Minat Baca Tak Bisa Menunggu

Gumoyo Mumpuni NingsihOleh :
Gumoyo Mumpuni Ningsih
Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang

Menteri Pendidikan Anies Baswedan, mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 21/2015 tentang program penumbuhan budi pekerti (PBP). Anies mengatakan, mulai tahun ajaran baru 2015/2016, permen tersebut harus sudah dijalankan melalui serangkaian kegiatan harian bersifat wajib maupun piihan.
Salah satunya berupa kewajiban siswa membaca buku non-pelajaran 15 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan potensi siswa serta memberikan ruang bagi mereka untuk mengembangkan minat-bakatnya melalui buku yang dibaca.
Minimnya perpustakaan
Tentu saja, guna melancarkan kegiatan wajib baca tidak bisa lagi mengandaikan adanya sarana utama, yaitu perpustakaan dan koleksi buku yang memadai, baik dari sisi jumlah atau kuantitas maupun kualitas dan keragamannya. Artinya, buku-buku yang ada harus sesuai dengan kebutuhan pembaca setempat.
Kesadaran tersebut telah diafirmasi pemerintah melalui pengesahan payung hukum, yaitu Undang-Undang RI Nomor 43/2007 tentang Perpustakaan: “Setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan (pasal 23 ayat 1).” Hanya, saat kita melihat kenyataan yang terjadi di lapangan, apa yang tertuang dengan bagus dalam UU tersebut masih jauh panggang dari api.
Salah satu asnad yang bisa diajukan adalah dari segi jumlah perpustakaan sekolah. Dari jumlah total sekolah dasar (SD) di Indonesia yang mencapai 148 ribu lebih, SD yang memiliki perpustakaan baru 50 ribu (30 persen). Sementara itu, SMP 13 ribu perpustakaan (36 persen), dan SMA 9.000 perpustakaan (54 persen).
Lantas bagaimana “benang kusut” kondisi tersebut hendak diudar? Dalam jangka pendek, sekolah-sekolah yang belum memiliki perpustakaan, atau sudah ada, tapi koleksi bukunya tidak memadai, bisa bekerja sama dengan perpustakaan desa/kelurahan, taman bacaan masyarakat (TBM), dan perpustakaan daerah (kabupaten dan kota).
Bentuk kerja samanya berupa peminjaman buku. Kerja sama ini digagas bertitik mula dari kesadaran bahwa minat baca tidak bisa menunggu. Ketiadaan bacaan akan membuat para siswa yang semula memiliki minat baca tinggi menjadi malas membaca. Momentum pembentukan reading habit melalui kegiatan jam wajib membaca pun akhirnya bisa hilang. Hanya, meskipun model kerja sama peminjaman buku tersebut bisa menolong, dalam jangkan panjang tidak akan berkelanjutan.
Menurut survei UNESCO, minat baca masyarakat di negara-negara ASEAN adalah yang paling rendah di dunia. Hanya ada satu orang dari 1.000 orang di Indonesia yang memiliki minat baca yang tinggi. Center for Social Marketing (CSM) menjelaskan, perbandingan banyak buku yang dibaca oleh siswa SMA di beberapa negara, Indonesia menempati tempat terendah. Untuk siswa SMA di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sejumlah 32 judul, Brunei7buku, Singapura6buku, sedangkan Indonesia 0 buku.
Ketersediaan perpustakaan
Selain jumlah bacaan yang dimiliki perpustakaan desa dan TBM terbatas, ada pula masalah cakupan layanan jika bekerja sama dengan perpustakaan daerah. Rasa-rasanya mustahil jika perpustakaan daerah harus melayani peminjaman buku ke semua sekolah se-kabupaten. Untuk itu, yang harus diupayakan segera adalah membangun perpustakaan sekolah. Sebab, bicara budaya membaca tak bisa dipisahkan dengan perpustakaan seperti keberhasilan Jepang. Rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia karena pemerintah, masyarakat, satuan pendidikan, dan keluarga gagal melaksanakan beberapa butir UUNo 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Ketersediaan perpustakaan belum merata di Tanah Air. Perpustakaan tidak hanya ada di sekolah dan perguruan tinggi, tapi juga di tempat umum (kantor, ruang tunggu, terminal, bandara, rumah sakit, dan pasar). Jumlah perpustakaan umum hanya 2.585 sehingga satu perpustakaan harus sanggup melayani 85.000 penduduk.
Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan Nasional, dari 64.000 desa, yang punya perpustakaan 22 persen. Sedangkan jumlah perpustakaan di berbagai departemen dan perusahaan baru 31 persen. Dari 110.000 sekolah, hanya 18 persen yang punya perpustakaan. Dari 200.000 SD, 20.000 yang punya perpustakaan standar. Dari 70.000 SLTP, 36 persen yang memenuhi standar. Untuk SLTA, hanya 54 persen yang perpustakaannya standar. Dari 3.000 SD dan SLTP, hanya 5 persen yang memiliki perpustakaan. Meski dijamin oleh UU, pemerintah belum memenuhi hak masyarakat untuk bisa mengakses perpustakaan dari tingkat provinsi, kabupaten, hingga kecamatan.
Masyarakat tidak bisa mengakses perpustakaan di tempat-tempat tersebut karena tidak disediakan, baik oleh pemerintah, kantor, maupun rumah sakit. Padahal, waktu menunggu yang bisa sangat lama merupakan waktu ideal untuk membaca. Kegemaran membaca tidak bisa tumbuh dalam sehari, melainkan proses yang butuh waktu lama. Karena itu, pemerintah tidak boleh pesimistis dengan budaya baca masyarakatnya sebelum benar-benar menyediakan perpustakaan sesuai aturan yang berlaku.
Promosi gemar membaca
Budaya membaca tidak lahir dengan sendirinya, tapi merupakan akibat dari kebijakan yang memang ditujukan untuk hal tersebut. Belum ada upaya serius pemerintah atau swasta yang masif dan serius dalam mempromosikan budaya gemar membaca dan memanfaatkan perpustakaan. Bandingkan dengan upaya pemerintah dalam mempromosikan pariwisata Indonesia atau iklan rokok yang mahadahsyat dan (kadang) mengagumkan dari sisi seni pembuatannya (seperti pengambilan angle wilayah-wilayah eksotis Indonesia). Jadi, selain pendirian perpustakaan, tugas pemerintah lainnya adalah promosi gemar membaca.
Kesadaran masyarakat untuk berperan dalam pembentukan budaya baca masih rendah meski jumlah orang kaya Indonesia terus bertambah. Paradigma kaum elite ini bisa berubah manakala pemerintah sukses dalam promosi masyarakat sadar membaca seraya menggandeng mereka dengan santun.
Saatnya pemerintahan Jokowi memperbaiki keadaan runyam perpustakaan, perbukuan, dan budaya baca masyarakat Indonesia. Tiga hal berikut bisa dipertimbangkan.
Pertama, Jokowi dan/atau Anies meminta komitmen para kepala daerah dari tingkat satu hingga tingkat dua untuk menyediakan perpustakaan daerah yang baik. Tanpa ada komitmen dari pemerintah pusat, provinsi, kota, kabupaten, dan kecamatan, mustahil amanah UU di atas bisa tercapai.
Jokowi melalui kementerian terkait dan Dewan Perpustakaan bisa mengawal pendirian perpustakaan dari pusat hingga ke tingkat kecamatan. Dengannya, sistem perpustakaan nasional akan terwujud. Promosi gemar membaca dan memanfaatkan perpustakaan diperlukan segera, melalui kerja sama Kemendikbud, Kemenag, penerbit buku, dan stasiun televisi milik pemerintah maupun swasta.
Kedua, keluarga, masyarakat, dan satuan pendidikan bekerja sama dalam menanamkan budaya baca kepada anak sejak dini. Mereka menyediakan buku dan bahan bacaan anakanak lainnya di rumah, sekolah, tempat bermain, dan mal. Orang kaya mendirikan toko buku demi sedikit keuntungan, atau mendirikan taman atau rumah baca. Tanpa keterlibatan tiga unsur tersebut, pemerintah akan payah dalam membangun budaya baca masyarakat.
Ketiga, bebaskan atau kurangi pajak (royalti) penulis buku untuk mendorong penulis-penulis baru muncul. Sudah mafhum bahwa menjadi penulis di Indonesia tak menjanjikan (kesejahteraan) sehingga jumlah buku terbit di sini kalah jauh dengan negara-negara lain. Jumlah buku terbit bertemali dengan minat baca masyarakat.
Dalam konteks ini, pemerintah bisa membeli setiap buku terbit (tertentu) untuk disebarkan di perpustakaan-perpustakaan nasional, provinsi, kota, maupun kabupaten. Besar harapan, setidaknya langkah ini, bisa melahirkan penulis-penulis buku baru yang selama ini “terkubur”  dan setidaknya langkah ini sesuai dengan Pembukaan Manifesto UNESCO bersama IFLA (International Federation of Library Associations and Institutions) tentang Perpustakaan Sekolah dan sekaligus promosi gemar membaca, pemerintah yang berkewajiban membangun. Artinya, dalam jangka panjang pewajiban membaca pada siswa tidak akan efektif jika tidak disertai pembangunan perpustakaan yang memenuhi standar dan minat baca tak bisa menunggu sebagaimana yang telah diamanatkan undang-undang.

                                                                                                   ——————- *** ——————-

Rate this article!
Tags: