Moratorium Targetkan Peningkatan Prodi Eksakta

Proses praktikum di prodi eksakta salah satu PTN di Surabaya. Kemenristek-Dikti mulai efektif melakukan moratorium prodi sosial mulai Januari 2017 untuk mendorong PT membuka prodi eksakta lebih banyak.

Proses praktikum di prodi eksakta salah satu PTN di Surabaya. Kemenristek-Dikti mulai efektif melakukan moratorium prodi sosial mulai Januari 2017 untuk mendorong PT membuka prodi eksakta lebih banyak.

Dosen Belum S2 Dilarang Mengajar
Kopertis VII, Bhirawa
Moratorium pendirian program studi (prodi) sosial di Perguruan Tinggi (PT) efektif berjalan mulai Januari 2017. Selain untuk menata PT, Kemenristek-Dikti juga menetapkan target peningkatan prodi eksakta hingga mencapai 60 persen banding 40 persen dari prodi sosial.
Sekretaris Pelaksana Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VII Jatim Prof Ali Maksum mengatakan, hingga saat ini rasio prodi sosial jauh lebih tinggi jumlahnya dibanding prodi eksakta. Rasionya mencapai 52 persen banding 48 persen. Karena itu Kemenristek-Dikti membuat skenario  mendorong PT membuka prodi eksakta lebih banyak. Sebab, bangsa yang maju, salah satu indikatornya banyak PT berbasis eksakta.
“Makanya ada moratorium pendirian prodi sosial mulai dari tingkat D1 sampai S3. Sementara prodi eksakta tetap dibuka,” katanya saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (31/10).
Dia menjelaskan, kondisi saat ini di Jatim masih timpang. Dari total 331 PT dengan 1.800 prodi, sekitar 52 persen merupakan prodi sosial atau non eksakta. Sementara sisanya prodi eksak. Artinya, di Jatim terdapat 936 prodi sosial dan 864 prodi eksak. “Seharusnya yang lebih banyak itu prodi eksak,” tuturnya.
Ali mengungkapkan, pembukaan prodi sosial diakui cukup murah dibanding prodi eksak. Hal ini ditengarai sebagai penyebab menjamurnya prodi sosial dibanding eksak. Untuk itu, selain melakukan moratorium, pihaknya juga mengevaluasi sejumlah PT yang hanya memiliki mahasiswa di bawah 50 orang.
Berdasar data kelembagaan Kopertis VII Wilayah Jatim, dia menyebut sekitar 8 persen PT yang memiliki mahasiswa di bawah 50. PT ini tersebar di beberapa kategori. Untuk kategori universitas terdapat satu PT yang memiliki mahasiswa di bawah 50. Kategori sekolah tinggi sebanyak 8, akademi 11, politeknik 4, dan kategori akademi komunitas sebanyak 1 lembaga.
Menurut Ali, memiliki mahasiswa di bawah 50 merupakan PT yang tidak sehat secara operasional. Bila PT ini tidak mau merger, maka Kopertis berhak menutup lembaga tersebut. “Yang paling banyak itu memang di level akademi. Kalau mereka tidak mau merger, baru kita tutup,” jelasnya.
Terpisah, Wakil Rektor 1 Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Andik Matulessy menjelaskan kampusnya berencana membuak prodi baru untuk S1 Bahasa Korea dan S2 Ilmu Komunikasi dan S2 Informatika. Hal ini lantaran pihaknya sudah mulai mengembangkan kerjasama di berbagai universitas di Korea, bahkan sejumlah dosennya juga sudah memiliki dasar ilmu bahasa Korea.
“Harus nunggu moratoriumnya dicabut, karena seperti itu (moratorium) biasanya menunggu keadaan pendidikan menjadi stabil. Kalau saat ini memang mungkin jumlahnya sedang berlebihan,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga sedang menyiapkan prodi S1 Ilmu Komunikasi agar bisa memiliki akreditasi A sebagai syarat membuka program magister. Sebab, saat ini untuk prodi S1 Ilmu Komunikasi masih berakreditasi B. Selain itu kesiapan untuk pengajar di prodi bahasa Korea juga sedang ditambah. “Prodi dibuka juga karena ada peminatnya. Kalau S2 Ilmu Komunikasi juga masih terbatas. Kami juga menutup prodi yang sepi peminat,” pungkasnya.

Belum S2 Dilarang Mengajar
Selain moratorium, kebijakan penting yang juga dirilis Kemenristek-Dikti ialah larangan bagi dosen yang belum menempuh pendidikan magister (S2) untuk mengampu mata kuliah. Tak hanya itu, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Pendidikan Guru dan Dosen, seluruh tunjangan fungsional dan sertifikasi mereka pun dicabut.
Pemberlakukan aturan itu resmi dimulai 1 November (hari ini). Hal itu lebih cepat dibandingkan rencana semula yakni Desember 2016 atau awal 2017 mendatang. Artinya, pendidikan dosen di Indonesia minimal magister. Akan tetapi, sampai batas 10 tahun terakhir masa dispensasi masih ada puluhan dosen yang belum menyelesaikan S2.
“Kemenristek sudah memberikan waktu pendidikan selama 10 tahun. Dari awal berlakunya 2005 sampai 2015 lalu, diperpanjang lagi sampai 2016 ini.  Tapi, masih banyak dosen  yang belum menyelesaikan studinya,” kata Sekretaris Kopertis VII Jatim Prof Ali Maksum.
Para dosen yang tidak memenuhi kualifikasi, secara otomatis diberhentikan sebagai dosen atau down grade dari tenaga kependidikan menjadi tenaga administrasi. “Langkah penertiban ini diberlakukan terkait dengan kualitas dosen,” ujar  Ali.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya (FIK Unesa) itu dispensasi selama 10 tahun bagi dosen masih S1 itu sudah cukup panjang. “Kuliah S2 itu kan 2 – 3 tahunan. Kalau sampai 10 tahun tidak lulus itu ya kebangeten,” kata Ali.
Tak hanya waktu yang cukup panjang, Kemenristek-Dikti juga mendukung dengan menyediakan beasiswa lanjut S2 bagi para dosen.  Pada 2016 ini saja, Kemenristek-Dikti telah menyediakan 1.000 kuota untuk lanjut studi.
Ali mengungkapkan sejak 2005 jumlah dosen perguruan tinggi swasta baik PNS maupun non PNS di Jatim mencapai 14 ribu lebih. Sedangkan sebanyak 1.300 dosen yang waktu itu masih berstatus S1. “Awal 2015-an, ada sekitar 60 dosen yang masih S1. Mungkin mereka sudah lulus dan belum upgrade. Sekitar 30 dosen S1 yang belum S1,” kata Ali. [tam]

Tags: