Mitigasi “Punggung” Gempa

Pantai Talise, Palu (Sulawesi Tengah), berduka sangat mendalam pasca gempa bumi berkekuatan 7,7 Skala Richter (SR), disertai tsunami. Telah ditemukan lebih dari 840 korban jiwa. Daerah sekitar (Donggala di propinsi Sulawesi Tenggara, dan Mamuju di Sulawesi Barat) turut terguncang. Banyak bangunan roboh menimpa penghuninya. Juga berbagai barang kekayaan terseret arus tsunami. Seluruh masyarakat Indonesia berduka kembali akibat musibah gempa bumi.
Gempa tektonik di Palu (dan Donggala), lebih besar dibanding gempa yang mengguncang Lombok (6,4 SR), persis dua bulan lalu. Lebih dari 560 korban jiwa telah dikebumikan, paling banyak di Lombok Utara (466 jiwa). Rehabilitasi rumah dan infrastruktur yang rusak, juga baru dimulai. Mengutamakan rehab gedung sekolah. Serta infratsruktur jalan yang ambles. Lindu Palu, telah menambah panjang rantai kawasan terdampak gempa bumi.
Sesunggunya Indonesia tergolong menumpang di “punggung” patahan sesar gempa bumi. Empat lempeng gempa bumi di dunia (Euro-Asia, Pasifik, Samudera Hindia, dan Australia) melewati wilayah Indonesia. Lindu di Lombok, diakibatkan pergeseran lempeng patahan Flores. Sedangkan lindu di Palu persis berada di “punggung” lempeng Palu Koro. Lindu telah dikenal sejak lama. Bahkan nenek moyang, telah memiliki legenda tentang lindu dan tsunami.
Di Jawa bagian selatan, telah kondang legenda Nyai Roro Kidul. Realitanya, kawasan Yogya selatan, memiliki sejarah lindu, dan tsunami berkali-kali, sejak ratusan tahun silam. Legenda yang sama melekat kuat di kawasan Sukabumi, sampai Ujung kulon. Begitu pula kawasan pantai barat Sumatera (Lampung sampai Aceh), memiliki legenda gempa bumi dan tsunami. Sampai pada abad ke-18, seluruh kawasan pantai yang rawan tsunami (dan gempa), tidak berpenghuni.
Ironisnya, kawasan legenda bencana alam, kini menjadi perkotaan padat penduduk. Bahkan pada era moderen, transformasi budaya antisipasi bencana gempa dan tsunami, seolah menghilang. Legenda hanya dianggap mitos, dan tahayul. Padahal UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, meng-amanatkan kepelatihan bencana.
UU Penanggulangan Bencana pada pasal 26 ayat (1) huruf b, dituliskan bahwa setiap orang berhak: “mendapat kanpendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.” Bahkan pentingnya pendidikan dan latihan kebencanaan diulang lagi pada pasal 35. Didalamnya juga di-amanat-kan penegakan regulasi tentang rencana tata-ruang (RTRW).
Boleh jadi, gempa bumi, belum dapat dipastikan kehadirannya. Tetapi pengaturan tata-ruang wilayah, bisa mengurangi kepedihan dampak bencana. Terutama penyelematan jiwa manusia. Sehingga diperlukan penyesuaian pola hidup masyarakat, termasuk pembangunan tempat tinggal. Yakni, menjauhi pantai, dan berstruktur rancang ke-sipil-an tahan gempa. Misalnya, tidak mendirikan bangunan tinggi (lebih dari tiga lantai).
Realita banyaknya korban pada gempa bumi di Lombok, dan Palu, disebabkan terjebak dalam reruntuhan bangunan. Begitu pula wahana rekreasi pada kawasan gempa bumi, patut menjadi perhatian seksama. Terutama kawasan pantai, pegunungan, dan sarana akomodasi (hotel). Lindu di Lombok, terjadi pada hari sibuk rekreasi (Minggu). Tak terkecuali ratusan pendaki gunung masih berada di gunung Rinjani. Ketika bumi berguncang, punggung Rinjani longsor.
Begitu pula gempa tektonik Palu, terjadi pada awal akhir pekan (Jumat sore). Di pantai Talise, Palu, ketika itu diselenggarakan pesta pantai. Tiba-tiba bumi berguncang, ombak besar (tsunami) mulai bergulung-gulung menuju pantai, sampai masuk kota. Puluhan wisatawan tidak tertolong. Ke-parah-an tata-ruang di Palu, menyebabkan dampak makin bertambah besar. Hotel setinggi 8 lantai ambruk.
Status tanggap darurat, patut ditetapkan di Palu, Donggala, dan Sulawesi Tengah. Seluruh rakyat Indonesia akan membantu, disertai kerja keras TNI, Polri, dan relawan.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: