Muhasabah Hari Raya Haji

Yunus Supanto(Spirit Kesetiaan dan Kesalehan Sosial)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial-politik

Pelaksanaan haji tahun (2016) ini diwarnai kisruh calon jamaah yang memanfaatkan fasilitas non-kuota. Menggunakan paspor visa negeri tetangga. Maraknya haji “mandiri” disebabkan antrean panjang pemberangkatan haji reguler. Sejak musim haji tahun 1434 Hijriah (2013) pemerintah Kerajaan Arab Saudi melakukan pengurangan kuota, khusus negara-negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam).
Pengurangan kuota merupakan ekses proyek perluasan masjid al-Haram, kompleks Ka’bah. Tujuannya, agar pelaksanaan ibadah haji berjalan nyaman, dan aman. Pada banyak Negara OKI, kepras kuota memicu pelaksanaan haji di luar tanggungjawab pemerintah masing-masing. Tetapi dilakukan oleh penyelenggara perjalanan haji (dan umroh) yang resmi dan memiliki kuota visa. Namun karena animo yang melebihi kuota, iming-iming non-kuota menjadi pilihan.
Namun sebenarnya, haji “mandiri” sudah lama dilakukan. Dulu, untuk ibadah haji digunakan paspor khusus warna cokelat. Namun sejak 2015, digunakan paspor umum (berwarna hijau). Dua dekade lalu (era tahun 1990-an), terdapat modus melaksanakan ibadah haji “pintu belakang,” menggunakan paspor hijau. Berangkat sebagai wisatawan atau dengan visa kerja. Pemberangkatan dilakukan sebulan sebelum kloter pertama dimulai. Biaya total niscaya lebih mahal, karena harus tinggal di kota Madinah lebih lama, sampai musim haji tiba.
Tahun ini, haji “mandiri” atau non-kuota, menggunakan fasilitas paspor visa negara bukan anggota OKI. Biasanya masih terbuka peluang, karena sedikitnya pendaftar haji pada negara muslim minoritas. Misalnya di Filipina, terdapat lowongan mengisi lebih dari seribu kuota visa. Tetapi sebenarnya, terdapat Negara OKI yang memiliki kuota khusus. Antaralain negara Palestina, yang disebut sebagai haji furoda.
Visa haji furoda diperolah melalui undangan dari Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia. Undangan haji untuk rakyat Palestina ini sering dimanfaatkan oleh calon jamaah haji (CJH) Indonesia. Diperoleh dengan cara membeli. CJH yang melalui Palestina, digolongkan sebagai haji “mandiri.” Seluruh akomodasi diluar tanggungjawab pemerintah Indonesia. Begitu pula segi keamanan serta tanggungan kesehatan, menjadi tanggungjawab penyelenggara.
Pemotongan Kuota
Harus diakui, cara itu otomatis menambah jumlah CJH yang sudah dijatahkan untuk Indonesia. Semacam jalur haji mandiri yang dikelola oleh perusahaan penyelenggara perjalanan umroh dan  haji resmi. Ratusan calon jamaah haji “mandiri” sukses diberangkatkan beribadah haji, sejak tahun 2014. Biaya haji “mandiri” setara dengan ONH plus. Biasanya disertai program wisata ke masjid Al-Aqsa, di Yerusalem.
Maraknya haji “mandiri” disebabkan antrean panjang pemberangkatan haji reguler. Sejak musim haji tahun 1434 Hijriah (2013) pemerintah Kerajaan Arab Saudi melakukan pengurangan kuota, khusus negara-negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam). Kepras kuota disebabkan proyek perluasan masjid al-Haram, kompleks Ka’bah. Tujuannya, agar pelaksanaan ibadah haji berjalan nyaman, dan aman.
Kini pelaksanaan ritual ibadah haji (thawaf, sa’i dan lempar jumroh) dilakukan pada area bersusun tiga. Kawasan masjid al-Haram serta masjid Nabawi (di Madinah), juga diperluas. Begitu pula seluruh lokasi ritual diperbaiki, kenyamanan dan keamanan ditingkatkan. Diantaranya kereta “kapsul” cepat dari Makkah ke Arofah. Tenda di Arofah juga diperluas, dilengkapi AC (pendingin) pula.
Pengurangan kuota masih akan berlaku, sepanjang perluasan masjid al-Haram dilakukan multi years (lima tahun) sampai tahun 2018. Menyebabkan kuota haji Indonesia dikepras 20%. Pada tahun 2012, kuota Indonesia sebanyak 211 ribu jamaah. Konon, kuota akan dikembalikan seperti semula pada musim haji tahun 2017. Dan sebenarnya, kuota haji tahun 2017 bisa bertambah menjadi 250 ribu calon jamaah. Hal itu mengingat kuota menggunakan persentase jumlah penduduk (negara anggota OKI) sebesar 0,1%.
Selain itu kuota haji bisa bertambah lagi. Diantaranya, berdalih sangat baiknya manajemen pemberangkatan haji Indonesia. Pada tahun 2013, Indonesia memperoleh predikat “The Best Pilgrim.” Penilaian berdasar 15 kriteria. Survei online melibatkan 5000 organisasi penyelenggaraan haji dan umroh seluruh dunia. Diantara kriterianya adalah, keramahan, kepatuhan terhadap peraturan, serta manajemen haji oleh pemerintah.
Diperlukan lobi tingkat tinggi (level kepala negara) untuk menambah kuota haji. Juga perlu mengatur prioritas calon haji untuk yang pertama kali. Tetapi cita-cita berhaji, cukuplah diupayakan dengan menabung dan berdoa. Tidak perlu mamaksakan upaya melalui “pintu belakang,” cara ilegal. Seluruh ulama yakin, bahwa melaksanakan ibadah haji adalah panggilan Ilahi.
Mabrur Tanpa Berhaji
Umat Islam periode pertama, bersama Rasulullah SAW pula, mengalami penundaan pelaksanaan ibadah haji. Penundaan ibadah haji diminta oleh otoritas kota Makkah. Padahal saat itu umat Islam baru saja menaklukkan kota Mekah (secara damai). Penundaan dipatuhi. Sebab, tidak elok melaksanakan ibadah haji dengan cara paksa. Lebih lagi tidak perlu berhaji dengan cara haram (kriminal).
Memperoleh predikat mabrur, bisa pula dilakukan tanpa berhaji. Hal itu pernah dialami sahabat Kanjeng Nabi SAW, Abdullah Mabrur. Seluruh bekal (dan waktu) untuk haji tersita habiskan untuk menolong tetangganya yang sedang sakit. Sehingga ia batal turut rombongan haji Rasulullah SAW. Namun toh ia memperoleh predikat cumlaude dalam ber-haji. Jadi, apa rahasia haji mabrur (yang bakal dijamin dengan garansi hidup sejahtera dunia sampai akhirat)?
Maka mabrur-nya ibadah haji, pastilah bukan hanya pada pelaksanaan seremonil ritual secara lengkap. Melainkan lebih pada kesalehan sosial sebelum dan (terutama) setelah berhaji.  Sebab sebenarnya seremonial haji telah menjadi adat budaya bangsa-bangsa Arab dari berbagai agama-agama, selama beratus-ratus tahun. Ajaran Islam hanya meluruskan kembali prosedur (syariat) berhaji yang telah melenceng.
Hari raya haji, disebut pula sebagai hari raya kurban. Karena setiap jamaah haji melaksanakan pembayaran dam senilai harga seekor kambing. Seluruh hasil dam diberikan kepada fakir miskin. Sehingga hari raya haji, disebut pula sebagai hari raya “fakir miskin.” Yakni memberikan pesta rakyat miskin dalam jamuan mencukupi gizi. Menjadi hari raya yang membahagiakan. Makan dengan menu daging segar, merupakan “hal mewah” untuk sebagian keluarga, khususnya golongan ekonomi rendah.
Dalam suluk Wujil  Syeh Maulana Maghribi mengajarkan melalui syair, kepada Sunan Kalijaga.  Ajaran tentang haji itu adalah (terjemah dalam bahasa Indonesia), “… tidak ada yang bisa mencapai tujuan mabrur, kalaupun ada bekal sampai haji mabrur, pastilah bukan rupiah atau dinar, melainkan keberanian dan kesanggupan untuk mati serta sabar dan ikhlas selama hidup di dunia.”
Hikmah haji, seharusnya inharent dengan makna Idul Ad-ha. Yakni semangat kesetiaan dalam keluarga, dan kedermawanan sosial. Pada puncaknya kekayaannya, keluarga nabi Ibrahim a.s., pernah menyembelih 1000 onta dan lembu plus 3000 domba (saat ini senilai Rp 25 milyar) sekaligus.

                                                                                                        ————- *** ————–

Rate this article!
Muhasabah Hari Raya Haji,5 / 5 ( 1votes )
Tags: