Model dalam Menghadapi Terorisme

Najamuddin Khairur RijalOleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Perbincangan tentang terorisme tiada habisnya. Terakhir, teror kembali terjadi di Gereja Katolik Stasi St. Yosep Medan (28/8). Terlepas dari pendapat dan spekulasi yang berkembang, kita semua mengutuk aksi tersebut. Lebih dari itu, bertindak untuk mengusut harus tetap jalan, sekaligus upaya preventif guna meminimalisir potensi teror juga harus terus diupayakan.
Kita semua sepakat bahwa teroris dan terorisme harus dilawan. Karena itu, beragam cara dan upaya yang dilakukan oleh negara untuk mencegah maupun melawan aksi teror dan ancaman terorisme. Dalam hal ini, ada dua bentuk tindakan, yakni anti terorisme (anti-terrorism) dan kontra terorisme (counter-terrorism).
Anti terorisme merupakan upaya preventif yang dilakukan negara untuk mencegah pengulangan terjadinya aksi-aksi teror. Upaya tersebut baik dalam bentuk persuasif maupun dalam konteks pertahanan stabilitas keamanan negara. Sementara kontra terorisme merupakan respons yang dilakukan negara untuk melawan teroris ketika aksi teror terjadi. Karenanya, sifatnya lebih proaktif dalam menghadapi ancaman fisik dari teroris.
Dalam kaitannya dengan tindakan itu, secara umum cara yang dilakukan negara untuk menghadapi terorisme dapat dipilah ke dalam tiga model atau pandangan. Pertama, model konvensional atau realis. Model ini memandang bahwa tidak ada cara lain untuk menghadapi ancaman terorisme selain menghadapinya (eliminating the terror). Pendekatan yang dilakukan selanjutnya cenderung bersifat militeristik, menumpas teroris dengan mengerahkan kekuatan militer (polisi) untuk melawan dan mengalahkan teroris.
Namun, di sisi lain, cara ini dipandang justru menciptakan lingkaran kekerasan. Menghadapi teroris dengan kekerasan (militeristik) justru kian membangkitkan gairah teroris untuk melawan dengan melakukan berbagai aksi teror. Begitu seterusnya, kekerasan dihadapi dengan kekerasan hingga memperteguh lingkaran kekerasan.
Upaya pemerintah Indonesia untuk menumpas kelompok Santoso Cs di Poso, Sulawesi Tengah kiranya dapat dimasukkan ke dalam model ini. Santoso Cs adalah kelompok teroris yang telah lama menjadi perhatian pemerintah. Untuk menangkap kelompok yang berjumlah sekitar 30 orang, pemerintah bahkan mengerahkan personil kepolisian dan militer sejumlah 3000 personil. Tampak sebuah jumlah yang fantastis, sekaligus kiranya menunjukkan bahwa Santoso bukanlah orang biasa. Meski pada akhirnya Santoso diyakini telah tewas dalam sebuah baku tembak beberapa waktu lalu, faktanya pemerintah masih terus memburu sisa-sisa anggotanya yang juga masih terus berusaha melancarkan perlawanan.
Sementara itu, model kedua menolak upaya militeristik secara penuh dan lebih menekankan pada model liberal. Menurut pandangan ini, menghadapi terorisme adalah dengan ask them to talk. Melakukan negosiasi dengan teroris untuk kemudian mengakomodasi apa yang menjadi kepentingan dan tuntutannya. Dalam hal ini, diperlukan bargaining position dengan mengupayakan win-win solution dengan menekan upaya penggunaan kekerasan (militeristik).
Model ini dapat dilihat pada langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam kasus penyanderaan sejumlah warga negara Indonesia (WNI) oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Sebagaimana diketahui, kelompok Abu Sayyaf masih menyandera beberapa WNI sebagai syarat untuk meminta tebusan kepada pemerintah Indonesia. Namun, hingga kini upaya negosiasi dan langkah persuasif masih terus diupayakan.
Adapun model ketiga adalah model konstruktivis. Menurut pandangan ini, terorisme tidaklah lahir dari ruang hampa, melainkan tumbuh dari lahan-lahan subur yang menyemai radikalisme. Artinya, ada faktor-faktor yang menjadi “lahan” bagi bersemainya kelompok teror, baik karena faktor sosial-budaya, ekonomi, maupun ideologis. Dan, teroris lahir dari akumulasi berbagai faktor yang berjalin berkelindan, tidaklah berdiri sendiri.
Oleh karena itu, untuk menghadapi teroris menurut pandangan ini adalah dengan mencabut akarnya. Maksudnya, dengan menyelesaikan permasalahan-permasalahan, baik sosial, ekonomi, politik, ataupun agama, yang mendorong munculnya teroris. Jika alasan sekelompok orang menjadi teroris adalah faktor keterbelakangan ekonomi, maka selesaikan masalah tersebut. Beri mereka pekerjaan untuk meningkatkan hajat hidupnya. Jika alasannya karena alasan ideologis, maka lakukan pendekatan ideologis untuk memperbaiki dimensi yang salah dari ideologi tersebut. Jika alasannya karena faktor struktur politik pemerintahan, maka koreksi struktur pemerintahan jika bermasalah, diskriminatif, atau lainnya.
Ketiga model di atas sejatinya bukanlah sesuatu yang parsial dan berdiri sendiri. Ketiga model tersebut dapat diintegrasikan sehingga untuk menghadapi teroris dilakukan dengan pendekatan komprehensif, menyeluruh. Sebab, tidak ada bentuk tunggal sebagai upaya untuk menghadapi teroris. “There is no single form to counter terrorism.”
Lebih dari itu, model yang dapat dilakukan negara di atas tidaklah bersifat stagnan. Artinya, tindakan negara dalam merespons kasus terorisme dapat berbeda sesuai dengan konteks dan kondisi. Itulah mengapa sikap pemerintah Indonesia dalam menghadapi kasus Abu Sayyaf berbeda dengan cara pemerintah menghadapi Santoso. Hal ini tentu karena kasus, konteks, situasi dan kondisi yang berbeda.
Jika Santoso adalah kelompok teroris dalam negeri, maka Abu Sayyaf adalah jaringan teroris transnasional. Jika ancaman Santoso domainnya lebih skala domestik, maka untuk kasus penyanderaan WNI oleh Abu Sayyaf domainnya adalah di wilayah negara lain, dalam hal ini Filipina. Sehingga, tidak bisa serta-merta dihadapi dengan cara militeristik apalagi karena mereka memiliki posisi tawar dengan menyandera WNI.
Lalu, untuk kasus teror yang terjadi di Gereja Katolik St. Yosep Medan, pemerintah perlu mengedepankan langkah-langkah untuk menemukenali dan menyelesaikan masalah yang menjadi “lahan” bagi lahirnya martir yang rela mati. Artinya, model konstruktivis harus terus dilakukan, selain dengan tetap mengintegrasikan upaya lain. Apalagi mengingat peristiwa semacam ini telah berulang kali terjadi, seharusnya dapat menjadi pelajaran dan pengalaman untuk bagaimana meminimalisir potensi terjadinya hal-hal yang sama di masa-masa mendatang.

                                                                                                                ———— *** ————–

Rate this article!
Tags: