Moro dan Perjuangan Memperoleh Keadilan

Judul  Buku  : Moro
Penulis  : M. Asad Shahab
Penerbit  : Change
Cetakan  : Pertama, September 2016  
Tebal  : xxxvi + 346 Halaman
ISBN    : 978-602-372-085-9
Peresensi  : Tanti Endarwati
Lulusan STIKES Surya Global Yogyakarta

Setiap bangsa pasti menginginkan kemerdekaan untuk hidup. Hal inilah yang diperjuangkan oleh bangsa Moro selama berpuluh-puluh tahun. Bangsa Moro adalah kaum pemeluk agama Islam yang menjadi minoritas di Filipina. Mereka memperjuangkan nilai-nilai keadilan bagi kaumnya, agar mereka dapat hidup mulia dan sejajar dengan kaum mayoritas.
Di bawah kepemimpinan Ferdinand Marcos yang diktator, bangsa Moro mengalami perlakuan diskriminatif. Mereka terpaksa berperang sekuat tenaga demi memperjuangkan hak untuk memperoleh kedamaian, kebebasan menjalankan ritual agama yang mereka yakini, menjaga keutuhan tanah leluhur, tempat di mana mereka dilahirkan. Mereka ingin mencapai hak-hak kemanusiaan seperti yang diperoleh bangsa-bangsa lainnya di dunia.
Nama Moro sendiri tidak asing bagi sebagian masyarakat Indonesia. Nama tersebut sempat mencuat dalam kasus penyanderaan beberapa Warga Negara Indonesia (WNI) di Filipina oleh kelompok ekstremis Abu Sayyaf pada 2016 lalu. Front Nasional Pembebasan Moro (MNLF) yang dipimpin oleh Nur Misuari disebut-sebut telah membantu pemerintah Indonesia dalam upaya pembebasan sandera di wilayah Filipina tersebut.
Buku ini bukanlah buku sejarah biasa karena semua yang terdapat di dalamnya merupakan hasil penelitian lapangan M. Asad Shahab selama perjalanannya di kepulauan Moro pada tahun 1978. Wartawan tiga zaman ini melakukan berbagai penelitian lapangan menelusuri wilayah-wilayah berbahaya, berpindah-pindah dari satu pulau ke pulau yang lain, masuk ke hutan-hutan belantara menghampiri lokasi-lokasi perang paling mematikan, berkepanjangan, dan tidak pernah ada kata usai.
Buku ini terbagi dua bagian, bagian pertama menyibak lembaran perjalanan penulis di beberapa pulau yang ditinggali oleh bangsa Moro, salah satunya di Pulau Mindanao. Pada tahun 1977, di pulau ini pernah terjadi berbagai peperangan paling mencekam, pertempuran itu melibatkan militer rezim diktator Ferdinand Marcos melawan milisi perlawanan bersenjata Front Nasional Pembebasan Moro. Selain itu juga terjadi peperangan Buluan yang menelan korban 500 umat muslim dalam suatu serangan mendadak, sangat brutal dan sangat menakutkan. Korban luka-luka mencapai 300 umat muslim, sebagiannya dirawat di rumah sakit darurat yang dibangun oleh Front Nasional Pembebasan Moro.
Ini adalah salah satu dari perlakuan kejam rezim Ferdinand Marcos yang mengaku diri mereka sebagai manusia. Padahal saat itu Amerika melalui presidennya, Jimmy Carter, menyerukan kepada seluruh umat di dunia untuk menegakkan hak-hak asasi manusia kepada seluruh manusia. Sementara itu di tempat ini hak asasi manusia diinjak-injak, kehormatan manusia tercabik-cabik, bertindak secara brutal, berbuat dosa secara terang-terangan, dengan bentuk dan perilaku paling keji di seluruh dunia, diketahui dan didengar oleh semua negara beradap, di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Meskipun masalah tersebut menyita perhatian dunia Internasional dan berbagai surat kabar memberitakan krisis tersebut, namun tetap saja berbagai negara menolak berbicara secara resmi.
Demikian dunia menyaksikan peperangan antara dua kekuatan yang tidak seimbang di segala sesuatunya, antara kekuatan Filipina yang menyerang dan kekuatan Front Pembebasan Moro yang defensif. Kekuatan Filipina memiliki segala fasilitas yang besar dan dilengkapi dengan senjata-senjata hebat dan modern. Sementara kekuatan Front Pembebasan Moro sebagai pihak yang defensif dan mempertahankan diri tidak memiliki apa-apapun dari apa yang telah dimiliki kekuatan Filipina tersebut (hlm. 90).
Tentara Marcos melancarkan berbagai serangan mendadak melalui udara dengan melempari bom-bom dari pesawat ke kepulauan Moro. Namun, kekuatan pertahanan atau benteng yang dimiliki Front Pembebasan Moro selalu dalam kondisi siap mencegah dan menghalangi berbagai serangan tersebut. Kekuatan mereka mampu menghalau serangan yang bertubi-tubi serta beruntun yang dilancarkan oleh kekuatan Filipina. Meskipun dengan alat-alat yang seadanya, mereka tetap bisa membela diri dan mempertahankan eksistensi mereka.
Buku yang hadir dengan gubahan sastra yang menarik ini memberikan kisah yang autentik tentang berbagai kesepakatan antara rezim Marcos dan Front Nasional Pembebasan Moro. Penulis telah menggali informasi menyangkut tipu daya dan kekejaman Marcos, sikap negara-negara Islam, dan mengenai operasi-operasi pembantaian umat muslim di Filipina Selatan. Tidak seperti buku sejarah umumnya, buku ini disusun berdasarkan fakta di lapangan, dengan bahasa yang lugas, menarik dan jujur. Buku ini mampu meluruskan polemik sejarah kemanusiaan di Filipina, mengungkap tabir perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Ferdinand Marcos yang menghadirkan perlawanan bersenjata dari bangsa Moro. Isi dalam buku ini penting untuk pengetahuan akademisi yang akurat, utuh, dan objektif.

Tags: