Minimalisir Problem UN

karikatur-ujian-nasional[1]KEMENTERIAN Pendidikan mulai mengamankan proses cetak soal UN (Ujian Nasional) tingkat SLTP dan SLTA. Boleh jadi, itu pencetakan soal yang terakhir, karena UN akan menggunakan sistem online. Materi soal UN yang mengandung unsur SARAP (Suku, Agama, Ras Antar-golongan, dan Politik) tidak ditolerir. Begitu pula trauma kebocoran soal terus diwaspadai, dengan penjejakan CCTV selama 24 jam di semua percetakan.
Terdapat beberapa masalah teknis penyelenggaraan UN tahun-tahun lalu, yang tidak boleh terulang. Antaralain jawaban soal Unas SMP bocor secara masif. Biasanya, murid sableng (dengan kompetensi akademik dan moral rendah) akan mengejar jawaban soal. Ternyata sukses besar! Anak-anak sableng bias meraih rata-rata nilai Unas sebesar 9,4. Padahal biasanya dalam ulangan dan ujian di sekolah nilainya cuma 3,5 atau 4.
Sedangkan murid yang baik-baik, hanya meraih nilai UN tak lebih dari 8,5, seperti yang biasa dicapai saat ulangan dan ujian sekolah. Sehingga murid yang baik-baik kalah dalam perebutan kursi sekolah negeri maupun sekolah favorit. Akibatnya, sekolah-sekolah negeri (SMA, SMK dan MA)  maupun swasta favorit diisi oleh murid-murid sableng. Setidaknya, selama 3 tahun terakhir, Unas tidak menguntungkan bagi peserta didik yang baik-baik. Juga masih merepotkan seluruh stake-holder kependidikan.
Masalah lain, adalah penyusupan altar politik dalam UN. Hari pertama Unas SMA (Senin 14 April 2014 lalu), diketahui terdapat nama salahsatu Capres (calon presiden) yang telah nyata-nyata dideklarasikan. Dalam soal mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk jurusan IPS, terdapat pertanyaan soal dengan paparan biografi capres tertentu. Tidak itu saja, penyusupan yang sama juga terjadi pada hari terakhir UN (Rabu 16 April 2014 lalu) pada mata pelajaran Bahasa Inggris.
Sengaja atau tidak, masuknya nama capres dalam materi soal UN bisa ber-ekses politik sangat besar. Juga tidak menguntungkan capres yang namanya dicatut dalam soal UN. Yakni, bisa dianggap melakukan kecurangan terstruktur dan masif,  mencuri start kampanye. Itu akan menjadi bahan olok-olok, dan menurunkan tingkat kepercayaan publik. Capres yang namanya dicatut dianggap tidak jujur dan menghalalkan segala cara.
Perbuatan siapa? Wajib ditelusuri. Tetapi konon, soal Unas telah dibuat sejak bulan Juli hingga Oktober 2013. Mestinya, sebelum tersaji sebagai materi soal nama capres harus diganti. Sebenarnya masih ada waktu (30 hari) untuk mengubah. Toh yang harus diganti hanya satu soal. Mengapa tidak diganti? Inilah yang menguatkan dugaan, bahwa pen-catut-an nama Capres dalam UN memang disengaja.
Andai tujuannya agar nama Capres lebih populer, pastilah dilakukan oleh oknum “brutus” (penjilat) yang  sembrono. Andai tidak disengaja, seharusnya sudah diganti. Sebab, pembuat soal mestilah kaum terpelajar yang mengerti peraturan. Selain itu, soal-soal UN selalu di-supervisi oleh pejabat setingkat eselon I yang sangat mengerti “cuaca” politik nasional.
Bisa dipastikan, banyak pejabat eselon I dan II pada Kementerian Dikbud yang patut diminta pertanggungjawaban. Bahkan dapat diancam pidana Pilpres. Dinyatakan dalam UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Piplres, pasal 44 ayat (1): “Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional… serta pegawai negeri lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Pasangan calon yang menjadi peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebelum, selama dan sesudah masa Kampanye.”
Masalah lainnya, menyangkut kewenangan (berdasar POS, Prosedur Operasional Standar) dan pendanaan. Misalnya, anggaran UN tidak dapat dicairkan oleh daerah (Dinas Pendidikan) untuk termin pekerjaan yang sedang dibutuhkan. Biaya pengawas se-jawaTimur, belum dicairkan sampai H-1 pelaksanaan UN. Namun siap atau tidak, pemerintah (Kemendikdasmen) terlanjur mengambil-alih UN untuk dilaksanakan terpusat.

                                                                                                ————– 000 —————-

Rate this article!
Minimalisir Problem UN,5 / 5 ( 1votes )
Tags: