Mobnas Tak Berikan Keuntungan bagi Indonesia

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Kerjasama Indonesia dengan perusahan otomotif asal Malaysia, Proton menuai kecaman masyarakat luas di Indonesia. Kecaman tersebut terjadi bukan tanpa dasar, karena industri otomotif asal negeri jiran tersebut masih minim akan pengalaman, dan belum mampu menjadi industri otomotif yang independen seperti halnya India yang memiliki industri mobil mandiri dengan produknya Tata Mobil.
Tony Riswahyudi, kepala mekanik di perusahaan ekspedisi Balrich Logistik  yang sekaligus pengamat otomotif di Surabaya mengungkapkan seharusnya pemerintah memilih perusahaan otomotif yang berpengalaman dalam pengembangan produknya. Minimal produk tersebut meiliki daya saing yang masih dipercaya oleh masyarakat.
“ Jepang, Amerika, dan Eropa memiliki industri mobil yang cukup dinamis, kenapa pemerintah memilih Proton dari Malaysia ? Saya melihat industri mobil Malaysia dan Indonesia telah setara, cuma Indonesia belum bisa memasarkan produknya lebih baik. Sebut saja Esemka masih kesulitan tenaga penjualan, dan masih bergantung kepada sosok Jokowi yang pada saat itu masih menjabat Walikota Solo. Saat ini promosi Esemka masih sementara saja, artinya cuma sekedar angin lalu,” jelas Tony di kantornya, Senin (9/2) kemarin.
Ia tidak merasa anti dengan produk Proton, tetapi kemampuan pengembangan Mobil Nasional (Mobnas) dengan menggandeng Proton tidak memberikan keuntungan bagi Indonesia. Karena industri mobil Indonesia justru bersifat stagnasi. Sama halnya dengan progam mobnas pada saat zaman Soeharto yang lebih bersifat situasional.
“Dulu penjulan mobnas seri pertama di zaman Soeharto juga tidak begitu bagus. Masyarakat yang umum membeli produk tersebut jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Yang ada penggiringan instansi pemerintah untuk membeli produk mobnas yang pada waktu itu belum dikenal. Namun, mobnas yang dulu namanya Timor dan sekarang berganti KIA telah menjadi industri mobil raksasa. Apakah kita harus , menjadikan Proton menjadi raja di negara kita, kemudian produk mobil kita menjadi produk kelas dua,” tuturnya.
Sementara itu, menurut Wiyono Pontjoharyo, Drs, MM, Ak, Dosen Ekonomi Ubaya mengungkapkan produk mobnas yang menggandeng Proton dikhawatirkan tidak akan terlalu laku. Karena masyarakat sudah terbarand akan produk otomotif yang lebih dikenal dan memiliki kualitas yang cukup bisa diandalkan.
“Jumlah penjualan otomotif asal Malaysia di Indonesia memang tidak terlalu besar dibandingkan dengan produk asal Jepang, Korea, Amerika, dan Eropa. Bahkan posisi produk asal Malaysia tengah tersaingi dengan produk asal India. Jadi jika mobnas benar-benar di wujudkan, penjualannya pun tidak akan sebanyak produk dari negara pesaing, karena masyarakat beranggapan Proton sendiri masih produk yang belum menjadi primary choice bagi keluarga Indonesia. Sebut saja Proton Exora yang masih belum terlau banyak ada dijalanan, dibandingkan dengan Ertiga, Avansa, dan Xenia” . [wil]

Tags: