Moeldoko, Pengaruh Rezim dan Penggerusan Demokrasi

Membaca Dualisme Demokrat

Oleh :
Jihan Marsya Azahra
Studi Partai Politik dan Sistem Perwakilan Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Fenomena dualisme kepemimpinan partai politik menjadi hal yang sering terjadi di Indonesia. Hampir setiap partai politik di Indonesia pernah mengalami perpecahan di dalam internal partai politik. Perpecahan tersebut biasanya memunculkan partai baru, melebur kembali atau mungkin pindah ke partai lain. Tetapi apa yang menimpa partai Demokrat saat ini berbeda. Para mantan kader partai Demorkat bersama Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko, justru mengambil langkah untuk menggulingkan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang dilakukan di Deli Serdang, Sumatra Utara. Kemudian mereka memilih KSP Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang baru (versi KLB). Akuisisi partai dengan memilih ketua umum baru mungkin juga pernah dilakukan beberapa partai, namun yang menjadi sorotan dalam hal ini adalah keterlibatan pihak luar dalam hal ini istana melalui Moeldoko sebagai Kepala Staf Presiden (lingkaran kekuasaan).

Moeldoko sendiri bukanlah kader partai Demokrat, melainkan partai Hanura dan posisinya saat ini tengah berada dilingkungan kekuasaan istana negara. Syarat dari AD/ART partai Demokrat bahwa yang bisa menjadi Ketua Umum Demokrat harus kader dari pertai berlambang mercy tersebut, mereka yang bukan kader seharusnya tidak bisa menjadi ketua umum. Sehingga, KLB ini tidak sah bagi Partai Demokrat dan dinilai sebagai “perampasan partai politik” yang dilakukan oleh koalisi mantan kader Demokrat dengan istana. Tentunya keputusan-keputusan untuk melakukan KLB dan mengajak Moeldoko menjadi Ketua Umum bukanlah keputusan mendadak, sudah ada narasi terstuktur yang diselimuti dengan kepentingan-kepentingan politik. Menguatnya issue Jokowi tiga periode atau pencalonan Moeldoko untuk 2024 menggunakan Demokrat sebagai kendaraan politik menjadi motif-motif yang telah beredar dimasyarakat dalam menanggapi kudeta AHY tersebut.

Presiden Jokowi menyanggah pernyataan bahwasaannya ada keterkaitan istana dalam kudeta tersebut, dan ia juga sempat menolak pencalonan presiden tiga periode karena hal tersebut tidak sesuai konstitusi. Akan tetapi, akhir-akhir ini Kantor Staf Presiden menyatakan jika tiga periode merupakan kemauan masyarakat, maka akan diserahkan kepada keputusan MPR, secara implisit ia menyetujui jabatannya menjadi tiga periode. Terlebih jika kita melihat bagaimana pergerakan partai politik saat ini, hampir seluruh partai politik berkoalisi dengan pemerintah. Partai-partai baru yang muncul, dan dualism kepemimpinan partai, seluruhnya yang disahkan oleh Kemenkumham merupakan partai yang mendukung penguasa. Sedangkan Demokrat sebagai oposisi telah terpecah dan kemungkinan kubu KLB akan mendukung koalisi pemerintah juga. Jika ternyata Demokrat versi KLB yang disahkan oleh Kemenkumham, niscaya ada upaya untuk menghilangkan oposisi oleh penguasa dan upaya untuk menggalang kekuatan dalam rangka pengesahan kepemimpinan tiga periode dengan mengamandemen UUD 1945. Dalam hal ini, posisi Kemenkumham menjadi “penentu” partai manakah yang akan di sahkan Demokrat versi AHY atau versi KLB (Moeldoko). Partai oposisi vs partai pendukung. Dengan disahkannya partai yang mendukung pemerintah, maka dukungan untuk rezim yang berkuasa semakin besar dan hampir seluruh partai politik berada di bawah koalisi rezim pemerintah. Hal ini menghilangkan dan mengurangi jumlah partai yang berperan sebagai oposisi. Dengan berkurangnya partai oposisi maka kontrol terhadap kekuasaan juga berkurang. Tanpa partai politik, kontrol yang dilakukan oleh gerakan sosial masyarakat, civil society sulit untuk mencapai kekuasaan jika partai oposisi tidak turut serta. Hal inilah yang perlu kita waspadai karena kesewenangan dari rezim pemerintah yang berkuasa tidak bisa dikendalikan. Seperti kata Lord Acton bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.

Hingga saat ini, rezim yang berkuasa belum memberikan tindakan atas apa yang dilakukan oleh kepala stafnya. Sikap diam ini presiden tunjukkan karena ia mengakui tidak tahu atas apa yang dilakukan oleh Moeldoko, namun disisi lain ini menunjukkan bahwa memang ada pembenaran atas apa yang dilakukan oleh Moeldoko. Karena sebagai seorang atasan dari Moeldoko tidak mungkin tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kananya sendiri. Hingga sampai saat ini Moeldoko juga terus mengakui bahwa yang dia lakukan semata-mata adalah keputusannya sendiri tanpa ada campur tangan istana. Apa yang dilakukan oleh Moeldoko dengan mengakuisisi partai Demokrat menunjukkan etika politik yang tidak baik kepada masyarakat. Terlebih lagi, adanya motif-motif bahwa Moeldoko hanya ingin menggunakan Demokrat sebagai kendaraan politiknya pada ajang pemilu 2024. Poster-poster Moeldoko akan mendampingi Puan Maharani dalam pemilihan presiden 2024 mulai bermunculan. Artinya, bukan hanya memecah belah partai dan menghilangkan oposisi tetapi juga upaya untuk mempertahankan langgengnya kekuasaan para elit politik. Dengan begitu demokrasi Indonesia mulai terancam karena kekuasaan oligarki para penguasa.

Melihat apa yang dilakukan rezim pemerintah saat ini dengan menghabisi oposisi, melanggengkan oligarki, pemerintahan berjalan seperti otoritarian ini telah menggerus demokrasi. Levitsky dan Ziblatt (2021) berpendapat bahwa tanda-tanda tersebut bisa membuat demokrasi mati secara pelan-pelan. Menurutnya, matinya demokrasi bukan hanya karena kudeta dan kekerasan militer, tetapi juga bisa melalui pemimpin yang terpilih. Dimana pemimpin tersebut membajak proses demokrasi yang membawa mereka kepada kekuasaan. Ditangan pemimpin yang terpilih demokratis, tidak akan demokrasi mati secara seketika, namun demokrasi akan tergerus pelan-pelan tak kasat mata melalui kebijakan pemerintah, aturan perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif, atau keputusan hukum yang dibuat oleh yudikatif.

Hal ini mengingatkan kita tentang wacana amandemen UUD 1945 yang akan merubah kepemimpinan presiden dua periode menjadi tiga periode, keputusan MK menghapuskan pasal undang-undang pencalonan kerabat atau keluarga petahana (pelanggengan oligarki), dan larangan dan penghilangan golongan-golongan oposisi pemerintah. Hal ini menunjukkan demokrasi kita telah tergerus dan disahkan secara hukum. Meski semua tahu bahwa hal tersebut melanggar konstitusi, tapi keserakahan para elit ini membutakan atas cita-cita dan kesejahteraan rakyat yang tertuang didalam konstitusi. Mirisnya, Menkopolhukam sendiri menyatakan bahwa konstitusi boleh dilanggar dalam keadaan terdesak.

——— *** ———-

Tags: