MK Imbau Pemohon Cabut Gugatan Aturan Pilkada Langsung

Sidang UU PilkadaJakarta, Bhirawa
Mahkamah Konstitusi menyarankan pemohon Pengujian UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, dan pengujian UU No.15 Tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilihan umum, untuk mencabut gugatannya dikarenakan objek permohonan yang sudah tidak ada.
Adapun gugatan tersebut diajukan oleh Victor Santoso Tandiasa, Ryan Muhammad, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, Kurniawan, Denny Rudini, Amanda Anggraenu Saputri, dan Hamid Aklis.
“Majelis berpendapat bahwa karena objeknya sudah tidak ada, maka kami menyarankan pemohon mencabut permohonan ini secara resmi yang dikemukakan di persidangan, kemudian kalau bisa juga diikuti dengan pencabutan secara tertulis,” ujar Ketua Persidangan Arief Hidayat dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu.
Salah satu pemohon, Kurniawan, mengatakan bahwa norma yang diujikan sudah kehilangan objeknya karena Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 maupun Undang-Undang Pemda sudah dicabut oleh undang-undang yang baru.
Mengenai pencabutan gugatan atas aturan pilkada langsung tersebut, majelis hakim menawarkan dua opsi yaitu supaya pemohon mencabut sendiri gugatannya atau menyerahkan kepada majelis hakim untuk mencabut gugatan tersebut.
Arief juga memberikan kesempatan bagi pemohon untuk berdiskusi perihak keputusan yang akan mereka ambil hingga Jumat (17/10).
Pada Rabu (15/10), persidangan terkait gugatan aturan Pilkada langsung itu beragendakan mendengarkan keterangan ahli dan saksi pemohon. Namun pemohon membatalkan untuk mendatangkan saksi dikarenakan objek permohonannya yang sudah tidak ada.
“Norma yang kami uji telah kehilangan objeknya sehingga kami menganggap bahwa tidak perlu mendatangkan ahli,” kata Kurniawan.
Sebelumnya pada persidangan pertama Kamis (17/4), pemohon menyatakan bahwa hak-hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2008 dan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, yang keduanya berisi tentang pemilihan kepala daerah.
Pemohon menyatakan dalam dua Undang-Undang tersebut tidak ditegaskan frasa “dipilih secara langsung” dalam mekanisme pemilihan kepala daerah, melainkan hanya ditegaskan secara limitatid dengan frasa “dipilih secara demokratis”.
Sementara makna “dipilih secara demokratis”, dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1045 adalah dipilih melalui mekanisme musyawarah perwakilan dan tidak dipilih secara langsung oleh rakyat seperti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945.
Menganggapi permohonan tersebut, Pemerintah yang diwakili oleh Mualimin Abdi menyampaikan penilaiannya bahwa permohonan yang diajukan oleh pemohon tidak dapat diajukan kembali.
Hal ini dikarenakan permohonan pengujian terhadap pasal yang sama pernah diputus MK dalam putusan Nomor 72-73/PUU-II/2004 pada 22 Maret 2005. [ant.ira]

Tags: