Momentum Tata Medsos, Dorong Gerakan Publik Lawan Hoax

Hoax menjadi momok nasional yang harus diperangi bersama, karena dampak yang ditimbulkan begitu masif dan sangat merugikan baik itu secara reputasi, materi, hingga mengancam nyawa.

(Hidup di Negeri Berstatus Darurat Hoax)

Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat informasi bohong alias hoax, seiring semakin tingginya interaksi masyarakat Indonesia di dunia maya. Ancaman pidana 6 (enam) tahun penjara dan denda Rp 1 miliar –sesuai ketentuan UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)– bagi setiap pelaku penyebaran hoax ternyata tidak membuat banjir hoax di media sosial mereda. 

Wahyu Kuncoro SN, Wartawan Harian Bhirawa

“Berita hoax dapat tersebar cepat karena tingkat penetrasi pengguna internet di Indonesia yang tinggi. Budaya orang Indonesia yang bangga ketika dapat menyebarkan berita pertama kali, baik itu berita benar atau tidak, juga menjadi salah satu sebabnya,” kata Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya Prof Iwan Vanany, ST, MT.
Pakar teknologi informasi (TI) ini mengingatkan berita hoax yang menyebar di tengah masyarakat lewat media sosial atau portal-portal berita, telah menimbulkan keresahan. Kemunculannya menimbulkan segregasi kuat di tengah masyarakat yang berakibat menghabiskan energi cukup besar untuk sekadar berdebat di dunia maya. Apalagi, lanjut Iwan saat ini berita hoax sudah dibuat sedemikian rupa menyerupai berita asli, dilengkapi dengan data-data yang seolah-olah itu adalah fakta.
“Pemerintah harus serius menangani penyebaran berita hoax ini. Revisi UU ITE yang baru saja berlaku sebenarnya dapat menjadi landasan hukum untuk menjerat tidak hanya pembuat berita hoax, tetapi juga mereka yang menyebarkannya,” jelasnya. Namun demikian, Iwan menyadari bahwa ancaman pidana ini menjadi serba dilematis karena penyebaran berita hoax sudah sangat masif dan dilakukan hampir oleh seluruh masyarakat pengguna internet.
Selama ini, jelas Iwan jika ada hoax atau konten negatif lain, platform seperti Facebook hanya diminta untuk memblokir konten ataupun akun yang bersangkutan. Bila platform menolak, akan diberi sanksi administrasi berupa teguran hingga pemblokiran sementara, seperti yang sempat dialami Telegram. Namun nampaknya langkah tersebut tidak memadai, Pemerintah tegas Iwan, harus lebih berani mengintervensi dalam melakukan penataan medsos. Lebih lanjut menurut Iwan, Indonesia perlu secara khusus belajar ke Jerman dan Malaysia karena kedua negara tersebut berani membuat regulasi yang mengatur penyelenggara sistem elektronik, baik dalam menjaga data penggunanya ataupun menghindari ujaran kebencian.
“Kita semua tak ingin Indonesia bernasib sama dengan Myanmar, di mana kekerasan terhadap etnis Rohingya diperparah oleh provokasi melalui media sosial. Inilah momentumnya pemerintah menata dan menertibkan media sosial,” tegas Iwan lagi.
Peran Strategis Media Mainstream
Dikonfirmasi terpisah pakar komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Dr Sukowidodo mengingatkan pentingnya peran media mainstream sebagai pilar keempat dalam tatanan demokrasi di Indonesia.
“Yang jelas, media baik itu media cetak, media elektronik, TV dan radio, itu dalam konstelasi demokrasi, merupakan pilar demokrasi keempat. Artinya betapa pentingnya media dalam tatanan demokrasi kita,” ujar Suko Widodo
Media mainstream, lanjut Suko Widodo, harusnya juga menjadi acuan di tengah maraknya kasus hoax yang tersebar melalui media sosial (medsos) pada tahun politik.
“Bahwa hari-hari ini, media sosial tumbuh begitu pesat bahkan kadang-kadang, seakan-akan mengalahkan media mainstream, tapi kita pastikan bahwa media sosial itu akan berlalu,” ungkap Suko Widodo. Artinya, kutip dia, media cetak dan media elektronik yang adalah media mainstream, justru harusnya menjadi acuan dan menjadi rujukan utama jika terjadi masalah atau kemungkinan adanya hoax. Karena itu, menurut dia, dalam menangkal informasi hoax, media mainstream haruslah terdepan untuk menyampaikan dan mengedukasi kepada publik bahwa informasi yang beredar adalah kabar bohong.
“Jadi media mainstream fungsinya adalah media untuk menjadi rujukan jika sebuah informasi itu adalah hoax atau fakta,” jelasnya.
Menurut Suko Widodo, penyebaran berita hoax dilakukan melalui portal-portal berita dan media sosial. Portal berita memproduksi konten hoax dengan beberapa tujuan, antara lain yang paling sering ditemui adalah alasan politik sekaligus ekonomi. Beberapa portal yang ditengarai memproduksi konten berbau hoax punya alasan kuat secara politik untuk mengkritik pemerintah. Begitu pula sebaliknya, ada situs yang sengaja memproduksi konten untuk menyerang oposisi. Keduanya mempunyai pembaca loyal masing-masing. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah, hoax sering disebarkan disaat orang sedang bersedih dan menderita.
“Sungguh ironis, ketika banyak orang sedang berduka karena bencana atau musibah, sementara di sisi lain orang dengan mudahnya menyebarkan berita hoax terkait bencana. Orang tidak lagi memiliki kepekasaan sosial,” tutur Suko Widodo prihatin.
Literasi Digital dan Partisipasi Publik
Plt Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Ferdinandus Setu ketika dimintai tanggapannya terkait penanganan hoax, berharap masyarakat Indonesia agar tidak mudah menyebar informasi hoax pada Rabu (7/11).
Menurut Ferdinandus, bahwa bila ada yang menemukan konten yang tidak sesuai atau tidak jelas kebenarannya, silakan dilaporkan lewat pengaduan konten kominfo.
“Tim verifikator konten yang diadukan ini tersedia selama 24 jam setiap harinya,” kata Ferdinandus. Menurut Ferdinandus, hoax dapat menimbulkan kesalahpahaman dan memperburuk keadaan. Contoh hoax adalah mengenai gempa besar yang pernah beredar di grup-grup aplikasi WhatsApp, atau hoax yang beredar ketika ada musibah jatuhnya Lion Air PK LQP JT610.
“Dalam suasana sedang bingung terus ditambah dengan hoax yang beredar tentu akan semakin memperkeruh suasana. Para penyebar hoax pasti akan segera ditindak. Proses penindakan akan dilakukan oleh pihak Divisi IT dan cyber crime Mabes Polri karena sinergi antara kedua pihak dalam memberantas hoax sangat erat,” tegas Ferdinandus lagi.
Menurut dia, informasi itu hoax atau bukan, kadang sulit dibedakan. Apalagi bila sepintas menyimak isi atau kontennya. Wajib upaya cek dan recek untuk memastikannya, itu agar tidak jadi korban hoax berikutnya yang bisa berujung fatal hingga terjerat tindak pidana.
Ferdinandus mengatakan pihaknya akan terus fokus meningkatkan literasi digital kepada masyarakat guna memerangi kabar bohong atau hoax yang beredar di media sosial hingga portal-portal berita palsu.
“Pemerintah fokus meningkatkan literasi digital ataupun sosialisasi kepada masyarakat,” kata Ferdinandus. Menurut Ferdinandus, menangani hoax maupun konten negatif harus melalui pendekatan semua pemangku kepentingan yang bergerak bersama.
“Semua lapisan masyarakat harus berpartisipasi dalam memanfaatkan media sosial secara bijak,” ujarnya. Tak hanya itu, pemerintah juga akan fokus menata penyelenggara platform media sosial, termasuk perlu melakukan pembatasan-pembatasan akses sebagaimana diamanatkan Undang-Undang. “Itu jika diperlukan pembatasan. Penyelenggara platform media sosial juga bertanggung jawab untuk senantiasa ‘membersihkan’ platform-nya dari hoax atau konten-konten negatif,” katanya.
Sinergi Polri – Kominfo
Melihat penyebaran hoax atau berita palsu dan ujaran kebencian dinilai makin marak, Polri dan Kominfo diminta aktif melakukan penindakan dan pemberantasan terhadap pelaku dan akun-akun media sosial yang melanggar.
“Polri dan Kominfo perlu bersinergi melakukan penindakan.
Dalam darurat hoax ini cukup menjadi alasan bagi pemerintah, Polri dan Kominfo melakukan tindakan tegas menangkap orang-orang yang duduga menyebar hoax dengan men-take down akun-akun yang dianggap menyebarkan hoax,” kata Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur Ach Munir, Rabu (7/11) kemarin.
Mantan Kabiro kantor berita Antara Jatim ini mengistilahkan darurat hoax ini karena saat ini hoax marak bertebaran. Karena itu, Polri dan Kominfo harus bisa bertindak cepat mengubah rezim darurat menjadi rezim demokrasi.
“Jadi kita harus beralih dari rezim darurat menuju rezim demokrasi,” imbuh Munir lagi. Meski perang terhadap hoax harus digencarkan, menurut Munir kebebasan berdemokrasi tidak boleh dibatasi pemerintah. Misalnya, jika ada akun medsos yang ditutup, pemerintah juga perlu mempersiapkan mekanisme agar pemilik akun tersebut dapat membela diri.
“Ada hal yang perlu disiapkan oleh pemerintah seperti sekarang yang sedang dilakukan oleh Uni Eropa dan facebook Eropa yaitu membuat mekanisme yang memungkinkan orang-orang yang akunnya di-take down itu membela diri. Jadi menurut saya mekanisme itu yang perlu dipikirkan yaitu hak pemilik akun untuk membela diri, yang di-take down itu akunnya atau statusnya saja,” lanjutnya. Lebih lanjut Munir berpesan, hoax telah menjadi momok nasional yang harus diperangi bersama, karena dampak yang ditimbulkan begitu masif dan sangat merugikan banyak pihak, baik itu secara reputasi, materi, hingga mengancam nyawa.
Di level yang sudah parah, jelas Munir hoax menjadi fitnah, bahkan mengadu domba. Pada tahap ini, bukan saja pemerintah yang harus turun tangan, tapi juga masyarakat pengguna terbesar media sosial. Bersatu dan saling bahu-membahu untuk menangkalnya. Media sosial seharusnya memuat konten-konten positif yang bisa menjadi rujukan mencerdaskan masyarakat.
“Cerdas dalam hal berpikir dan cerdas dalam mengambil keputusan. Sehingga apa pun yang dilakukan merupakan hasil dari pemikiran yang cerdas dan positif tadi. Berita bohong, apalagi fitnah memang sangat berbahaya,” tegas Munir yang sudah menjabat Ketua PWI Jatim selama dua periode ini.

Tags: