Minim Memorabilia Proklamator, Hanya Ada Prasasti Penanda Lahir

3-rumah-bung-karnoRumah Tempat Lahir Bung Karno di Surabaya Memprihatinkan
Kota Surabaya, Bhirawa
Tak sulit untuk menemukan rumah eks Presiden Soekarno dilahirkan. Bertempat di Jalan Pandean IV/40 Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, rumah yang masih berpenghuni itu pernah menjadi saksi lahirnya Sang Proklamator. Namun akan sulit menemukan rekam jejak Bung Karno dalam bangunan bercorak kompeni ini.
Rumah Bung Karno tampak serupa dengan gaya arsitektur rumah di sepanjang jalan yang dulu bernama Jalan Lawang Seketeng. Pintu kaca berukuran besar menjadi pemandangan utama. Tidak ada yang istimewa.
Ukuran bangunan rumah itu sekitar 6×14 meter. Terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang tengah yang biasa ditempati keluarga bersantai dan dua kamar tidur. Di bagian belakang terdapat dapur serta tangga kayu sebagai akses untuk menuju lantai atas. Rupanya, lantai atas hanya dimanfaatkan untuk sekadar menjemur pakaian saja.
Tak terlihat peninggalan berupa perabot atau memorabilia yang menunjukkan eksistensi Soekarno di Pandean. Rumah bernuansa hijau itu terlihat sedikit tak terawat. Catnya sudah mulai memudar. Berbeda ketika di rumah kos yang terletak di Kampung Peneleh VII yang diketahui merupakan rumah HOS Tjokroaminoto. Bangunan yang sudah diresmikan sebagai cagar budaya tersebut lebih terawat.   “Baru 2010, kami tahu kalau rumah itu ternyata termasuk dalam sejarah,” kata Jamilah (40), sang pemilik rumah.
Orang tua Jamilah membeli rumah itu pada 1990. Sejak itu, Jamilah tinggal di rumah tersebut bersama14 saudara dan orang tuanya. Kakak Jamilah, Samsul Arifin, mengaku tidak tahu persis berapa harga rumah tersebut ketika dibeli orang tuanya. “Kemungkinan waktu itu sekitar Rp 30 juta,” tutur Samsul.
Meski keluarga akhirnya  tahu rumah yang dibeli sejak itu adalah rumah masa kecil Bung Karno, namun perhatian dari pemerintah dirasakan sangat minim.   “Kami minta ada pengertian dan simpati dari pemerintah, juga masyarakat,” kata Jamilah.
Sejak pemasangan prasasti sebagai penanda bahwa Soekarno lahir di Surabaya pada Juni 2011 lalu, rumah yang menjadi tempat tinggal sehari-hari keluarga Jamilah di RT 4 RW 13 itu memang banyak dikunjungi berbagai kalangan masyarakat. Namun justru merepotkan keluarga Jamilah. “Banyak yang datang berkunjung, lalu pulang ditinggal begitu saja. Ya, kami yang membersihkan, merawat rumah,” ujar Jamilah.
Kakak Jamilah, Samsul Arifin, mengatakan keluarganya tidak keberatan jika rumah yang mereka tempati dijadikan monumen bersejarah. Namun perlu ada pengakuan dan perhatian langsung dari keluarga Bung Karno. Selama ini, perhatian itu nyaris tidak ada. Biaya perawatan dan kebersihan rumah ditanggung keluarga Jamilah.  “Selama ini nggak pernah ada kunjungan (dari keluarga Bung Karno). Ya baru kemarin Bu Megawati datang bersama puterinya dan rombongan PDIP,” ucap Samsul.
Minimnya perhatian pemerintah juga diakui Ketua RW 13 Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Muzaki. Seringkali agenda yang berkaitan dengan tempat bersejarah di lingkungan Peneleh hanya bersifat seremonial. “Hanya seremonial dan selesai waktu itu saja. Nggak pernah melibatkan warga sekitar,” tutur Muzaki.
Atas dasar itu warga menginginkan Pandean dijadikan sebagai Kampung Bung Karno. Dengan demikian, kampung ini bisa menjadi aset wisata yang memberdayakan masyarakat sekitar. Dukungan dan perhatian dari pemerintah pun sangat diharapkan warga. Rencana pemerintah untuk menetapkan rumah Pandean sebagai monumen bersejarah hingga kini belum terwujud. “Padahal ini tempat lahirnya Soekarno, hanya ada satu-satunya di dunia,” kata Muzaki.
Selama ini Bung Karno dinyatakan lahir di Blitar pada 6 Juni 1901. Namun berdasarkan penelusuran sejarah dan buku literatur sebelum 1965 menyebutkan bahwa putera pasangan Raden Soekemi, seorang guru sekolah rakyat dan Ida Ayu Rai, seorang perempuan bangsawan Bali ini  lahir di Surabaya, yakni di rumah yang ditempati keluarga Jamilah sekarang.
Gonjang-ganjing penjualan rumah tempat lahir Bung Karno di Gang Pandean sudah direspon Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma). Risma sudah menawar rumah yang ditempati oleh Jamilah senilai Rp 300 juta, namun harga tersebut membengkak hingga Rp 2 miliar. “Kami sempat pakai tim appraisal dari Istana Gebang di Blitar, tapi harganya terus naik sampai Rp 2 miliar,” kata Risma.
Risma mengaku pihaknya akan terus berusaha melakukan pendekatan intensif agar harga rumah itu menjadi wajar. “Kita juga ingin secepatnya rumah itu segera diambil alih Pemkot Surabaya dan dijadikan sebagai salah satu cagar budaya milik negara,” tandas Risma. [geh]

Tags: