Momentum TNI Menjawab Keraguan

(Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme) 

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Tragedi akibat ulah teroris terbukti secara faktual telah mengoyak kemanusiaan, kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman dan tenteram. Aksi terorisme adalah sebuah fakta, yakni ada peristiwa, ada pelaku, ada korban, dan dampak dari tindakan teror. Lantaran itu, terorisme haruslah dilawan.
Penegasan ini diperlukan, mengingat sampai hari ini, tak sedikit opini netizen yang bertebaran di dunia maya, menganggap terorisme sebagai dalih pengalihan isu atas kebijakan atau bahkan kegagalan pemerintah. Ada juga pandangan yang menganggap bahwa terorisme hanya proyek dan pesanan asing yang ingin mendiskreditkan kelompok Islam. Implikasinya, masih ada suara-suara nyinyir yang ditujukan pada setiap upaya untuk melawan terorisme. Opini tanpa dasar ini jelas akan merugikan upaya perlawanan terhadap teror.
Era media sosial memang memungkinkan siapa saja berbicara mengenai hal. Tak dipungkiri banyak komentar atau pernyataan di media sosial, yang berbau berita bohong, hoaks, atau bahan provokasi. Kritik dan kebebasan berpendapat juga harus dilindungi. Maka, di sinilah perlu kearifan dan kedewasaan penggunaan media sosial oleh netizen. Di luar itu, bersemainya paham-paham radikal yang berbuah terorisme juga difasilitasi masih belum memadainya regulasi yang ada. Akibatnya, aparat hukum banyak menemui kesulitan ketika ingin melakukan penindakan terhadap kelompok yang dianggap berpotensi terlibat dalam terorisme.
Hari ini, kita patut bersyukur, akhirnya memiliki regulasi yang cukup memadai menyusul telah disahkannya perubahan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang No 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang Undang beberapa bulan yang lalu. Kita tentu berharap keberadaan UU yang baru, dapat digunakan aparat penegak hukum berperan dalam pencegahan, penindakan tegas, hingga penanganan yang benar terkait tindak terorisme.
Terdapat penambahan banyak substansi pengaturan dalam UU yang baru tersebut. Penambahan sustansi tersebut antara lain adanya perubahan signifikan terhadap sistematika UU nomor 15 tahun 2003, menambah bab pencegahan, bab soal korban, bab kelembagaan, bab pengawasan dan peran TNI. Dalam UU yang baru juga menambah ketentuan dalam melaksanakan penangkapan dan penahanan tersangka pidana terorisme harus menjunjung prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Momentum TNI Manjawab Keraguan
Bahwa hadirnya UU baru tentang penanggulangan terorisme ini pada derajat tertentu sesungguhnya merupakan bentuk kepercayaan kepada TNI untuk ikut terlibat dalam penanganan terorisme. Kepercayaan ini menjadi penting karena, dimasukkannya ketentuan tentang pelibatan TNI melalui proses yang panjang dan berliku.
Alotnya pembahasan terkait pelibatan TNI dalam penanganan terorisme tentu harus dibaca sebagai tantangan yang harus dijawab oleh TNI. Realitas ini tentu tidak boleh juga dibaca sebagai pelemahan terhadap peran TNI tetapi justru menjadi energi pemantik agar TNI bisa menjalankan amanah baru penanggulangan terorisme.
Bahwa masih munculnya keraguan terhadap keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme karena dianggap akan menabrak HAM dalam penanganan terorisme tentu tidak menemukan alasan yang memadai. Bagaimanapun, ketika TNI bekerja akan selalu menggunakan ketentuan dan prosedur yang sudah ditentukan. Apalagi di era keterbukaan seperti hari ini, tentu TNI juga tidak mungkin akan melakukan sesuatu yang tanpa kontrol. Pasti semua akan dipertanggungjawabkan baik secara politik dan hukum. Pada satu sisi, publik tentu juga harus diedukasi tentang bagaimana paradigma TNI berbuat. Ini penting dilakukan, karena acapkali pertimbangan HAM justru memberi angin segar bagi kelompok teroris. Ketika aparat hukum menembak mati teroris, masih sering muncul tudingan bahwa tindakan tersebut melanggar HAM karena tidak melalui proses hukum terlebih dahulu. Sementara, ketika aparat hukum gugur karena bertugas dalam pemberantasan teroris seolah sebagai hal yang wajar. Cara pandang seperti ini, masih kadang muncul di tengah masyarakat.
Inilah pentingnya, upaya penyadaran betapa kejahatan terorisme adalah kejahatan yang luar biasa kejamnya, sehingga penanganannya pun harus dengan cara-cara yang khusus juga. Singkatnya, pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme harus dibaca bahwa ancaman terorisme adalah ancaman nyata yang perlu disikapi secara serius.
Sinergi TNI – Polri
Pro kontra yang sempat muncul terkait dengan dilibatkannya TNI dalam penanggulangan terorisme adalah karena kekhawatirannya akan terjadi tumpang tindih dengan Polri. Lantaran itu, sinergi antara TNI dan Polri menjadi salah satu kuncinya.
Secara teknis pasti TNI sangat mampu. TNI punya Satuan Penanggulangan Teror 81 (Satgultor 81) Kopassus TNI-AD, Detasemen Jala Mangkara (Denjaka Korps Marinir), Komando Pasukan Katak TNI-AL, dan Detasemen Bravo 90 Paskhas TNI-AU. Semua kesatuan itu tidak perlu diragukan kemampuannya. Itulah yang nanti akan memperkuat Densus 88/Antiteror atau BNPT. Gabungan semua kesatuan ini jelas merupakan kekuatan yang dahsyat.
Semua pihak yang terlibat dalam pemberantasan terorisme ini harus bertolak dari semangat bahwa memerangi terorisme adalah pekerjaan bersama. Ini bukan pekerjaan satu dua pihak saja. Untuk itu, yang satu tak perlu merasa didahului oleh yang lain. Karena di sini bukan bicara kompetisi.
Sinergi menjadi kata kunci dalam upaya mensukseskan implementasi Undang-Undang Antiterorisme, khususnya yang terkait dengan peran Polri dan TNI. Jangan sampai terjadi tumpang tindih kewenangan, hingga menimbulkan friksi baru antara TNI-Polri yang pada akhirnya justru membuat penanganan inti masalah menjadi terabaikan. Satu hal yang tidak kalah penting, baik TNI maupun Polri harus bisa menyingkirkan “romantisme” sejarah konflik yang pernah terjadi sebelumnya, sehingga tidak muncul untuk show of the power, menunujukkan siapa yang lebih baik dalam menangani terorisme. Jika sinergi dapat diterapkan dengan baik, dan TNI-Polri mampu menyingkirkan ego sektoral lembaga, maka harapan untuk meminimalisasi atau bahkan melenyapkan aksi teror akan semakin nyata.
Kita semua harus menyadari bahwa ancaman teror saat ini bukan hanya mengarah pada kamtibmas, namun juga sudah mengarah pada keamanan dan ketahanan negara. Maka, peran TNI-Polri yang proporsional dan profesional menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam menangani kasus terorisme.
Terorisme tidak dapat dikalahkan hanya dengan kekuatan militer, tindakan penegakan hukum, dan operasi intelijen semata. Tetapi juga diperlukan unsur bottom up dari masyarakat dalam pembuatan kebijakan penanganan terorisme agar kebijakan tersebut dapat lebih komprehensif. Masyarakat yang lebih mengenal keadaan lingkungannya. Dengan demikian, masyarakat merasa terpanggil untuk menjaga keamanan dan turut serta mempersempit ruang gerak pelaku terorisme, mengingat pelaku terorisme hidup di tengah-tengah masyarakat.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: