Moratorium Prodi Kesehatan Jangan Dipukul Rata

 Rektor UM Surabaya Dr Sukadiono mengamati peralatan praktik keperawatan di sela Annual Meeting AIPNEMA di Hotel Bumi Surabaya, kemarin (6/12). [adit hananta utama/bhirawa]

Rektor UM Surabaya Dr Sukadiono mengamati peralatan praktik keperawatan di sela Annual Meeting AIPNEMA di Hotel Bumi Surabaya, kemarin (6/12). [adit hananta utama/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) telah menetapkan penghentian sementara (Moratorium) pembukaan program studi (prodi) kesehatan termasuk keperawatan. Alasannya, jumlah prodi tersebut sudah cukup banyak secara nasional.
Kebijakan Kemenristekdikti itu mendapat reaksi dari Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah. Kebijakan tersebut belum dianggap sebagai langkah yang pas. Karena seharusnya moratorium dilakukan secara parsial bukan dipukul rata.
“Moratorium harusnya untuk daerah-daerah yang surplus seperti Surabaya,” kata Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Prof Dr Edy Suaidi usai membuka acara Annual Meeting Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Muhammadiyah se Indonesia (AIPNEMA) di Hotel Bumi, Selasa (6/12).
Edy menjelaskan, moratorium tidak perlu dilakukan bagi daerah-daerah yang masih kekurangan prodi kesehatan dan keperawatan. Dia mencontohkan wilayah Kalimantan Timur dan Jambi yang masih kekurangan. “Jadi, moratorium itu harusnya parsial,” tutur mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.
Moratorium bisa menghambat pertumbuhan pendidikan kesehatan umum dan keperawatan. Terutama dalam konteks kualitas dalam memperbanyak tenaga pengajar yang S2, S3, sampai profesor. Belum lagi masih terbatasnya pendidikan tinggi yang membuka S2 pendidikan kesehatan. “Saat ini baru ada di UI dan Universitas Andalas. Kalau mau S2 murah yang belajar ke luar negeri,” terangnya.
Selain persoalan itu, Edy juga menyoroti kesiapan lulusan ners dari perguruan tinggi (PT) Muhammadiyah dalam menghadapi ASEAN Economy Community (AEC). Menurutnya, di era itu, PT luar negeri bebas beroperasi di Indonesia. Kemudian, lulusan PT dari kawasan ASEAN tidak hanya mencari pekerjaan di negara asal, tapi juga mencari ke negara-negara lain.
“Asal sesuai kriteria, mereka bisa bekerja di sini. Apakah lulusan PT Muhammadiyah siap bersaing dengan mereka? Jadi, kita harus akseleratif dan progresif meningkatkan kualitas,” ujarnya.
Rektor Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Sukadiono mengatakan, dari sisi kualitas lulusan ners keluaran PT Muhammadiyah cukup baik. Hal ini dibuktikan dari angka rata-rata kelulusan ners dan dokter dalam ujian kompetensi. “Angka kita sudah mencapai 82%, lebih tinggi dibanding rata-rata nasional yang hanya sekitar 40%,” jelasnya.
Capaian itu, lanjut dia, karena ners dan dokter disiapkan dengan matang. Salah satunya dengan memberikan diklat khusus sebelum mengikuti uji kompetensi. “Inilah yang mengakibatkan kenapa lulusan ners dari PT Muhammadiyah itu nilainya tinggi dibanding nilai rata-rata nasional,” tandasnya. [tam]

Tags: