Moderasi Beragama, Mengobati Radikalisme

Judul Buku : Moderasi Beragama: Perubahan Orientasi Keberagamaan Umat Islam Indonesia
Penulis : Penulis Sahabat Pena Kita
Penerbit : Sahabat Pena Kita, Gresik
Tahun : Cetakan 1, 2020
Tebal : xiv + 234 hlm
Ukuran : 15,5 x 23 cm
Peresensi : Much. Khoiri
Penggerak literasi, dosen, penulis 40 buku, dan Kahumas Une Surabaya.
RADIKALISME yang sempat merebak dan menghebohkan di negeri ini tampaknya semakin sempit pergerakannya. Setidaknya, sejak dibekukannya ormas-ormas yang dicap radikal dibekukan, legalitas mereka sebagai organisasi sudah mulai lemah, meski tak dimungkiri bahwa mereka mungkin masih melakukan gerakan secara laten dan kamuflase.
Penolakan pemerintah RI terhadap permohonan pemulangan eks-ISIS sebenarnya hanya sebuah simbol, bahwa radikalisme juga sudah ditolak di negeri ini. Pengalaman sejarah dalam dasawarsa terakhir telah mengajarkan bahwa radikalisme, betapapun berlandaskan agama, tidaklah sejalan dengan Pancasila dan fakta pluralitas kita sebagai bangsa.
Jangankan radikalisme yang nyata-nyata melakukan oposisi dengan pemerintah. Yang diam-diam (laten) pun, termasuk masuk ke sel-sel setiap instansi pemerintah, telah dilakukan “pembinaan”. Intinya, radikalisme harus dilenyapkan; apalagi radikalisme yang berwawasan sempit dan chauvistik. Jika perlu, pelenyapan radikalisme itu dilakukan hingga ke akar-akarnya.
Demikianlah antara lain harapan masyarakat umum yang kerap dipertontonkan oleh mereka yang digolongkan radikal. Tak peduli apakah kebijakan pemerintah sebagai kebijakan politik atau bukan, masyarakat hanya ingin kesatuan NKRI bisa tetap terjaga selamnya. Dengan terjaganya NKRI, setiap unsur masyarakat terlindungi untuk hidup beragama apapun yang diyakini.
Moderasi beragama, ya inilah yang sedang digalakkan, antara lain untuk melawan radikalisme. Inilah pesan utama dari Konferensi Internasional Moderasi dan Islam Wasathiyah yang digelar di Baghdad, 26-27 Juni 2018 silam. Delegasi Indonesia, kala itu, Muchlis M Hanafi, mewakili Menag, menegaskan bahwa Negara-negara Islam harus merapatkan barisan dan bergandengan tangan untuk mengkonter radikalisme dan membentengi generasi muda agar tidak terjerumus ke dalamnya.
Pemerintah Indonesia terus memperkuat moderasi Islam sebagai manhaj keberagaman atau pluralitas. Terlebih lagi, sejak pertama kali di Indonesia, DNA Islam Indonesia adalah tawassuth dan wasathiyyah, sehingga Indonesia mampu berasimilasi dengan budaya lokal yang amat beragam. Hal itulah yang layak dijadikan rujukan.
Buku Moderasi Beragama: Perubahan Orientasi Keberagamaan Umat Islam Indonesia (2020) ini, pada dasarnya, menyuarakan pentingnya moderasi beragama untuk negeri Indonesia tercinta. Radikalisme terbukti telah membuat kerasnya pikiran dan sikap masyarakat, dan justru telah menjauhkan dari sifat dakwah yang diteladankan Nabi Muhammad SAW yang rahmatan lil ‘alamiin.
“Moderasi beragama meniscayakan umat beragama untuk tidak mengurung diri, tidak eksklusif (tertutup), melainkan inklusif (terbuka), beradaptasi, melebur, bergaul dengan berbagai komunitas, serta selalu belajar di samping memberi pelajaran. Moderasi agama akan mendorong… sikap berimbang dan adil sehingga dapat hidup dalam sebuah kesepakatan bersama.” (hlm. iv).
Dalam hal menyikai isu moderasi beragama para penulis komunitas Sahabat Pena Kita (SPK) berusaha menyumbangkan pemikiran lewat tulisan-tulisan mereka, sebagai bagian upaya sosialisasi konsep moderasi beragama dan memperkaya konsep moderasi beragama. Tulisan diyakini mampu menebarkan pesan-pesan mereka ke tengah pembaca dan masyarakat secara luas.
Yang perlu dicatat, komunitas SPK bukanlah komunitas literasi sembarangan. Sudah bertahun-tahun mereka bertahan hidup secara solid (menulis antologi setiap bulan); dan mereka rela dikeluarkan dari komunitas jika tidak menulis dalam dalam tiga bulan berurutan. Hal ini saya maksudkan untuk membuktikan bahwa tulisan para penulis SPK benar-benar patut diperhitungkan. SPK sendiri telah memiliki legalitas hukum.
Masing-masing penulis SPK menawarkan gagasan, pengalaman, dan pandangan mereka dengan berbagai perspektif, karena para penulis buku ini adalah penulis berpengalaman dan memiliki latar belakang profesi yang beragam: ada dosen, guru, trainer, pengusaha, pejabat, rohaniawan, hingga guru besar. Berkat perbedaan perspektif tersebut, tulisan-tulisan di dalam buku ini saling memperkaya satu sama lain.
Secara garis besar, buku Moderasi Beragama ini memaparkan lima subbagian: Moderasi beragama sebagai perubahan orientasi keberagamaan umat Islam Indonesia, fenomena praktik keberagamaan di masyarakat, penguatan aktivitas beragama dalam kehidupan, simbol beragaman dalam penampilan, dan belajar memperbaiki diri sebagai manusia yang beragama, lewat berbagai forum dan media termasuk media sosial youtube (hlm 46) atau twitter (hlm 59).
Dengan gaya bahasanya yang renyah dan enak diikuti, masing-masing tulisan mengusung pemikiran penulisnya. Jika disimpulkan, beragama haruslah diamalkan dengan akhlakul karimah (akhlak mulia), jauh dari radikalisme, sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah SAW. Amalan beragama juga harus penuh kedamaian, agar lebih tenang beribadah. Demikian pun dakwah, ia harus dilaksanakan dengan santun dan bermartabat.
Kehadiran buku ini tentu diharapkan dapat menghidupkan semangat berislam yang moderat bagi seluruh muslim, meneladani Rasulullah yang senantiasa menebarkan kedamaian. Islam yang damai. Islam yang tidak anarkhis. Islam yang mengajak dan merangkul bukan mencak-mencak. Islam yang qoulan layyinan, bukan qoulan sadida.
Bagaimana isi seutuhnya tentang moderasi beragama itu? Segera miliki dan nikmati buku ini dengan kajian yang kupas tuntas. Selamat menyelami isinya, serta memetik hikmah dan inspirasinya.
———- *** ———–

Tags: