Momentum Percepatan Transformasi Kinerja Pelabuhan

Wahyuksn1Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya

Hasil pertemuan Tim Transisi pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dengan wakil Presiden Boediono menyembulkan harapan  bagi hadirnya perubahan besar dalam pengelolaan kemaritiman kita. Dari lima materi pokok yang dibahas, salah satunya adalah membahas tentang program pendulum nusantara yang terkait dengan transportasi laut untuk menghubungkan seluruh wilayah nusantara. Program tersebut selaras dengan konsep ‘tol laut’ yang pernah disampaikan Jokowi saat kampanye Pilpres yang lalu, Kompas (3/9).
Bahwa terlepas dari perdebatan yang masih terjadi terhadap konsep ‘tol laut’, apa yang ditawarkan Jokowi-JK sejatinya menunjukkan adanya visi kemaritiman yang kuat dari pemimpin baru kita. Visi utama Jokowi yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritime dunia semakin penting ketika dikaitkan dengan akselerasi pembangunan kemaritiman kita yang relatif lamban dan jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang berlomba-lomba membangun sektor kelautan berikut infrastruktur pelabuhannya.
Sebagai negara kepulauan, peranan pelabuhan di Indonesia sungguh ironis. Pelabuhan sesungguhnya menjadi salah satu mata rantai penting untuk mengatrol pertumbuhan ekonomi. Alih-alih bisa menjadi penopang pergerakan perekonomian nasional, keberadaan pelabuhan sebagai pintu masuk dan keluar komoditas ekspor dan impor justru menjadi menjadi beban karena menjadi penyebab ekonomi biaya tinggi bagi dunia usaha. Singkatnya, dalam hal penyediaan jasa pelabuhan inilah Indonesia selalu terbelakang.
Wajah buram jasa kepelabuhan di Indonesia bisa dilihat dari rendahnya pertumbuhan arus barang melalui pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Kondisi seperti ini menandakan kinerja pelabuhan yang belum optimal. Faktornya penyebabnya karena masalah klasik seperti  terkendala infrastruktur pelabuhan atau karena kinerja pelabuhan itu sendiri. Dari aspek infrastruktur pelabuhan biasanya terkait dengan dangkalnya kolam air di pelabuhan yang hanya berada pada kisaran 6 meter. Kondisi ini membuat kapal berukuran besar yang bisa mengangkut barang secara lebih efisien tidak bisa berlabuh di pelabuhan tersebut. Sebagai perbandingan, pelabuhan-pelabuhan di Singapura dan Malaysia memiliki kedalaman kolam lebih dari 16 meter. Selain masalah kedalaman, ada beberapa persoalan yang selalu menjadi kendala pengembangan pelabuhan di Indonesia seperti seperti dermaga pelabuhan relatif pendek, fasilitas kepelabuhanan, terutama jumlah dan kapasitas peralatan bongkar muat yang secara teknis sudah tidak memadai. Belum lagi persoalan akses ke pelabuhan.
Terkait akses ke pelabuhan, patut kiranya kita apresiasi langkah percepatan pembangunan akses penunjang infrastruktur pelabuhan yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan.  Misalnya, pembangunan akses jalan menuju pelabuhan Tanjung Priok berupa jalur kereta api khusus pelabuhan. Bahkan sekarang sedang dilakukan studi untuk menggunakan saluran-saluran sungai yang disebut waterways (taksi air) antar pelabuhan, seperti dari Kalibaru ke Tanjung Priok nanti bisa dilayari dengan kapal-kapal ini. Dengan berfungsinya waterway ini, diharapkan beban logistik yang ada di darat bisa sedikit berkurang.
Meningkatkan Kinerja Pelabuhan
Kondisi infrastruktur pelabuhan-pelabuhan di Indonesia saat ini bisa tergambar dari The Global Competitiveness Index 2013-2014 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum. Pada laporan tersebut, infrastruktur pelabuhan Indonesia hanya berada pada peringkat ke-89 dari 148 negara. Sebagai perbandingan, Malaysia peringkat ke-24 dan Thailand ke-56. Bahwa di luar faktor infrastruktur pelabuhan, yang tak kalah pentingnya adalah kinerja pelabuhan itu sendiri. Artinya, untuk mendapatkan kinerja pelabuhan yang optimal maka perlu juga dibenahi dari aspek peningkatan manajemen, operasional, dan standardisasi kepelabuhanan, termasuk profesionalisme tenaga kerja bongkar muat.
Pemerintah tidak boleh hanya fokus pada pembenahan infrastruktur semata demi meningkatkan produktivitas pelabuhan. Sebab, peningkatan kinerja operasional pelabuhan sebenarnya jauh lebih penting dan tidak memerlukan biaya besar. Biaya pembangunan infrastruktur lebih mahal daripada biaya peningkatan operasional. Sebagai contoh, ketika banyak kalangan mengeluhkan kurangnya infrastruktur pelabuhan, terutama jumlah dan panjang dermaga.  Sesungguhnya bisa disiasati dengan peningkatan operasional pelabuhan.
Terhadap penilaian standar kinerja pelabuhan, Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan telah menetapkan beberapa indikator agar mudah melakukan penilaian. Indikator itu meliputi waiting time, approach time, effective time dibandingkan dengan berth time, produktivitas kerja, receiving/delivery petikemas, berth occupancy ratio, shed occupancy ratio, yard occupancy ratio, dan kesiapan operasi peralatan. Standar tersebut dituangkan dalam surat keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Nomor : UM.002/38/18/DJPL-11 tanggal 5 Desember 2011 tentang Standar Kinerja Pelayanan Operasional Pelabuhan. Oleh karena itu, yang harus terus disosialisasikan adalah bagaimana segenap stakeholders pelabuhan memahami dan mencoba secara sungguh-sungguh untuk melaksanakan dan memenuhi indikator standar kinerja pelabuhan tersebut.
Daya Saing Menghadapi MEA 2015
Era pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di depan mata. Buruknya kinerja pelabuhan bila tidak dilakukan langkah-langkah perubahan secara radikal sungguh akan menyulitkan perekonomian Indonesia untuk bersaing dengan bangsa-bangsa di wilayah ASEAN. Oleh karenanya, upaya yang akan ditempuh guna memperkuat daya saing pada 2015 nanti adalah memperbaiki kinerja pelabuhan. Namun demikian, harus disadari bahwa daya saing itu tidak hanya kinerja pelabuhan, tetapi juga logistik dan supply chain. Jadi pelabuhan tidak dilihat sebagai single infrastructure tapi satu pola logistik, termasuk akses ke sana.
Bayangkan saja, dalam MEA mendatang, beras dari Thailand bisa langsung dikirim ke berbagai pelosok Nusantara tanpa melalui Jakarta lagi. Demikian pula barang-barang lain dari negeri tetangga. Bila tarif angkut mereka lebih murah, bisa dibayangkan posisi pelabuhan Indonesia dengan tarifnya yang masih mahal. Mereka bisa lebih murah karena pelabuhan- pelabuhan laut mereka dipimpin profesional yang melakukan transformasi dan didukung kuat oleh pemerintahnya. Rumus untuk sebuah pelabuhan, adalah untuk mendapatkan low cost economy, diperlukan kemampuan mendatangkan kapal-kapal besar generasi baru yang mampu mengangkut lebih dari 18.000 kontainer.
Kapal-kapal ini butuh pelabuhan dengan kedalaman laut (deep droughts), lebar dermaga di atas 6.000 meter, crane berteknologi terkini, kapasitas logistik, akses darat ke pelabuhan yang lancar, dan tentu saja manajemen yang berkualitas dan highly productive. Singapura berhasil melakukan hal tersebut sehingga menempati posisi teratas dalam indeks keterhubungan angkutan laut (Liner Shipping Connectivity Index) dengan skor 113,2. Disusul Malaysia (99,7), Vietnam (48,7) dan Thailand (37,7). Sedangkan Indonesia hanya 26,3. Namun demikian, berbagai langkah sudah dilakukan.
Momentum Percepatan Transformasi
Pelabuhan yang nyaman menjadi harapan kita semua. Resepnya mudah, keberadaan pelabuhan jangan sampai dianaktirikan. Artinya, pembenahan dan orientasi pembangunan nasional apalagi sebagai negara kepulauan maka sudah semestinya harus dimulai dari pelabuhan. Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura demikian besar-besaran membangun pelabuhannya.
Pelabuhan Kuantan, selat Malaka milik Malaysia ditanam investasi sebesar USD28 miliar dengan luas tiga kali Singapura. Sementara pemerintah Singapura melalui pelabuhannya ingin menaklukkan Shanghai yang baru saja dinobatkan sebagai pelabuhan kontainer terbesar dunia. Targetnya, 2022 Singapura akan memiliki pelabuhan dengan kapasitas dua kali lebih besar yang mampu menampung 65 juta kontainer standar (20 feet).  Mereka baru saja membebaskan lahan (termasuk reklamasi) seluas 1.000 hektar. Total anggarannya USD8 miliar. Singapura  berambisi membangun pelabuhan yang lebih modern untuk menampung datangnya kapal-kapal besar generasi baru. Mereka tidak ingin bisnis Singapura tumpah ke pelabuhan-pelabuhan tetangga. Tentu saja termasuk ke Indonesia. Bagaimana dengan Indonesia?
Yah, kondisi pelabuhan di tanah air masih kalah jauh memang dibanding kedua Negara tetangga tersebut, tapi belum terlambat. Bangsa ini masih memiliki kemampuan untuk mengejar ketertinggalan di sektor pelabuhan. Syaratnya, pemerintahan baru dibawah Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi-JK) harus kerja ekstra keras untuk mengubah haluan yang awalnya lebih berorientasi ke darat menjadi berorientasi ke laut.  Harapan besar kepada pemerintahan Jokowi-Jk ini nampaknya bak gayung bersambut. Apalagi visi utama Jokowi-JK saat kampanye dulu adalah ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritime dunia. Maka tugas kita kemudian adalah mendorong dan menjadi partner yang kritis dan produktif agar visi kemaritiman yang dimiliki pemimpin baru kita ini benar-benar dapat diimplementasikan dalam memajukan pembangunan nasional dengan berbasis pada pengembangan potensi yang ada dilaut salah satunya adalah pelabuhan. Singkatnya, momentum pergantian pemerintahan kali ini sesungguhnya menjadi momentum untuk melakukan percepatan tranformasi atas kinerja pelabuhan.
Wallahu’alam Bhis-shawwab
                                                   ————————- *** ————————–

Tags: