Mobilisasi Siswa di Luar Kendali Sekolah

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Upaya mobilisasi siswa dalam aksi penolakan alih kelola SMA/SMK cukup disayangkan sejumlah pihak. Tak terkecuali kepala sekolah yang tak tahu menahu soal itu. Aksi dalam bentuk menulis surat untuk presiden tersebut diakui telah keluar dari kendali pihak sekolah.
Kepala SMAN 6 Surabaya Nurseno mengaku pihaknya cukup menyayangkan dengan langkah pelajar yang terlibat dalam aksi tersebut. Selain tidak ada koordinasi dengan pihak sekolah, hal itu diakuinya bukan lagi menjadi kepentingan siswa. Sebab pengetahuan siswa terhadap Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah masih sangat terbatas.
“Kalau ada wali murid yang protes silakan. Wakil rakyat menyuarakan aspirasi warga silakan. Kalau kepala sekolah jelas tidak mungkin class action. Kami cuma pelaksana teknis,” tutur Nurseno saat dihubungi, Senin (28/3).
Sementara pelajar, lanjut dia, cukup melaksanakan tugasnya untuk belajar.  Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dibentuk untuk mendukung kegiatan di internal sekolah. Bukan sebaliknya, diarahkan ke ranah politis. “Kami khawatir, nantinya jangan-jangan ada keputusan kelembagaan yang dikeluarkan sekolah kemudian didemo oleh siswanya,” tutur Nurseno.
Untuk diketahui sejumlah perwakilan pelajar SMA/SMK se-Surabaya mendatangi Balai Kota Surabaya, Sabtu (26/3) guna menitipkan puluhan ribu pucuk surat ke Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini agar disampaikan kepada Presiden RI Joko Widodo terkait penolakan rencana pengalihan pengelolaan SMA/SMK dari kab/kota ke provinsi dan kekhawatiran tidak lagi mendapatkan pendidikan gratis.
Hal senada juga diungkapkan Kepala SMAN 14 Surabaya Muntiani. Pihaknya pun mengaku tidak tahu soal aksi menulis surat yang dilakukan oleh 33 ribu lebih pelajar di Surabaya itu. Pihak OSIS, lanjut dia, juga tidak pernah melakukan koordinasi dengan sekolah. “Mereka memang berjalan sendiri tanpa ada kendali sekolah. Kami kepala sekolah cukup mengikuti aturan yang ada saja,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Dewan Pendidikan Jatim Prof Zainudin Maliki menuturkan aksi para siswa itu sebetulnya memiliki nilai yang positif. Siswa dapat belajar tentang politik. Sayang, dari segi arah politik yang digunakan justru keliru. Karena pelajar hanya menuntut untuk kepentingan daerahnya sendiri. Seandainya mereka menggunakan pendekatan empati, semestinya pelajar di Surabaya tidak hanya melihat dirinya sendiri.
“Kalau empati mereka bermain, mestinya pelajar ini juga memiliki pertimbangan tentang daerah lain yang juga perlu dikembangkan pendidikannya,” tutur Zainudin.
Padahal, dengan adanya pelimpahan itu Pemkot Surabaya tetap bisa melakukan pendampingan dalam hal penganggaran. “Karena itu, prosedur penganggaran harus jelas,” tutur dia.
Zainudin khawatir, pola-pola yang dilakukan pelajar Surabaya ini akan diikuti oleh pelajar di daerah lain. Khususnya daerah-daerah yang secara politis dirugikan oleh adanya UU No 23 Tahun 2014. “Termasuk jika gugatan Surabaya itu dikabulkan, tidak menutup kemungkinan daerah lain juga berbondong-bondong untuk melakukan gugatan,” tutur Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.
Kendati demikian, Zainudin juga berharap ada keseriusan yang ditunjukkan provinsi dalam hal pengelolaan pendidikan. Khususnya dalam mengalokasikan penganggaran. “Jangan sampai mau mengelola SMA/SMK terus anggarannya malah dikurangi. Harusnya ditambah,” tutur dia.
Zainudin menyebut, ciri negara dunia ketiga ialah mengedepankan investasi yang tidak melibatkan banyak transaksi. Misalnya proyek-proyek mercusuar yang hanya melibatkan pengusaha-pengusaha besar. Sementara pendidikan dan kesehatan yang setiap orang melakukan transaksi dengan itu justru mendapat perhatian kecil. “Pemprov harus membuktikan keseriusannya. Masyarakat sudah menunggu saat ini,” tutur dia.

Tak Politisir Siswa
Sementara itu Komisi E DPRD Jatim menilai Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini telah mempolitisir siswa untuk menolak pengambilalihan pengelolaan SMA/SMK ke provinsi.  Bahkan komisi yang membidangi kesejahteraan rakyat ini mengkritisi Pemkot Surabaya  karena dianggap memobilisasi 33 ribu pelajar SMA/SMK Kota Surabaya untuk melayangkan surat ke Presiden Jokowi. Karenanya para wakil rakyat ini meminta Pemkot Surabaya tidak arogan dalam menyikapi UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim Suli Da’Im menegaskan tidak selayaknya Risma menjadikan persoalan pendidikan ke ranah politik. Apalagi saat ini siswa lagi konsentrasi dengan pelaksanaan UN, tapi mengapa diajak demo ke Presiden. Karenanya, persoalan pendidikan tidak dapat dilakukan secara parsial, namun semua ini kebijakan pusat dan diturunkan hingga ke tingkat bawah. Tapi yang pasti pemprov menjamin sekolah gratis masih tetap berlaku.
“Janganlah Bu Risma memanfaatkan anak-anak yang seharusnya fokus menempuh pendidikan untuk diajak berpolitik. Sebagai Wali Kota Surabaya seharusnya taat aturan, apalagi aturan tersebut dilatarbelakangi agar pelaksanaan wajib belajar 12 tahun terealisasi hingga daerah pelosok, bukan hanya perkotaan saja. Untuk itu, saya minta Bu Risma berpandangan kepentingan bersama harus didahulukan daripada kepentingan pribadi/golongan. Dan kita yakin Pemprov berusaha unuk menggratiskan untuk SMA/SMK,”papar politisi asal PAN ini, Senin (28/3).
Terpisah, anggota Fraksi Partai Demokrat DPRD Jatim Agus Dono
mengatakan, tidak seharusnya pemkot bersikap berbeda  setelah munculnya UU No 23 Tahun 2014. “Tidak seharusnya sikap berbeda ditunjukkan dengan menggerakkan siswa memprotes kebijakan UU No 23 Tahun 2014,” terang Agus Dono.
Agus Dono dari figur akademisi ini menilai jika kebutuhan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. “Sehingga, tidak perlu ada kekhawatiran terkait kebijakan bebas biaya pendidikan tingkat SMA maupun SMK,” katanya.
Dia menilai protes Pemkot Surabaya terhadap penerapan peralihan kewenangan pengelolaan SMA dan SMK ke provinsi seharusnya tidak dilakukan secara frontal.
“Protes kebijakan bisa dilakukan kepala daerah ke pemerintah pusat.  Kalau toh berbeda, tidak harus dilakukan dengan memobilisir siswa,” ujar Agus Dono.
Sementara itu, M Siroj anggota Fraksi PKS DPRD Jatim menilai persoalan pendidikan menjadi pekerjaan bersama di pemerintah. Sehingga, tidak seharusnya mereka (pemerintah, red)  memilah-milah kepentingan pendidikan. “Semua persoalan pendidikan  menjadi tanggungjawab pemerintah secara bersama-sama,” kata dia.
Disampaikan Siroj, adanya kebijakan berbeda antar pemerintah daerah terkait pendidikan gratis atau tidak harus disamakan. Sehingga, langkah pemerintah benar-benar seirama untuk mencerdaskan anak bangsa. “Bagi Pemda dengan PAD besar mungkin tidak masalah. Namun bagi pemda dengan PAD yang standar, juga harus diberi solusi,” ujar dia. [tam,cty]

Tags: