Mimpi Plagiator

Mimpi Plagiator
Oleh:
Gusti Trisno

Gia menatap layar ponsel. Ia tak percaya dunianya sudah runtuh. Hanya karena 20 cerpen yang plagiat membuat seluruh dunia membencinya. Ah, payah!
Padahal, menurut perempuan berlesung pipih itu seharusnya dunia memberikannya kesempatan kedua. Apalagi usianya masih muda, jalan karirnya masih panjang. Jadi, tak perlulah dunia memusuhinya.
Kecuali, Ayu. Teman semasa putih abu-abu Gia itu menjadi media kedua setelah sebuah nama di Facebook yang mengabarkan kasusnya. Belum lagi, Ayu menceritakan jika ia pernah jadi korban plagiat Gia semasa SMA. Ah, teman macam apa sebenarnya si Ayu itu. Mengapa perempuan itu tak bisa memaafkan Gia? Apalagi kesalahan itu kan sudah bertahun-tahun lamanya.
“Gia, makan, Nak!” ajak Ibu Gia yang masuk kamar tiba-tiba.
Gia segera meletakkan ponselnya di kasur, diganti tatapan saksama itu ke arah ibu. Dari sana, Gia ingin menangis dan merasakan sesak. Timbul di pikirannya bagaimana jika ibu tahu masalah ini pasti sakit ibu akan bertambah.
Rasa sakit ibu juga menjadi alasan Gia untuk melakukan tindakan plagiat. Sebab itulah cara termudah mendapatkan uang. Belum lagi honor menulis cerpen di media massa benar-benar menggiurkan.
“Gia?”
Ibu kembali memanggil Gia. Sekuat tenaga Gia menghapus pikiran di otaknya.
“Ayo, Bu!” ucap Gia disertai senyum kepada ibu terkasihnya.
Keduanya pun segera ke dapur yang menjadi tempat makan sekaligus. Rasanya Gia merindukan saat-saat bersama seperti itu. Sejak ia kuliah dan menjadi penulis, rutinitasnya begitu sibuk hingga kehilangan suasana bersama.
“Bapak mana, Bu?” tanya Gia untuk mencairkan suasana.
“Bapak masih medal becak.”
Penjelasan ibu membuat dada Gia bertambah sesak. Ya, seharusnya makan malam tidak hanya berdua, tapi bapak juga harus ada di sini. Tetapi, keadaan memaksa agar bapak jauh lebih semangat dalam bekerja sejak ibu mengalami TBK (Tubercolosis Kelenjar). Kondisi ibu yang lebih cepat lelah, kadang sesak, dan mual setiap hari membuat bapak berpikir ekstra untuk menghidupi kami. Begitupun Gia, ia sadar jika tulisannya tidak terlampau bagus. Makanya, jauh lebih cepat menghasilkan uang dengan cara plagiat.
“Gia?”
Ibu kembali memanggil Gia untuk ketiga kalinya. Yang dipanggil tak langsung menjawab, tetapi memberikan senyum.
“Ada masalah?”
Gia menggeleng-gelengkan kepala. Ia tidak mungkin bercerita kasus yang menimpanya. Bisa-bisa kesehatan ibu semakin menurun.
Dan makan malam segera berakhir, tepatnya harus diakhiri karena sebuah suara mendesak dari luar rumah.
“Ada apa ya, Gia?”
Gia tak menjawab, ia disergap bingung.
“Biar Gia saja yang keluar, Bu.”
Ibu tidak setuju akan hal itu. Perempuan setengah baya itu malah langsung mendekati pintu rumah. Begitupun Gia.
“Bapaaaaakk!!” Ibu histeris ketika mengetahui keadaan suaminya.
Gia tak bisa berkata apa pun. Ia hanya terisak dalam tangis. Tak percaya dengan kondisi bapak yang bersimbah darah. Sungguh dalam pikiran Gia ingin bertanya mengapa orang-orang membawa bapak ke rumah dibandingkan ke rumah sakit, tentu nyawanya bisa tertolong.
Tunggu… tunggu… Gia harusnya memeriksa nyawa bapak tanpa perlu memberikan simpulan dulu. Dengan menahan rasa jijik, tangan mungil perempuan itu langsung mencari urat nadi bapak, di sana memang tidak ada tanda kehidupan.
“Mengapa bapak bisa mati?”
Sambil terisak, akhirnya Gia bisa bertanya itu kepada teman-teman bapak sesama pengayuh becak. Tak ada suara semakin membuat Gia geram. Dan pada beberapa detik setelah itu ia melihat Ayu dan Bu Manisa dari arah belakang.
“Semua ini karena salahmu. Ketika di pangkalan becak, teman bapakmu membaca berita dengan judul Ratu Plagiat yang Masih Muda Terciduk. Sekalipun bapakmu tidak bisa membaca, tetapi temannya memberikan penjelasan dengan begitu rinci,” jelas Bu Manisa.
“Akibat itu bapakmu ketika pulang menjadi kepikiran dan tidak awas dalam mengendarai becak. Hingga akhirnya ia ditabrak truk. Belum lagi truknya melarikan diri,” tambah Ayu.
Gia langsung berteriak mendengar penjelasan dari guru Bahasa Indonesia dan temannya semasa SMA itu. Semua mungkin masuk akal, tetapi mengapa bapak harus jadi korban dari kesalahannya sendiri.
Gia menangis. Ibu sudah pingsan mengetahui sayap keindahannya pergi. Ayu dan Bu Manisa tak tinggal diam, keduanya mendekatkan diri pada Gia. Menguatkan Gia.
Dalam hati, Gia menyesali dirinya sangat menyesal atas perbuatannya. Tetapi, penyesalan di belakang tiada guna. Kini, cuma dia satu-satunya yang dimiliki ibu dan sudah seharusnya bisa menjadi tulang punggung keluarga.
*
Malam itu, Gia tak bisa tidur tenang. Ia pun mengambil ponsel lagi. Di sana ia menulis permintaan maaf sekaligus mengakui tindakan plagiat dan daftar cerpen yang diplagiat. Ia menulis tanpa ada satu pun yang ditutupi. Selepas itu, ia mengambil wudhu berusaha menenangkan hati.
Esoknya, pagi berjalan begitu cepat. Matahari yang datang dengan sinar hangatnya memaksa Gia bangun. Pun, Ibu mencoba membangunkannya.
“Di mana Bapak, Bu?” tanya Gia.
“Seperti biasa Bapak sedang mengayuh becak.”
“Ibu bohong,” balas Gia sekenanya.
Bagaimana mungkin bapak bisa mengayuh becak, sementara seharusnya pagi ini jasadnya dimakamkan. Penjelasan ibu yang tidak masuk akal membuat Gia ingin mengecek keberadaan bapak di pangkalan becak.
Jarak pangkalan becak dan rumah tidak terlampau jauh, cuma satu kilometer. Sekitar 10 menit jalan kaki, Gia sampai di ujung jalan dan tanpa perlu menyebrang jalan ia sudah bisa melihat bapak melayani seorang pelanggan.
Gia langsung bersyukur dalam hati. Ternyata Bapak tidak meninggal dan semalem hanyalah sebuah mimpi.
Ia pun langsung berusaha menghubungi Bu Manisa yang ia panggil Bunda. Tanpa perlu menunggu lama, Bu Manisa langsung mengangkat panggilan telepon perempuan itu.
“Ada apa, Nak?”
“Bunda, aku semalem bermimpi seperti….”
Belum sempat menceritakan mimpinya. Bu Manisa langsung memotong dan mengatakan jika mimpi apa pun yang dimiliki Gia tidak perlu diceritakan. Selain tidak bisa menafsirkan, Bu Manisa juga bilang dalam etika bermimpi, mimpi tidak perlu kepada siapa pun, jika diceritakan bisa bahaya. Semisal penafsirannya salah.
“Nak, sudah minta maaf kepada publik?”
“Sebentar lagi, Bun.”
Di ujung sana mungkin Bu Manisa tersenyum sikap kesatria muridnya. Tetapi di ujung sini, Gia masih was-was untuk menceritakan tindakan plagiat dan alasannya kepada publik.
Perempuan itu pun langsung menutup telepon, lalu berteduh dengan menyeruput es degan di pinggir jalan. Ia langsung berpikir kata-kata yang tepat untuk mengonfirmasi kepada khalayak umum.
Setelah menimang, memikirkan, dan memutuskan status yang tak lebih dari delapan ratus kata pun tercipta. Isinya sesuai seperti mimpinya, ia meminta maaf kepada khalayak umum tentang tindakan plagiat, lengkap dengan alasan dan daftar cerpen yang diplagiat. Selepas itu, ia langsung mematikan telepon.
Lalu, ia melihat ke seberang jalan di sana bapaknya telah menggowes becaknya. Gia tersenyum senang, tetapi belum genap menggowes. Gia melihat jika penumpang menyuruh bapaknya menghentikan laju. Lalu, penumpang itu bercakap-cakap sambil menunjukkan ponsel.
Gia tersenyum melihat aktivitas bapaknya demi menghidupi keluarga. Kemudian, dari arah berlawanan ada sebuah truk yang tampak ugal-ugalan. Di sana, wajah Gia pucat pasih. Ia takut mimpinya menjadi kenyataan. Apa mungkin penumpang bapaknya menceritakan kesalahan ia yang memplagiat karya orang? Gia tak tahu, tetapi truk itu semakin mendekat. Dan tentu ia berharap semuanya adalah mimpi.
Malang, 13 Juli 2020 20:26

————– *** —————

Gusti Trisno. Mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang yang memiliki nama lengkap Sutrisno Gustiraja Alfarizi. Peraih juara 2 Penulisan Cerpen dalam Pekan Seni Mahasiswa Jawa Timur 2016 dan Penerima Anugerah Sastra Apajake 2019. Kumpulan cerpen terbarunya berjudul “Seperti Skripsi, Kamu Patut Kuperjuangkan” (Elexmedia Komputindo).

Rate this article!
Mimpi Plagiator,5 / 5 ( 1votes )
Tags: