MPR (Baru) Berhak Mengubah UUD

yunus-supanto-1Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik.

Benarkah akan terjadi kegentingan manakala pilkada dilaksanakan oleh DPRD?  Itumasih perlupenelusuran sosiologis. Namun berdasar data realita pelaksanaan pilkada, selalu dimenangkan oleh golput (golongan yang tidak memilih).  Hal itu juga menunjukkan fakta sosiologis, bahwa masyarakat tidak terlalu peduli dengan pilkada. Bahkan banyak yang memilih plesiran memanfaatkan libur coblosan!
Celah pilkada, tidak memiliki ambang batas bawah dukungan terendah kuantitatif. Andai yang mencoblos dalam pilkada cuma 100 orang pun tetap sah. Lalu akan ada pemenangnya untuk menjadi Kepala Daerah?! Sehingga pemanang pilkada selalu terjebak ke-seolah-olahan. Konyolnya kemenangan yang minoritas itu dijadikan simbol legitimasi Kepala Daerah. Seolah-olah didukung rakyat  secara mayoritas. Padahal ke-mayoritas-an pemenang pilkada sangat semu.
Inilah data faktanya. Pada pilgub Jawa Barat misalnya, jumlah golput tercatat sebesar 36,3%, atau hampir dua kali lipat dibanding perolehan suara Aher-Deddy Mizwar. Artinya, golput yang (lebih) layak disebut sebagai pemenang. Berdasarkan data KPU, Daftar pemilih tetap (DPT) pada Pilgub Jabar 2013 jumlahnya 32,5 juta jiwa. Jumlah pemilih yang menggunakan hak suara adalah 20.713.779 jiwa. Sehingga jumlah yang cuek terhadap pilkada gubernurmencapai 11,7 juta jiwa lebih, sedangkan jumlah pemilih Aher-Deddy hanya sekitar 6,5 juta suara.
Berselang tiga bulan, fenomena golput makin menggejala pada pilgub Jawa Tengah. Jumlahnya mencapai 49%, atau meningkat 7,5% dibanding pilgub (2008) lalu yang masih sebesar 41,55%. Lagi-lagi, golput lebih layak disebut sebagai pemenang. Sebelumnya, pada pilkada gubernur Jakarta (September 2012) golput hanya berselisih 47 ribu-an dengan perolehan suara Jokowi. Pemilih yang tidak menggunakan pilih (plus suara tidak sah) sebanyak 2.424.653. Sedangkan perolehan suara Jokowi mencapai 2.472.130.
Setahun setelah pilgub Jakarta, diselenggarakan pilgub Jawa Timur. Daftar pemilihnyha sebanyak 30 juta lebih. Hasilnya, pasangan KarSa II (Soekarwo – Saifullah Yusuf) memenangi pilgub dengan perolehan suara sebanyak kurang dari 8,2 juta suara. Sedangkan jumlah golput/suara tidak sah mencapai 12,1 juta lebih. Lagi-lagi golput menang telak (hampir 150% dibanding perolehan suara KarSa II). Fakta angka itu seyogianya dianalisis sebagai minority participatory, partisipasi minortitas.
Data dari empat wilayah di pulau Jawa itu dapat menjadi potret kepedulian rakyat terhadap pilkada. Tiga wilayah propinsi itu memiliki sarana dan prasarana pemerintahan sangat memadai. Infrastruktur-nya yang terbaik di Indonesia. Aspek komunikasi sosial (termasuk koran, radio, televisi dan internet) tersibuk di dunia. Sehingga segala informasi dapat diperoleh masyarakat  secara mudah, murah dan kapan saja.
Tawur Sosial
Di empat propinsi itu, jarak antara tempat tinggal masyarakat dengan TPS (Tempat Pemungutan Suara) sangat dekat. Bisa ditempuh dengan jalan kaki hanya dalam waktu kurang dari 5 menit. Kadang, TPS bisa dilihat dari rumah. Begitu pula karena akses informasi yang tidak terbatas, masyarakat pemilih-nya memiliki pengetahuan sangat baik tentang pilkada. Tahu benar, siapa calon Bupati, calon Walikota, tahu siapa calon Gubernur beserta pasangannya.
Faktanya, tohrakyatyang golput  sangat besar. Rakyat yang tidak peduli terhadap pilkada sangat banyak, melebihi yang peduli. Kadang juga datang ke TPS (karena sungkan kepada tetangga) tapi malah sengaja merusak hak suaranya. Tetapi rakyat yang tidak peduli pilkada malah merasa beruntung, tanpa beban. Juga tidak terkait dengan dukung mendukung pasangan calon. Rakyat yang tidak mencoblos merasa enteng saja bergaul dengan kelompok siapapun.
Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, biasanya memperhadapkan rakyat secara vis a vis (pada masa kampanye). Tak jarang, se-saudara berbeda pilihan. Sehingga tak jarang menyebabkan kerenggangan per-kerabat-an. Tidak saling tegur sapa. Karena itu rakyat yang golput memiliki akses sosial lebih leluasa. Tidak terlibat  olok-olok antar-kelompok pendukung. Terbebas dari sentimen diametral. Dan biasanya,rakyat yang golput menjadi juru damai permusuhan antar-kelompok.
Mengapa TNI tidak memiliki hak pilih politik, tidak turut mencoblos? Tak lain agar TNI terhindar dari situasi permusuhan berlatar politik. Kondisi psikologi-sosial yang utuh menjadi reasoning, bahwa tentara (TNI) tidak memiliki hak pilih. Sehingga TNI secara internal wajib terbebas dari kondisi diametral. Bisa dibayangkan manakala TNI larut dalam permusuhan sosial dalam altar politik? Di seluruh dunia, tentara diupayakan terbebas dari intrik politik.
Tawur sosial ekses pilkada di empat kabupaten di Madura selalu mengkhawatirkan. Tak cukup hanya mengandalkan pengamanan dari personel Polres setempat, melainkan harus dengan mengerahkan bantuan  dari Polda Jawa Timur. Masa kampanye menjadi luapan emomisonal kelompok masyarakat. Begitu pula saat perhitungan suara di KPUD diliputi suasana tak kalah miris. Pada kampanye, senjata tajam selalu menjadi perbekalan wajib anggota tim sukses masing-masing pasangan calon.
Masa kampanye sesungguhnya menjadi sarana sosialisasi pasangan calon. Tetapi kenyataannya tidak pernah efektif, dan selalu melanggar peraturan. Misalnya, pelibatan anak-anak di bawah umur (belum memiliki hak pilih). Tidak efektif-nya kampanye politik, juga tergambar dengan adanya panggung hiburan. Kalau tidak disertai hiburan (musik) bisa dipastikan kampanye akan sepi pengunjung. Bahkan hiburan musik menjadi tujuan utama masyarakat. Bukan pada orasi politik. Jadi, apa manfaat pilkada langsung terhadap kehidupan masyarakat.
Amandemen Pilpres?
Dukungan mayoritas rakyat yang riil hanya ada dua di Indonesia. Di Solo dan Banjar (Kalsel). Salahsatunya adalah saat Joko Widodo memenangi pilwali Solo (periode kedua, April 2010). Saat itu Jokowi memperoleh dukungan sebanyak 254.410 suara (90,09%suarasah). Artinya, memang benar-benar mayoritas (64,61%) rakyat pemilik hak suara mendukung Jokowi. Namun prestasi itu gagal diulang pada pilkada gubernur Jakarta, maupun pada pilpres, walaupun hasilnya sama-sama dimenangkan Jokowi.
Ancaman rapuhnya kondisi psikologi sosial, juga tergambar nyata pada tataran kelompok pendukung saat pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Kalau tidak ada “penengah”(TNI dan Polri), tawur sosial tidak terhindarkan. Pada tataran konstitusi, pilpres menurut UUD merupakan rumpun pemilu. Sedangkan pilkada tidak masuk rumpun pemilu, melainkan rumpun aturan Pemerintahan Daerah.
Sebagaimana diamanatkan pada pasal 22E ayat (2). Tekstualnya berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan DewanPerwakilan Rakyat Daerah.” Karena itu tidak bisa tidak, pilpres harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Andai dikhawatirkan merusak kesatuan dan persatuan nasional, maka pilpres akan dikembalikan dipilih oleh MPR. Tetapi pilpres harus dikeluarkan sebagai rumpun pemilu.
Caranya, UUD pasal 22E harus diamandemen. Konsekuensinya juga harus mengamandemen UUD pasal 6A ayat (1). Amanat konstitusi tentang pipres adalah,”Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Dulu sebelum diamandemen, pilpres tercantum pada pasal 6 ayat (2). Bunyinya,”Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MajelisPermusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.”
Nada-nadanya, metode pilpres akan diamandemen, dikembalikan seperti 15 tahun sebelumnya (tahun 1999). Pilpres oleh MPR telah berlaku tujuh kali. Yakni sejak tahun 1973, sampai tahun 1999. Sebelumnya, presiden Soekarno juga diangkat oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPK) sebagai Presiden RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Periode kedua, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS, berdasarkan TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963.
Presiden dipilih oleh MPR, tidaklah buruk. Di Amerika Serikat pun presiden bukan dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh dewan electoral di setiap negara bagian. Begitu pula Kepala Pemerintahan di berbagai negara di dunia, hampir seluruhnya dipilih oleh dewan legislatif. Kecuali lembaga ke-presiden-an (Kepala Negara) yang tidak meranagkap sebagai Kepala Pemerintahan, biasanya dipilih secara langsung oleh rakyat. contohnya India, Mesir, Irak dan Iran, dipilih langsung oleh rakyat.
Pada sistem pemerintahan monarchi (kerajaan) Kepala Negara malah dipilih secara internal oleh kelompok kerajaan. Misalnya, di Inggris, Jepang, Arab Saudi, Kuwait, dan Malaysia.Tetapi di Indonesia, presiden adalah Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, sama seperti di AS.Apakah lebih elok dipilih oleh MPR, agar effisien dan tidak menyebabkan keretakan sosial? Wallahu a’lam bis-shawab.

                                                     —————————— *** ——————————

Rate this article!
Tags: