Mimpi Besar Mewujudkan Tol Laut (1 – bersambung)

Kelancaran distribusi barang tidak hanya dalam proses pengangkutan, tetapi juga dalam penanganan bongkar-muat di pelabuhan. Tampak aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

Kelancaran distribusi barang tidak hanya dalam proses pengangkutan, tetapi juga dalam penanganan bongkar-muat di pelabuhan. Tampak aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

(Bangun Pelabuhan, Butuh Kolaborasi Pemda dengan Pusat)

Di negara kepulauan seperti Indonesia, distribusi barang menjadi penyebab disparitas harga barang antar pulau. Konsep tol laut diyakini merupakan solusi bagi kelancaran arus barang. Dalam implementasinya, konsep ini harus didukung oleh keberadaan pelabuhan yang memadai dengan aparat-aparat bersih. Harapannya, dengan pengelolaan pelabuhan yang profesional, aparat bersih, fairness dalam pengurusan izin bongkar muat yang melibatkan banyak pihak akan terjaga.

Wahyu Kuncoro SN, Wartawan Harian Bhirawa

Pelabuhan tidak hanya tempat memberi fasilitas untuk kapal dan penumpangnya, tetapi juga barang-barang yang diperdagangkan. Kecepatan barang-barang itu meninggalkan pelabuhan sangat diharapkan produsen dan konsumen. Produsen berharap barang cepat diterima konsumen agar dana segera diterima untuk kembali diputarkan dalam bisnisnya. Pada sisi lain, konsumen juga berharap bisa memanfaatkan secepatnya barang-barang yang telah dipesan.
“Ide tol laut bermuara pada harapan agar barang-barang bergerak lancar. Kelancaran tidak hanya dalam proses pengangkutan, tetapi juga dalam penanganan bongkar-muat di pelabuhan,” kata ahli transpotasi laut dari Fakultas Kelautan ITS Surabaya Ir Saut Gurning, MSc, PhD, Selasa (26/9) kemarin.
Menurut Saut, bila angkutan laut yang menjadi orientasi utamanya, maka infrastruktur maritim adalah faktor untuk meningkatkan hasil produksi, pengelolaan dan penanganan kapal, kargo, penumpang dan lingkungan laut yang mendukung layanan angkutan lewat laut. Menurut ahli transportasi yang juga dosen Bisnis Maritim Fakultas Teknologi Kelautan ITS Surabaya ini, secara fundamental dalam kurun hampir satu dekade belakangan ini, bisnis maritim termasuk permintaan infrastruktur nasional mengalami peningkatan yang signifikan. Diakui Saut Gurning, tol laut akan menjadi solusi paling tepat mengatasi kesetimbangan ekonomi antar wilayah di Indonesia.
“Dengan tol laut, beban biaya logistik nasional akan mampu ditekan,” ungkap Saut. Lebih lanjut menurut Saut, untuk merealisasikan hal tersebut, pemerntah harus menyediakan sarana multimoda, sumber daya manusia, sarana angkutan laut, dan sistem manajemen yang mumpuni. Selain itu, dana fantastis juga harus dipersiapkan. Menurut Saut, beberapa hal ini belum mampu dipenuhi oleh pemerintah sepenuhnya. Pembangunan tol laut pun dirasa macet.
Salah satu hal yang menjadi indikator adalah nihilnya pelabuhan skala ekonomi besar di Indonesia. Hal ini turut mengakibatkan jumlah terminal kargo curah kering di pelabuhan sedikit.
“Padahal, komoditi curah kering seperti kedelai, beras, dan jagung adalah yang paling dibutuhkan masyarakat,” ujar Saut prihatin. Tak hanya itu, Saut menilai kurangnya keinginan pemerintah daerah untuk berkolaborasi dengan pemerintah pusat terkait pembangunan tol laut juga menjadi salah satu penghambatnya.
“Untuk membangun pelabuhan, kendala terbesarnya adalah keterbatasan tanah yang disediakan oleh pemerintah daerah,” terangnya. Lebih lanjut, sarana multimoda yang tersedia juga perlu ditingkatkan efektifitasnya.
Menurut Saut Gurning, bongkar-muat barang di pelabuhan ternyata bukan hanya urusan yang melibatkan otoritas transportasi laut dan produsen. Banyak pihak yang terlibat. Pengurusan perizinan dalam ekspor dan impor memang saling terkait.  Berbagai perizinan itu berujung pada keluarnya barang meninggalkan area pelabuhan.
Sementara itu, pengamat transportasi dari ITS lainnya Dr Machsus Fawzy  memaparkan saat ini besaran kuantitas pertumbuhan maritim nasional dalam waktu satu dekade 2005-2015 yaitu sekitar 1,1 milyar ton kargo dalam bentuk sekitar 20 juta kontainer yang butuh diangkut oleh sekitar 10.000 unit kapal di tahun 2013-2014 ternyata hanya mampu dilayani sebesar 60 persennya oleh infrastruktur eksis kita saat ini.
“Jadi ada persoalan keterbatasan (under-supply) bahkan defisit 40 persen tambahan kapasitas infrastruktur maritim Indonesia yang dibutuhkan yang terdistribusi khususnya antar kawasan (Indonesia Barat dan Timur) dan intra kawasan khususnya di Jawa, Sumatera dan sebagian kecil Kalimantan,” jelas Machsus. Dampak dari kondisi tersebut menurut Machsus adalah terjadinya, defisit kapasitas infrastruktur ini menciptakan kondisi kongesti (kemacetan) dan stagnasi di perdagangan lewat laut Indonesia ini.
Secara praktis, apa yang ditemukan masyarakat atas rendahnya daya dukung infrastruktur maritim nasional dirasakan dengan masih tingginya waktu tunggu pelabuhan dan masalah aksesibilitas baik darat dan perairan serta masih lemahnya kinerja tenaga kerja bongkar-muat (TKBM) di pelabuhan.
Pemilik kapal sering mengeluhkan lamanya waktu tunggu kapal di pelabuhan (ship turn-around time) khususnya di wilayah Priok, Perak, Belawan, Tanjung Emas yang membutuhkan waktu minimal di atas 7 hari lamanya. Hal ini diakibatkan oleh terbatasnya dermaga atau terminal yang tersedia dibanding dengan banyaknya kapal yang antri menunggu giliran sandar; juga terbatasnya area pergudangan dan area kepabeanan untuk pemeriksaan barang-barang impor dan ekspor nasional. Dengan adanya tol laut tersebut, diharapkan ketersediaan barang dan kebutuhan masyarakat, khususnya bagian Timur Indonesia dapat terlayani. Hal itu juga ditunjang dengan kesetaraan harga barang antara wilayah di Indonesia bagian Barat dan di Timur.
Lebih lanjut menurut pakar transportasi kelahiran Bangkalan ini, hal penting lain yang sering dikeluhkan adalah kemacetan aksesibilitas darat dari dan menuju pelabuhan (inland accesibility) akibat daya tampung jalan darat yang tidak memadai khususnya jalan utama ataupun jalan bebas hambatan (tol) dari dan ke pelabuhan dibandingkan dengan densitas angkutan truk trailer yang lalu-lalang di sekitar pelabuhan sudah melewati ambang batas efisiensi dan efektivitas. Opsi lain yaitu kereta api masih sangat terbatas dalam membantu persoalan kemacetan aksesibilitas darat ini akibat terbatasnya kawasan/lahan serta jalur kereta api.
Sebanding dengan persoalan di atas, secara faktual masyarakat awam khususnya dalam layanan angkutan perintis laut dan penyeberangan di Indonesia Timur dalam kesehariannya mendapatkan kondisi infrastruktur maritim yang sangat terbatas seperti lamanya waktu tunggu kapal akibat rendahnya ketersediaan kapal dan rute angkutan laut.
Hal lain, armada kapal yang tersedia secara umum memiliki tingkat resiko kecelakaan yang tinggi, daya dukung pelabuhan, galangan, dan aksesibilitas yang terbatas (hanya di wilayah ibukota propinsi dan kabupaten utama). Kondisi ini semakin menyusahkan masyarakat di Timur Indonesia yang justru sangat tergantung secara geografis dengan faktor alamiah kemaritimannya. Akibat rendahnya daya dukung infrastruktur maritim yang lemah mengakibatkan terbatasnya masyarakat Indonesia Timur mendapatkan harga barang yang terjangkau.
Peluang Perdagangan Internasional
Pengamat ekonomi dari Unair Dr Nafik HR menilai kebijakan intervensi perdagangan internasional bisa menjadi instrumen efektif untuk menggerakkan perekonomian di Indonesia Timur.
“Syaratnya, infrastruktur transportasi laut harus tersedia,” katanya. Langkah itu sekaligus merespons pergeseran kekuatan ekonomi dunia yang dahulu berada di barat, khususnya Eropa, melintasi Samudra Atlantik. Namun, dalam beberapa dasawarsa terakhir, negara-negara di sepanjang Samudra Pasifik -yang dimotori Jepang, lalu diikuti Korea Selatan serta Tiongkok- menjadi kekuatan ekonomi baru dunia. Di bagian Pasifik lainnya, negara di Amerika Latin mulai menggeliat untuk mengikuti negara yang sudah maju seperti Kanada dan Amerika Serikat (AS).
Pelabuhan Bitung misalnya, bisa menjadi simpul perdagangan internasional untuk wilayah Sulawesi, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, Papua, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Utara.
“Wilayah ini sangat strategis dalam konteks kerja sama ekonomi ASEAN,” ujarnya. Namun, upaya menjadikan Indonesia Timur sebagai pintu masuk perdagangan internasional sejak 2012 belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Sebab, prasyarat menuju target itu memang belum dikembangkan dengan baik. Misalnya, pelabuhan yang memadai, kapal yang melayani trayek secara reguler, serta infrastruktur pendukung lainnya. “Di sinilah peran strategis tol laut sebagai pilar transportasi,” ujar Teten.
Menurut Nafik, tol laut bisa menjadi urat nadi yang menyuplai darah perekonomian bagi wilayah terluar dan terdepan yang selama ini belum terlayani dengan baik.
“Agar ekonomi bergerak, butuh suplai bahan bangunan, bahan pangan, dan kebutuhan strategis lain secara teratur dengan harga terjangkau,” katanya. Dari situlah, pembangunan akan menjalar lebih cepat. Mulai pembangunan kawasan industri, kawasan ekonomi khusus (KEK), jalan raya, hingga sarana pendidikan untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) di daerah.
Secara khusus Nafik juga mengingatkan agar tol laut segera memberi dampak yang signifikan terhadap alur distribusi barang maka para pelaku usaha di bidang distribusi barang dan komoditas memanfaatkan kapal-kapal yang kini sudah beroperasi dalam program tol laut.
“Pemerintah perlu mengumpulkan semua pemain-pemain besar dalam sistem distribusi barang agar mereka bisa memanfaatkan kapal reguler ini,” kata Nagik saat dikonfirmasi lewat telepon selularnya, Selasa (27/9) kemarin. Oleh karena itu perlu dibangun dan diperluas kerjasama antara para pedagang dengan distributor agar pemanfaatkan tol laut bisa didorong hingga ke lebih banyak daerah, misalnya dnegan menggandeng Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Koperasi dan UKM agar dapat mengisi muatan arus balik kapal dari wilayah timur.
“Sekarang masih cenderung kiriman hanya satu arah. Maka perlu dipetakan apa saja hasil pertanian, hasil laut, atau kerajinan yang mungkin bisa dimuat balik dari timur ke Jawa. Kalau terisi bolak-balik tentu bisa memangkas ongkos per unit,” katanya. (bersambung)

                                                                                                        ————- *** ————–

Tags: