MPR RI Ajak Akademisi Kaji Ulang Pilkada Serentak

Kepala Pusat Kajian MPR Ma'ruf Cahyono menyampaikan materi dalam diskusi bertajuk  Korelasi Pemilu Serentak dengan Sistem Multi Partai di Hotel JW Marriott Surabaya, Kamis (23/4).

Kepala Pusat Kajian MPR Ma’ruf Cahyono menyampaikan materi dalam diskusi bertajuk Korelasi Pemilu Serentak dengan Sistem Multi Partai di Hotel JW Marriott Surabaya, Kamis (23/4).

Surabaya, Bhirawa
Pemilihan kepala daerah secara serentak masih harus dikaji secara matang. Meski telah memilihi dasar aturan yang kuat, namun Pilkada (Pemilukada) serentak masih belum memiliki format pembahasan yang jelas terkait kesiapan dan partisipasi daerah.
Inilah yang mendorong Pusat Kajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI melakukan kajian Pilkada serentak bersama sejumlah akademisi perguruan tinggi dari Surabaya, Malang dan Madura. Sedikitnya ada 20 akademisi yang sudah berkumpul dari berbagai perguruan tinggi seperti dari Universitas Dr Soetomo, Universitas Trunojoyo, Universitas Airlangga, Ubaya, Untag, Unisma, Uinsa dan universitas lainnya.
“Kita perlu mengkaji Pemilu secara serentak dari aspek cost (biaya) dan benefit (manfaat)-nya,” kata Kepala Pusat Kajian MPR Ma’ruf Cahyono di sela kajian Pilkada serentak di Hotel JW Marriott Surabaya, Kamis (23/4).
Menurut Ma’ruf, ada beberapa hal yang perlu dibahas dalam kajian Pilkada serentak digelar. Dari mulai format kesiapan, partisipasti masyarakat hingga antisipasi persoalan yang nantinya muncul dalam Pilkada serentak. Karena saat Pilkada serentak digelar, otomatis KPU sebagai penyelenggara juga harus memiliki personel dan sarana yang cukup untuk menunjang kesuksesan Pilkada. “Pastinya dibutuhkan personel yang banyak dibandingkan dengan Pilkada biasa,” kata dia.
Ma’ruf menjelaskan, UU Pilkada hanya berisi garis umum pelaksanaan secara serentak. Sehingga, saat ini MPR masih membahas proses tahapan Pemilu serentak. “Ada dua hal yang pembahasannya dipertajam. Pertama pilihan nasional diserentakkan dengan provinsi. Kedua, pilihan kepala daerah kota atau kabupaten diserentakkan dalam satu provinsi,” jelasnya.
“Karena itu, kita minta masukan lembaga strategis lainnya, termasuk pusat studi di perguruan tinggi. Karena aspirasi masyarakat dari kalangan ketatanegaraan kita lebih disempurnakan,” tandasnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Unitomo Surabaya Siti Marwiyah mengatakan format ideal tentang Pemilu atau Pilkada serentak itu perlu dikaji, karena kajian itu akan menjadi salah satu bahan untuk amandemen UUD. “Kajian itu menyangkut kesiapan KPU dan Bawaslu serta masyarakat. Kalau KPU dan Bawaslu mungkin hanya kesiapan teknis, tapi kesiapan masyarakat itu justru merupakan hal terpenting, “katanya.
Menurut dia, masyarakat sesungguhnya belum sepenuhnya siap ketika ada perubahan sistem Pemilu dari tidak langsung menjadi langsung dan akhirnya dari langsung menjadi serentak. “Kalau Pemilu langsung saja belum siap, kok ada Pemilu serentak. Partisipasi masyarakat kita dalam Pemilu langsung saja masih rata-rata 60 persen, apakah Pemilu serentak akan semakin turun atau meningkat,” katanya.
Oleh karena itu, pihaknya lebih setuju bila MPR mengajak kalangan perguruan tinggi untuk menyiapkan masyarakat melalui berbagai bentuk sosialisasi, sebab tanpa kesiapan masyarakat akan percuma saja. Misalnya, di Madura itu saat Pemilu masih sering diwakilkan. Itu seperti orang kenduri yang bila tidak bisa datang akan diwakilkan. Artinya, pemahaman masyarakat tentang Pemilu masih sangat kurang. [tam]

Tags: