Mitigasi Kampanye Hitam Pilkada

Oleh:
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.

Upaya mengantisipasi merebaknya kampanye hitam (back campaign) dalam Pilkada 2018 terus dilakukan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki kewenangan memantau dan merekomendasi pembekuan akun media sosial (medsos) yang melakukan kampanye hitam. Kewenangan Bawaslu ini tertuang dalam memorandum of understanding (MoU) antara Bawaslu, KPU, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), serta sejumlah platform medsos yang beroperasi di Indonesia.
Mitigasi potensi munculnya kampanye hitam Pilkada ini penting dilakukan lebih awal. Walaupun tahapan pelaksanaan kampanye Pilkada secara resmi belum dibuka, tetapi kampanye terselubung sudah terlihat lewat beragam kegiatan yang digelar tim sukses dari beberapa kontestan Pilkada. Melalui medsos, kampanye hitam juga sudah muncul lebih awal seperti saat pencalonan salah satu kandidat wakil gubernur Jatim dari PDI beberapa waktu silam.
Pengalaman dari pelaksanaan Pilkada dan Pemilu yang telah terjadi di negeri ini, tidak pernah sepi dari munculnya kampanye hitam. Pemilihan presiden di sejumlah negara tetangga juga diwarnai adanya kampanye hitam. Kampanye hitam semakin marak terutama di medsos. Medsos dipilih banyak orang sebagai sarana meluaskan kampanye hitam. Melalui Google, Youtube, Facebook, Twitter, BBM, Line, Bigo Live, Me Tube, dan Live Me, bisa berpotensi digunakan mengusung pesan kampaye hitam.
Kerawanan Pilkada
Berdasarkan Indek Kerawanan Pilkada (IKP) yang dirilis Bawaslu beberapa waktu lalu, dari 17 provinsi, ada 12 provinsi atau sekitar 71 persen dengan tingkat penggunaan medsos terkait Pilkada sangat tinggi. 12 provinsi itu adalah Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Tenggara. Sebanyak lima provinsi atau sekitar 29 persen, yaitu Provinsi Papua, Lampung, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan, termasuk dalam tingkat kerawanan sedang.
Tidak ada provinsi yang tingkat penggunaan media sosialnya rendah untuk isu-isu Pilkada. Ada 38 kabupaten kota atau sekitar 25 persen yang tingkat aksesibilitas masyarakatnya pada medsos juga tidak kecil. Frekuensi lalu lintas pesan terkait isu-isu Pilkada menyebar sangat tinggi di medsos. Besarnya tingkat penggunaan dan terpaan medsos ini perlu diwaspadai karena berpotensi menimbulkan kerawanan selama Pilkada.
Isu politik identitas juga menjadi potensi kerawanan yang harus diwaspadai. Pembicaraan terkait politik identitas marak terjadi di medsos di semua daerah dengan derajat berbeda. Merujuk Indek Kerawanan Pilkada yang dipublis Bawaslu, sebanyak 38 kabupaten atau sekitar 25 persen termasuk dalam kategori tingkat kerawanan tinggi. Sebanyak 63 daerah atau 41 persen termasuk kategori kerawanan sedang. Sedangkan sisanya sebanyak 53 daerah atau 34 persen masuk kategori rendah tingkat kerawanannya.
Belajar dari kasus Pilkada DKI Jakarta silam, kerawanan terjadi bermula di dunia maya yang berakhir pada aksi dunia nyata. Beberapa aksi berkumpulnya massa bermula dari postingan di medsos. Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Line dan WhatsApp banyak digunakan sekelompok orang saat itu untuk saling beradu opini, saling menebar pengaruh hingga memaksakan kehendaknya. Kerawanan serupa yang terjadi saat Pilkada DKI tentu harus diantisipasi agar tidak terulang kembali.
Terkadang situasi di dunia nyata memang terlihat aman-aman saja. Antar politisi kandidat Pilkada terlihat kompak dan mesra. Namun tidak demikian di dunia maya. Perang sengit sesungguhnya justru terjadi di dunia maya melalui adu statemen, ujaran kebencian, berita bohong, menipulasi visual, berita, dan beragam wujub cara negatif lain.
Pantau Akun Medsos
Medsos itu merupakan salah satu media yang tergolong bebas. Siapa saja bisa bikin akun di medsos. Medsos juga memungkinkan pemilik akunnya muncul bukan dengan identitas aslinya (anonim). Sifat anonimitas medsos inilah yang menjadikan media ini disalahgunakan oleh banyak orang yang tidak bertanggungjawab untuk menjalankan aksi jahatnya.
Dengan kecanggihan teknologi, memantau medsos juga bukan hal yang terlampau sulit. Saat ini telah tersedia beberapa software aplikasi yang dapat dimanfaatkan untuk memantau interaksi komunikasi di dunia maya. Terhadap kemungkinan beberapa akun yang berpotensi memicu kerawanan jelang Pilkada bisa dimonitor dan dilacak kepemilikan dan semua pesan yang telah dipublis oleh sebuah akun tertentu.
Persoalannya, biasanya akun penebar kampanye hitam, berita bohong, dan ujaran kebencian ini jumlahnya sangat banyak. Perlu upaya extra karena diantara pembuat akun medsos provokatif biasanya setelah diblokir akunnya justru dengan gampang akan muncul kembali dengan akun yang berbeda. Sehinga upaya pemblokiran kiranya bukan solusi jitu untuk menghadang para pembuat onar di dunia maya ini.
Bawaslu dan tim Cyber Crime Polri telah memantau secara ketat akun-akun medsos terkait Pilkada. Pemantauan dilakukan pada akun-akun resmi partai politik tim sukses, kader, simpatisan maupun masyarakat secara umum. Selain upaya pemantauan, hal esensi yang juga hendaknya dilakukan adalah dengan mengedukasi masyarakat. Masyarakat dan semua pihak yang terlibat dalam kontestasi Pilkada serentak hendaknya dibangun kesadaran akan pentingnya bermedia yang sehat.
Melalui komitmen bersama untuk menciptakan suasana kondusif Pilkada bisa juga diwujudkan lewat pesan-pesan yang mendinginkan suasana dan tidak memprovokasi. Cara ini bisa dilakukan lewat para figur publik di medsos. Para pengguna medsos dengan jumlah pengikut (follower) sangat banyak tentu bisa berperan dalam mengajak pengikutnya. Tidak harus tokoh agama, lewat sosok popular di medsos, pesan-pesan tentang berpolitik yang santun bisa dititipkan.
Para selebgram, para vlogger, dan para artis yang punya banyak follower bisa menjadi duta perdamaian Pilkada 2018 lewat pesan-pesan bijak melalui akun-akun medsos. Bagi masyarakat juga perlu ditanamkan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya melek media. Masyarakat perlu sikap kritis ketika menerima dan memublikasikan pesan terutama di medsos.
Momentum Pilkada serentak 2018 bisa menjadi cerminan karakter demokrasi yang santun, tanpa menjelekkan dan mencela. Masyarakat menunggu para kandidat berkompetisi secara fairplay. Masyarakat menanti antar kandidat beradu prestasi, rekam jejak, ide, program, dan bukti kerja nyata. Masyarakat sudah muak dengan janji palsu, tebar pesona dan saling mencela lawan politik melalui kampanye hitam lewat beragam media. Cara-cara licik dan jahat seharusnya dijauhi oleh semua kontestan. Mari wujudkan berdemokrasi yang santun dan bermartabat.

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: