Mimpi Besar Mewujudkan Tol Laut (2 – habis)

Salah satu persoalan klasik yang terus menjadi sorotan ketika menyoroti kinerja pelabuhan adalah masalah  lamanya waktu bongkar muat kapal (dwelling time).

Salah satu persoalan klasik yang terus menjadi sorotan ketika menyoroti kinerja pelabuhan adalah masalah lamanya waktu bongkar muat kapal (dwelling time).

(Tol Laut Tersangkut ‘Benang Kusut’ Dwelling Time)
Keberadaan tol laut juga memiliki peran fundamental untuk mempersatukan Indonesia serta membangun keadilan dan pemerataan antar daerah. Lantaran itu, perlu dilakukan evaluasi rute pelayaran agar lebih efisien, peningkatan jumlah dan variasi muatan barang. Kemudian efisiensi angkutan kargo baik berangkat serta muatan baliknya, deregulasi di pelabuhan-pelabuhan sehingga bisa memangkas prosedur dan mempersingkat waktu.

Wahyu Kuncoro SN, Wartawan Harian Bhirawa

“Potong rantai perdagangan yang tidak efisien dengan langsung berhubungan dengan produsen barang-barang pokok, dan barang-barang penting lainnya. Disamping perlu diperluas dan ditambahkan jangkauan informasi jadwal, rute dan tarif angkutan barang Tol Laut pada tempat-tempat yang mudah yang di akses oleh masyarakat,” jelas pengamat ekonomi dari Unair Dr Nafik HR. Dosen kelahiran Magetan ini juga mengingatkan agar wilayah Indonesia bagian timur benar-benar diperhatikan, terutama Papua, Maluku, dan NTT. Rakyat, tegas Nafik  ingin melihat perubahan nyata.
Pentingnya kehadiran pemerintah (negara) dalam kegiatan di sektor transportasi, khususnya laut, bukan berarti hanya membangun infrastruktur saja, tetapi sampai dengan mengoptimalkan manfaat dari infrastruktur yang telah dibangun tersebut.
“Selain itu, diperlukan pula penguatan strategi menjadikan pelabuhan nasional sebagai hub dengan kelengkapan fasilitasnya sehingga kapal-kapal dari luar yang membawa barang bisa langsung ke Pelabuhan di Indonesia tanpa harus singgah di Singapura” tambahnya.
Gagasan tol laut tegas Nafik, adalah upaya untuk mewujudkan Nawacita pertama yakni memperkuat jati diri sebagai negara maritim dan Nawacita ketiga, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Selain itu tol laut juga menjadi penegasan, bahwa negara memang benar hadir ke seluruh daerah lewat kapal-kapal yang menyambangi di wilayah tersebut.
”Konektivitas antarnegara dan kawasan pada dasarnya adalah kebutuhan semua Negara, sehingga Pemerintah Indonesia dengan konsep Poros Maritim atau Tol Laut diharapkan mampu menggerakkan kehidupan sektor laut,” kata Nafik. Karena itu Nafik menilai pembangunan infrastruktur dan jalur armada angkut, membenahi koordinasi dan regulasi antarinstansi di bidang kepelabuhanan adalah hal mutlak yang mampu merekatkan rantai pasokan domestik (antar pulau) untuk produktivitas perekonomian nasional sekaligus juga sebagai jawaban atas tantangan regional yang ada.
Benang Kusut Itu Bernama Dwelling Time
Dalam mempercepat implementasi tol laut, maka kinerja pelabuhan menjadi taruhannya. Mustahil tol laut bisa seperti yang diharapkan kalau pengelola pelabuhan tidak berbenah diri. Salah satu persoalan klasik yang terus menjadi sorotan ketika menilai kinerja pelabuhan adalah masalah  lamanya waktu bongkar muat kapal (dwelling time).
“Dwelling time memang baiknya  2 hari, 3 hari lah. Saat ini 3 sampai 4 dan 5 hari. Di tempat lain seperti di Belawan lama itu. Mereka itu bisa rendah kadang, tetapi kadang juga bisa 10 hari,”? ujar dosen perkapalan ITS Surabaya Dr Eng Badruz Zaman, saat dikonfirmasi Bhirawa, Rabu (28/9) kemarin.
Menurut beberapa hasil penelitian, lanjut Badrus ada empat persoalan di sektor maritim yang bisa mempengaruhi masa tunggu bongkar muat (dwelling time) di pelabuhan. Persoalan tersebut adalah rendahnya kinerja pelayanan di sektor kelautan dan keandalan infrastruktur, ketimpangan infrastruktur antara kawasan barat dan timur, defisit kapasitas infrastruktur eksisting dalam melayani permintaan (demand), serta tidak konsistennya regulasi dalam menciptakan dan memelihara kompetensi antarmoda.
“Dwelling time barang di pelabuhan masih di atas enam hari, karena kurang handalnya infrastruktur, yaitu belum terpadunya secara penuh rantai pasok antarmoda kapal – kereta api atau kapal-truk,” jelas Badrus. Selanjutnya Badrus merekomendasikan tiga hal yang harus dilakukan oleh pemerintah guna mengurangi dwelling time di pelabuhan besar, yakni penambahan infrastruktur pelabuhan, penguatan otoritas pelabuhan, dan perbaikan sistem feeder pelayaran.
Kepala Departemen Teknik Sistem Perkapalan ITS ini mengungkapkan, infrastruktur yang dimaksud termasuk pengembangan dan pengaturan akses jalan dari dan menuju pelabuhan. Selama ini kesemerawutan akses jalan tersebut menjadi penyebab keterlambatan pengangkutan barang.
“Pre dan post loading logistik kita butuh jalan masuk. Kalau truk macet tidak bisa jalan bebas. Selain itu, yang penting juga sistem IT. Semua harus terpadu dan tidak bisa terpisah pelayanannya. Ini yang bisa mengefisienkan waktu,” kata Badrus.
Usul menarik disampaikan pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim Basa Alim Tualeka . Pengusaha yang kini menjadi Ketua Kadin Jatim ini mengusulkan adanya layanan satu atap bagi para importir agar dapat menekan dwelling time di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Menurut Tualeka, dwelling time di Pelabuhan Tanjung Perak memang rentang waktunya terlalu tinggi, enam sampai tujuh hari.
“Dwelling time di Pelabuhan Tanjung Perak sampai enam dan tujuh hari. Saya usul ada layanan satu atap ini yang berbasiskan online, dapat menekan dwelling time bisa jadi tiga hari saja,” ujar Tualeka. Lebih lanjut menurut Tualeka, mulai dari proses waiting time kapal sandar hingga dwelling time banyak sekali perizinan yang harus diurus oleh para importir.
“Mulai harus mengurus izin dari loket ke loket, kan itu membutuhkan waktu lama. Dengan adanya pelayanan online ini juga dapat membuat transparansi tiap instansi ke publik agar tidak ada pungli pungli kembali di TPS,” ujarnya. Alim juga menyoroti denda bagi para importir yang nekat menginapkan kontainernya.
“Seharusnya para importir ini, dendanya tidak dikenakan Rp 250 ribu per hari untuk satu kontainer yang diinapkan di TPS. Kalau bisa, dendanya ditinggikan seperti Jakarta, yakni Rp 5 juta per hari sekali nginap dan itu dijamin proses bongkar muat di sana akan lebih cepat,” imbuhnya.
Dikonfirmasi terpisah terkait lamanya dwelling  time di Pelabuhan Tanjung Perak, Kepala Humas Pelindo III Edi Priyanto mengingatkan permasalahan yang perlu dipahami oleh masyarakat dan semua pihak adalah  bahwa tujuan memangkas dwelling time adalah untuk efisiensi biaya logistik, khususnya terkait pengeluaran barang setibanya di terminal/pelabuhan.
Sementara,  proses layanan di pelabuhan yang terkelompok dalam subproses tertentu yang masing-masing merupakan tanggung jawab  lembaga tertentu yang berdiri sendiri. Dengan demikian, untuk mengatasi masalah dwelling time diperlukan peran dan partisipasi aktif dari semua pihak yang terlibat.
“Tidak terlalu efektif apabila hanya pihak-pihak tertentu saja yang berupaya keras menurunkan dwelling time namun dilain pihak, para pengusaha menganggap bahwa waktu yang masih cukup panjang tersebut masih bisa ditolerir dari perspektif bisnis mereka, sehingga mereka merasa tidak perlu bergegas mengeluarkan barangnya dari kawasan pelabuhan,” jelas Edi lagi.
Menurut Edi, untuk membicarakan soal dwelling time, maka ada tiga proses utama yang perlu diperhatikan yakni pre-clearance, customs-clearance dan post-clearance. Pada proses import barang/petikemas yang masih terhitung lama dwelling timenya, dibandingkan dengan kegiatan eksport. Apabila didetilkan satu persatu sesuai urutan prosesnya, beberapa kendala yang dihadapi pada proses pre clearance adalah kesadaran importer/forwarder untuk mempercepat pengurusan import barang sangat minim sehingga cenderung tidak segera mengurus ijinnya setibanya barang/petikemas di Pelabuhan. Kurang koordinasi antar instansi terkait perijinan Lartas (barang larangan dan/atau pembatasan) serta sering terjadinya gangguan pada Indonesia Nasional Single Window (INSW) juga memberikan kontribusi penyebab lamanya dwelling time pada tahap awal proses tersebut.
Beberapa upaya yang mungkin bisa dilakukan untuk memperbaiki dwelling time pada setiap prosesnya. Pada proses pre clearance diantaranya perlu diupayakan pemanfaatan fasilitas prenotification untuk jalur prioritas, perceparan importer untuk percepatan penyampaian Pemberitahuan Import barang (PIB), perlunya inisiatif strategis stakeholder mini-lab, juga perlu dilakukan koordinasi secara berkala dengan penerbit Lartas serta perlunya dilakukan perbaikan sistem Indonesia Nasional Single Window (INSW).
Pada proses customs clearance bisa dilakukan percepatan penyerahan hardcopy PIB, mandatory program dokap online, mendorong percepatan zonasi TPS dan penerbitan petugas lapangan perusahaan pengurusan jasa kepabeanan (PPJK). Dan upaya yang bisa dilakukan pada proses post clearance diantaranya mendorong tempat penimbunan sementara, shipping line, trucking dan depo petikemas memanfaatkan layanan 24 jam sehari dan 7 hari seminggu (24/7), perlu mengimplementasikan Delivery Order (DO) online pada Shipping line dan perlunya regulasi yang mengatur untuk pengeluaran barang dapat oleh Tempat Penimbunan Sementara (TPS) apabila pemilik barang belum keluarkan barang dalam waktu 1 x 24 jam.
Kepada Bhirawa, secara khusus Edi Priyanto juga menjelaskan bahwa bukan hanya persoalan dwelling time saja yang menjadi perhatiannya untuk mendukung terwujudnya tol laut. Pelindo III jelas Edi, juga telah merencanakan akan membangun sedikitnya sebelas terminal penumpang kapal laut khususnya di kawasan timur Indonesia guna meningkatkan pelayanan publik dan mempercepat pembangunan ekonomi nasional berbasis maritim. Kesebelas terminal penumpang itu adalah Pelabuhan Tenau Kupang NTT, Pelabuhan Lembar NTB, Pelabuhan Sampit Kalteng, Pelabuhan Kumai Kalteng, Pelabuhan Maumere NTT, Pelabuhan Batulicin Kalsel, Pelabuhan Bima NTB, Pelabuhan Waingapu NTT, Pelabuhan Ende NTT, Pelabuhan Kalabahi NTT dan Pelabuhan Ippi NTT. Menurut Edi, terminal penumpang kapal laut tersebut sebenarnya sudah ada, namun untuk lebih memberikan kenyamanan maka fasilitas, sarana dan prasarananya dilengkapi seperti halnya terminal penumpang di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Tanjung Emas Semarang, Pelabuhan Banjarmasin dan Pelabuhan Benoa Bali.

                                                                                                                 ———- *** ———-

Tags: