Gunung Semeru sudah dinyatakan berstatus “awas” erupsi. Luruhan larva panas berguguran dari puncak menuju arah tenggara, sejauh 13 kilometer. Asap debu vulkanik telah menutup pemandangan. Daerah aman yang harus “distrerilkan” ditetapkan sejauh 19 kilometer. Mitigasi ketat harus diberlakukan untuk menghindari korban jiwa (seperti erupsi serupa persis setahun lalu). Telah cukup pengalaman antisipasi erupsi Semeru, sehingga BPBD telah mengevakuasi masyarakat sejak pagi.
Pada evakuasi mandiri (awal) puluhan warga desa Supiturang, dan Sumber wuluh, Lumajang (Jawa Timur), bagai “adu cepat” dengan luruhan lahar panas gunung Semeru. Seluruhnya selamat tiba di balai desa Penanggal. Terharu, sembari mengenang peristiwa yang sama setahun lalu (6 Desember 2021), banyak warga gagal menyelamatkan diri. Tercatat korban jiwa sebanyak 45 warga. Walau sesungguhnya Semeru bukan tipe gunung berapi yang “garang.” Selalu mengeluarkan tanda-tanda yang jelas, sebelum erupsi besar.
Masyarakat desa Supiturang, dan Sumber Wuluh, Lumajang, yang persis di lereng Semeru, telah memperoleh rumah tinggal tetap program relokasi. Sebanyak 2 ribu hunian tetap (huntap) telah dibangun pemerintah. Seluruhnya layak huni berdasar kelayakan lingkungan. Anggaran pembangunan huntap juga disokong donasi 40 organisasi kemasyarakatan, yang di Baznas. Sudah menjadi kampung smart village, memperoleh rekomendasi Badan Geologi, PVMBG, BMKG, dan BNPB.
Namun karena trauma, masyarakat ber-inisiatif melakukan pengungsian mandiri, sejak Ahad (4 Desember) pagi. Karena sejak Sabtu malam telah terasa tanda-tanda erupsi, menyemburnya asap debu. Namun sebagian masih melakukan aktifitas biasa. Sebab biasanya, erupsi Semeru tergolong “ramah.” Termasuk aktifitas menambang pasir di kali Curah Kobokan, dan kali Besuksat. Namun pada Ahad pagi terdengar gemuruh.
Sejak 3 Desember, PVMBG (Pusat Vulkanologi mitigasi Bencana Geologi) telah menyiarkan warning melalui media sosial (WhatsApp), ke berbagai instansi pemerintahan. Begitu pula WA grup berisi informasi gejala erupsi Semeru, juga dikirim oleh Pengamat Gunung Api (PGA) ke desa-desa lereng Semeru. Saat ini warga terdekat kawah Semeru sudah berada di tenda pengungsian, suasana masih mencekam. Kubah Semeru masih meluruh, meluncurkan deras kearah kali Curah Kobokan, dan kali Besukisat.
Catatan letusan vulkanologi Semeru terbesar terjadi pada tahun 1994, dengan memuntahkan 6,8 juta meter-kubik material. Terdapat korban jiwa 9 orang terseret arus lahar yang meluruh ke berbagai sungai. Letusan terjadi pada 3 Februari 1994, waktu subuh. Disertai dentuman, hujan abu, dan lava awan panas. Kubah dan “lidah” lava yang terbentuk sejak tahun 1992, turut meleleh. Aliran awan panas guguran ini berarak-arak hingga sejauh 11,5 Km.
Pemerintah berkewajiban “meng-advokasi” masyarakat. UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 26 ayat (1) huruf b, dituliskan bahwa setiap orang berhak: “mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.” Bahkan pentingnya pendidikan dan latihan kebencanaan diulang lagi pada pasal 35. Didalamnya juga di-amanat-kan penegakan regulasi tentang rencana tata-ruang (RTRW).
Korban bencana juga memiliki hak memperoleh bantuan melanjutkan kehidupan yang layak. UU Penanggulangan Bencana pasal 26 ayat (2), menyatakan, “Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.” Pada pasal 53, terdapat enam jenis kebutuhan dasar. Masyarakat korban bencana erupsi Semeru telah “habis-habisan.” Kehilangan anggota keluarga, rumah tinggal, sawah ladang (sebagai nafkah), serta hewan ternak yang terendam guguran lava panas.
Bantuan korban bencana bukan sedekah yang bisa ditunaikan pemerintah secara “suka-suka.” Melainkan hak korban bencana yang dijamin konstitusi sebagai hak asasi.
——— 000 ———