Momentum Politik Kemanusiaan

Pilkada di Era Pandemi

Oleh :
Galang Geraldy, M.IP
Ketua Program Studi S1 Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Ekspansi pandemi Covid 19 tidak hanya membagi pada persoalan irisan pertimbangan ekonomi atau kesehatan, namun juga merambah pada politik. Setelah mengalami penundaan dari tanggal 23 September ke tanggal 09 Desember 2020, dalam beberapa hari terakhir, sejumlah organisasi sosial masyarakat (non-government organization) seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Perludem dan Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (Apsipol) menuntut pilkada serentak 2020 di tunda kembali. Rasionalitasnya jelas, yaitu terkait erat dengan kondisi dan diseminasi pandemi Covid 19 yang semakin mengkhawatirkan dengan menunjukkan tren meningkat.

Data jumlah positif Covid 19 dalam 15 hari terakhir menunjukkan angka 2000 – 4000 kasus perhari di Indonesia, yang terakumulasi menjadi 248.852 kasus positif per tanggal 21/09/2020 dengan angka kasus positif rata-rata 3500 kasus positif perhari sejak memasuki bulan September (https://en.wikipedia.org/wiki/COVID-19_pandemic_in_Indonesia). Bahkan dalam tiga hari terakhir selalu menyentuh di atas angka 3900 kasus perhari. Sejalan dengan itu, penerapan kebijakan New Normal (adaptasi kebiasaan baru) dengan protokol kesehatan belum optimal. Justru, di sisi lain, munculnya klaster-klaster baru di perkantoran, lingkungan warga, keluarga, sarana pendidikan sampai lingkungan kementerian. Dampak dari itu muncul ledakan jumlah positif yang linear dengan korban jiwa. Di beberapa wilayah pun menerapkan PSBB kembali, membatasi ruang gerak aktivitas sosial masyarakat.

Momentum politik elektoral seperti pilkada serentak di 270 daerah sangat di khawatirkan akan memicu klaster baru dengan potensi kerumunan massa, seperti apa yang telah terjadi dalam masa pendaftaran bakal calon kandidat. Bahkan ironisnya, mereka para bakal calon kandidat melakukan serangkain acara secara terbuka tanpa protokol kesehatan, yang sampai artikel ini ditulis, sudah 60 orang dari mereka yang terkena positif Covid 19. Selain itu, para petinggi penyelenggara pemilu baik di tingkatan pusat maupun daerah pun sudah terimbas Covid 19. Menyikapi situasi dan kondisi yang demikian, pemerintah harus segera melakukan terobosan (diskresi) yang secara kalkulatif tersedia dua pilihan.

Pertama, pilihan yang bisa dikatakan moderat yaitu tetap melanjutkan prosesi pilkada dengan manifestasi protokol kesehatan yang sangat ketat. UU No 6 tahun 2020, PKPU No 6 Tahun 2020 dan Inpres No 6 Tahun 2020 harus memiliki keterkaitan yang erat mengenai mekanisme monitoring, kontrol dan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Seperti implementasi PKPU No 6 tahun 2020 yang telah mengatur teknis pelaksanaan pilkada di masa pandemi harus memiliki “taring” bagi seluruh partisipan pemilu mulai dari bakal calon, kandidat, penyelenggara, tim kampanye sampai masyarakat umum, yang kemudian dikorelasikan dengan mekanisme kontrol dari Inpres no 6 tahun 2020. Secara khusus, penindakan pelanggar protokol kesehatan harus di atur sebagaimana pelanggaran pemilu-pemilu sebelumnya, mulai dari sanksi administratif sampai pidana. Secara sanksi politik, terutama bagi kandidat dan partai politik, masyarakat harus tegas untuk kemudian tidak memilih mereka saat pemilu nantinya.

Di samping itu, perlu terobosan berupa digitalisasi pemilu melalui berbagai perangkat software yang bisa diakses oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Mulai dari penyediaan informasi tahapan pemilu dan profil kandidat secara rigid di website dan sosial media KPU, saluran informasi dan komunikasi antara masyarakat dengan kandidat di laman website, sosial media dan piranti pertemuan virtual melalui stasiun televisi lokal, radio, media massa sebagai media konvensional dan zoom, facebook live, instagram live, google meet, dst sebagai media moderat, yang menjembatani nalar dan narasi politik antara para kandidat dengan masyarakat, yang semua medianya pun harus terdaftar secara resmi di KPU. Satu sisi memberi ruang keterbukaan akses informasi seluas-luasnya, sisi lain memberi ruang deliberatif virtual (dialog publik) antara kandidat dan masyarakat melalui sosial media, yang dalam hal ini pun kelebihan saluran melalui TIK, bisa dilakukan perekaman (track record) yang secara substansial menjadi mekanisme kontrol dan kontrak politik.

Selanjutnya, perlu kiranya melakukan inovasi menggunakan model pemilihan E-Voting. Di tahun 2013, BPPT telah melakukan E-Voting untuk skala beberapa pilkades di Kabupaten Jembrana yang kemudian diikuti di beberapa desa lain. Selain hemat biaya, juga memiliki fungsionalitas keberlanjutan serta memberikan kemudahan dan keterbukaan. Dengan berbagai pengalaman tersebut, momentum pilkada di tengah pandemi, seharusnya bisa segera di ejawantahkan, minimal di 1-2 daerah kabupaten atau kota, yang berada di zona merah.

Pilihan pertama, menjustifikasi bahwa pilkada serentak yang terus berjalan harus mengoptimalisasi regulasi yang sudah ada, terlebih terkait mekanisme penindakan pelanggar protokol kesehatan serta penggunaan TIK secara optimal. Sedangkan, pilihan kedua dihadapkan pada keputusan penundaan pilkada serentak, yang berdampak pada persoalan legitimasi politik, kontinyuitas elit, dan proses demokrasi secara umum ke depan.

Membincangkan pilihan kedua memang secara implisit mengorbankan proses demokrasi dan agenda-agenda politik selanjutnya. Dan alibi bagi penentang pilihan ini adalah berakhirnya masa pandemi ini belum ada prediksi sampai kapan, yang artinya pun tidak ada jaminan jika pilkada ditunda tahun depan atau dua-tiga tahun lagi suasana akan lebih baik. Sedangkan di lain hal, tanpa pilkada serentak pun, dengan aktivitas sosial-ekonomi yang terus di genjot untuk menopang roda ekonomi dari resesi, semua elemen masyarakat yang tidak benar-benar melaksanakan protokol kesehatan akan terus menyumbang angka positif Covid 19. Artinya, masa-masa kritis ini, memberi pilihan-pilihan kebijakan yang sangat fundamental, bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat luas, bangsa dan negara.

Saya kira, dengan berkaca pada data kecenderungan Covid 19 yang terus meninggi karena rendahnya penerapan protokol kesehatan sedangkan di irisan koin yang saling berkaitan yaitu ada urgensi politik, maka pemerintah harus segera menentukan pilihan. Pilihan yang memungkinkan untuk menyandingkan dua irisan tersebut, dengan regulasi-regulasi yang sangat ketat dan mekanisme penindakan yang juga harus terukur. Melibatkan seluruh aktor-aktor elit agama, sosial dan politik untuk sama-sama mengingatkan dan mengontrol publik akan pentingnya protokol kesehatan. Menyadarkan para kandidat kepala daerah dan partai politik sebagai point of view momentum demokrasi ini, untuk melakukan aksi-aksi politik yang berkontribusi terhadap penanganan dan pengendalian Covid 19.

Sembari itu, akselerasi TIK harus segera di formulasikan dan ejawantahkan dalam skala lebih luas. Jika pun kesemuanya tidak bisa dalam waktu dekat, maka pilihan bijak adalah menunda kembali pilkada untuk beberapa waktu yang memungkinkan kemudian memperkuat poin-poin di atas. Prinsipnya adalah jalan (ide, kebijakan) politik tertinggi adalah kemanusiaan.

Rate this article!
Tags: