dibuat dari perut sapi satu sampai dua liter. Sebagai pembiaknya, bisa menggunakan gula tetes dengan ukuran yang sama lalu diaduk dan ditutup rapat. “Proses fregmentasi tersebut membutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat hari. Selain itu gula tetes bisa diganti dengan gula tebu ataupun gula biasa,” paparnya.
Untuk membuatnya, Prof Henry mewanti-wanti agar warga tidak mencampurnya dengan air sabun. Sebab, sifat dari air sabun tersebut adalah membunuh kuman. Selain itu, pantangan lainnya ialah mengenakan air langsung dengan cahaya matahari karena akan membunuh bakteri.
“Jadi kalau WC disedot dibuang ke Keputih itu bukan solusi. Mending dijadikan makanan untuk mikroba setelah tidak bau baru dibuang,” jelasnya.
Metode seperti ini juga dapat dimanfaatkan oleh rumah potong hewan yang bau untuk diolah kembali jadi pakan hewan ataupun biofermentor.
Ketua RW 4 Kelurahan Kedung Baruk Listiani (53) mengungkapkan, penemuan semacam ini sangat bermanfaat bagi lingkungannya. Karena itu, pihaknya begitu senang dengan adanya biofermentor yang disosialisasikan oleh para mahasiswa dan penelitinya secara langsung. Terlebih, kader lingkungan di kawasannya sangat mudah menerima ilmu baru untuk menjaga lingkungain.
“Kami harap bisa memahami dan membuat biofermentor sendiri. Karena masyarakat suka menjaga lingkungan. Andaikan praktik pertama belum bisa mau minta pendampingan sampai paham,” jelas wanita yang akrab dipanggil Bu Jidan ini.
Ke depannya, ia juga akan mencoba menggunakan limbah tempe buatannya agar bisa dijadikan biofermentor. Selain itu juga terdapat kotoran kambing yang bisa diolah untuk biofermentor pula. [Adit Hananta Utama]

Tags: