Momentum Percepatan Konversi BBM ke BBG

Wahyu KSN2014Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa;
Alumnus  Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya
Tahun 2014, sebagai tahun politik –karena pada tahun ini diselenggarakan pemilu umum baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden– akan menjadi tonggak menuju tahun emas Indonesia mulai 2015 mendatang. Artinya, mimpi wajah Indonesia yang lebih baik termasuk mimpi mewujudkan kemandirian energi sangat ditentukan bagaimana bangsa Indonesia memilih para pemimpin-pemimpinnya.
Di atas kertas, janji-janji dua pasangan calon presiden/wakil presiden (capres/cawapres) yakni Jokowi/Jusuf Kalla dan Prabowo/Hatta yang akan bertarung pada Pilpres 9  Juli mendatang begitu indah dan meyakinkan. Dalam bahasa yang berbeda, kedua pasangan sama-sama menjanjikan kemandirian atau kedaulatan baik ekonomi, pangan maupun energi. Berbagai program kerja yang dituangkan dalam visi-misi untuk lima tahun ke depan cukup memberi harapan untuk membebaskan jeratan persoalan bangsa yang menjadi sumber keterpurukan selama ini. Namun pertanyaannya, mampukah kedua capres itu baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo merealisasikan janji manisnya di tengah kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terseok-seok, karena anggaran subsidi yang terus menggelembung dan diperparah oleh defisit perdagangan yang kian melebar? Sengaja persoalan postur APBN dan defisit perdagangan penulis sampaikan di awal mengingat, pengalaman memperlihatkan betapa program dan kebijakan yang hebat-hebat harus takluk oleh postur APBN yang tidak memihaknya. Akibatnya, program indah nan menjanjikan hanya cukup di atas kertas saja ketika tidak ada keberanian dan ketegasan dalam mewujudkan visi dan misinya.
Kalau kita simak rancangan APBN Perubahan 2014 misalnya, pemerintah telah menaikkan pagu anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari Rp210,7 triliun versi APBN 2014 menjadi Rp285 triliun, atau terjadi peningkatan sekitar Rp74,3 triliun. Kenaikan anggaran subsidi BBM memang sulit untuk dihindari. Selain konsumsi BBM bersubsidi terus melambung, juga dipicu oleh nilai tukar kurs yang membumbung tinggi. Dalam APBN 2014, nilai tukar kurs dipatok sebesar Rp10.500 per USD, sedangkan pada RAPBN-P 2014 melonjak menembus sebesar Rp11.700 per USD. Dampaknya bisa ditebak bahwa kenaikan anggaran subsidi BBM jelas menekan APBN.
Sementara berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit sekitar USD0,43 miliar per Januari 2014. Penyumbang defisit terbesar berasal dari sektor minyak dan gas yang mencapai sebesar USD1,06 miliar. Pengendalian subsidi BBM yang semakin sulit menemukan solusinya bertambah repot ketika target lifting minyak yang dipatok pemerintah dalam APBN 2014 kian jauh dari realisasi yang diharapkan sebesar 870.000 barel per hari.
Data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menunjukkan lifting minyak baru mencapai sekitar 797.000 barel per hari sepanjang periode Desember 2013 hingga Maret 2014. Menaikkan lifting minyak juga salah satu pekerjaan rumah bagi siapa pun yang menjabat presiden kelak.  Penetapan angka lifting minyak dalam beberapa tahun belakangan ini tak pernah akurat alias realisasi di bawah target. Jadi, berangkat dengan kondisi tersebut memang “menjinakkan” subsidi BBM bukan persoalan gampang. Namun, bukan berarti presiden mendatang tanpa peluang untuk membebaskan negeri ini dari sanderaan anggaran subsidi tersebut.
Barangkali kalau digelar survei dengan tema bahasan, apa langkah pertama yang harus dibenahi presiden terpilih nanti? Maka boleh jadi jawaban yang muncul salah satunya bagaimana mengatasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terus menggerogoti anggaran pendapatan dan belanjanegara (APBN). Selama ini para pengambil keputusan di negeri ini sangat memahami betapa besaran subsidi BBM ini bukan saja menyandera anggaran negara bahkan acapkali salah sasaran. Kondisi semakin parah ketika tawaran solusi yang tepat mengatasi itu agar anggaran tersebut bisa dialihkan untuk pembangunan yang lebih produktif  hanya berputar pada wacana. Memang, pemerintah tidak tinggal diam untuk mengurangi subsidi BBM, setidaknya upaya itu tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah yang akan dilakukan secara bertahap. Namun, fakta di lapangan, angka subsidi BBM semakin sulit dikendalikan, target yang dipatok pemerintah setiap tahun jebol.
Melihat realisasi penyaluran BBM bersubsidi yang mencapai 11,2 juta kilo liter (KL) atau sekitar 23,6% terhadap kuota BBM bersubsidi yang dialokasikan dalam APBN 2014, pada kuartal pertama tahun ini, diprediksi bakal terjadi kenaikan subsidi pada tahun ini. Kementerian Keuangan memperkirakan bakal terjadi kenaikan anggaran subsidi sebesar Rp30 triliun dari sisi pelemahan nilai tukar rupiah, belum dihitung pembengkakan dari angka konsumsi. Pemerintah mematok anggaran subsidi BBM 2014 sebesar Rp210,7 triliun dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar Rp10.500 per USD. Nah, nilai kurs rata-rata berada pada kisaran Rp11.500 hingga akhir tahun sehingga anggaran subsidi bisa jebol mencapai Rp240 triliun, Kompas (31/5).
Pertanyaannya kemudian adalah, masih adakah kemungkinan presiden terpilih kelak bakal mengambil jalan pintas dengan menaikkan harga BBM bersubsidi? Jawabnya tentu saja bisa ya bisa tidak. Namun patut dicatat, bahwa untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, pemerintah harus menyiapkan berbagai langkah pengamanan, terutama program kompensasi untuk masyarakat kecil yang terkena langsung dampak kenaikan BBM bersubsidi. Sebenarnya, menaikkan harga BBM bersubsidi boleh saja sepanjang sudah dilaksanakan berbagai cara yang selama ini direkomendasikan berbagai pihak dan bahkan sejumlah rumusan yang ideal dari pihak pemerintah, tidak menunjukkan hasil. Yang menjadi masalah, berbagai kebijakan dan rekomendasi itu belum diimplementasikan.
Mendorong Konversi BBM ke BBG
Pemerintah seperti kebingungan sendiri melihat angka impor BBM yang terus menggelembung dan mengerek anggaran subsidi lebih tinggi lagi, kemudian berdampak pada pembesaran defisit neraca perdagangan yang semakin mengkhawatirkan karena mengancam laju pertumbuhan ekonomi.
Sebenarnya, berbagai opsi mengatasi konsumsi BBM bersubsidi tanpa harus menaikkan harga sudah kerap diwacanakan pemerintah. Salah satu opsi yang sejatinya sudah dijalankan, tetapi jauh dari langkah maksimal, adalah konversi BBM ke gas. Kebijakan konversi tersebut berjalan di tempat karena tidak digerakkan secara simultan oleh kementerian yang berwenang. Misalnya penyediaan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) hanya terealisasi dalam hitungan jari.
Kita hanya bisa berharap presiden terpilih kelak bisa mewujudkan janji-janjinya, terutama pengendalian subsidi BBM, guna mengurangi beban APBN tanpa harus menimbulkan gejolak di tengah masyarakat, yang telah memberikan mandat kepadanya. Untuk itu butuh figur yang mampu mengendalikan segenap kabinet sehingga memiliki sinergi dalam menuntaskan persoalan subsidi BBM. Masyarakat tentu tidak ingin kalau program konversi hanya kencang pada awal, namun mati suri dalam perjalanannya.
Buktinya, rencana pemerintah membangun stasiun pengisian bahan bakar gas hanya terealisasi dalam hitungan jari. Begitu pula rencana menyiapkan konvertor (alat konversi BBM ke BBG) untuk mobil pribadi tidak terealisasi, padahal anggaran selalu disebutkan tersedia kapan saja. Lalu, masalahnya di mana? Karena itu, kita berharap presiden terpilih kelak punya strategi jitu atau dengan kata lain langkah ekstrem mengatasi konsumsi BBM bersubsidi. Pasalnya untuk bisa menyelamatkan negara, konversi minyak bumi ke gas alam mutlak harus dilakukan. Hal itu bisa mengurangi beban anggaran negara yang habis hanya subsidi BBM.  Konversi semestinya bisa dilaksanakan secepatnya, jika ditunda lagi, kesejahteraan bangsa tidak bisa bertambah akibat terbebani anggaran subsidi BBM.
Pemerintah harus ingat, cadangan minyak Indonesia hanya bertahan untuk 10 tahun lagi, sedangkan potensi gas alam melimpah. Negeri ini juga sudah lama berubah dari net exporter dan kini makin banyak mengimpor minyak/BBM. Tingginya konsumsi dan impor, karena BBM masih banyak disubsidi, membuat neraca perdagangan makin defisit. Defisit neraca pembayaran pun menganga dan memperlemah nilai tukar rupiah. Seharusnya, infrastruktur BBG ini dibangun secara masif di seluruh Indonesia, setidaknya dengan sasaran awal angkutan umum. Pemerintah harus menganggarkan minimal 10 persen dari subsidi BBM untuk pembangunan dan penyaluran BBG, yang dinaikkan bertahap hingga 100 persen saat produksi minyak lokal habis. (bersambung)

Tags: