Minimnya Investasi Sektor Pertanian

Investasi di sektor pertanian pasca disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada 5 Oktober lalu membawa perubahan. Terutama terkait adanya peluang relaksasi kebijakan penanaman modal asing (PMA). Relaksasi PMA di sektor pertanian idealnya dapat dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas, salah satunya komoditas hortikultura. Sebelum adanya relaksasi ini, investasi di sektor ini terkendala pembatasan. Ternilai tidak ramah terhadap masuknya investasi di sektor pertanian, salah satunya di subsektor hortikultura.

Pembatasan regulasi sebelum adanya UU Cipta Kerja terlihat dalam UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, yang diperjelas dengan PP 44/2016. Tepatnya, di Pasal 33 dinyatakan bahwa pembatasan penggunaan sarana hortikultura dari luar negeri dan mensyaratkan keharusan untuk mengutamakan sarana yang mengandung komponen hasil produksi dalam negeri. Dilanjutkan, di Pasal 100 di Undang-Undang yang sama pun membatasi penanaman modal asing yang hanya diperuntukkan bagi usaha besar hortikultura dengan jumlah modal paling besar 30%. Regulasi tersebut memberikan peluang kepemilikan atau investasi asing terbatasi. Bahkan, regulasi yang ada ternilai restriktif.

Itu artinya, melalui regulasi lama sektor pertanian memberikan prospek minimnya investasi, karena harus melewati proses perizinan usaha yang rumit. Investor harus mengantongi izin, mulai dari rekomendasi dinas di pemda setempat, hingga Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Isu kepemilikan lahan juga terus menjadi isu yang membuat investor khawatir untuk menanam modal di Indonesia. Sementara itu, investasi ke riset dan pengembangan untuk inovasi agrikultur dan pengembangan pengetahuan agrikultur minim. Padahal dua hal itu dibutuhkan untuk memodernisasi pertanian.

Harun Rasyid
Dosen FPP Universitas Muhmammadiyah Malang

Rate this article!
Tags: