MUI Jombang : Kepala Boleh Panas, Hati Harus Tetap Dingin

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jombang, KH Kholil Dahlan saat di wawancarai sejumlah wartawan, Jum’at (06/04).
(Arif Yulianto/ Bhirawa)

(Soal Puisi Sukmawati)
Jombang, Bhirawa
Puisi Sukmawati Soekarnoputri berjudul Ibu Indonesia yang dibacakan saat pembukaan perayaan 29 tahun kreasi perancang Anne Avantie yang di gelar di sela pergelaran ‘Indonesia Fashion Week’ di Jakarta Convention Center, Kamis (29/03) yang lalu sempat menjadi kontroversi.
Meski sempat menimbulkan kontroversi di kalangan umat muslim, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jombang menghimbau semua pihak agar menyikapi kontroversi puisi tersebut dengan kepala hati yang dingin.
Ketua MUI Jombang, KH. Kholil Dahlan mengatakan hal tersebut saat di wawancarai sejumlah wartawan di Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang, Jum’at (06/04).
“Bagi kita yang membaca atau mendengar, agak hati-hati, kepala boleh panas, tapi hati tetap dingin. Sehingga kita bisa mengambil sikap, yang sikap itu betul-betul manjur menyelesaikan masalah,” tutur Kyai Kholil.
Ia menambahkan, jika penyikapan terhadap puisi Sukamawati yang kontroversi tersebut dengan menggunakan hati dan kepala yang panas, tidak akan menyelesaikan masalah, dan justru akan menimbulkan masalah baru.
Seperti di beritakan oleh banyak media, puisi Sukmawati itu menjadi kontroversi di masyarakat. Atas puisi itu, Sukmawati bahkan di kabarkan di laporkan oleh sejumlah pihak ke polisi.
Pada perkembangannya, Sukmawati Soekarno Putri secara resmi telah meminta maaf kepada publik dan umat islam. Sukmawati juga mendatangi Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat di Jakarta untuk meminta maaf kepada umat islam pada Kamis (05/04).
Oleh sejumlah kalangan, puisi Sukmawati di anggap menista agama karena ada perbandingan, seperti syari’at islam dengan kidung. Menurut Kyai Kholil, hal ini merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat di bandingkan, karena memang tidak bisa di bandingkan.
“Budaya adalah produk manusia, dan sarat dengan bumi, sedangkan syari’at islam itu produk keyakinan, dan produk dari Yang Maha Suci,” terang Kyai Kholil.
Di tanya apakah puisi Sukmawati tersebut mengundang unsur SARA, Kyai Kholil menjelaskan, soal mengandung SARA atau tidak, tergantung dari sudut mana seseorang menyikapinya.
“Puisi itu, kalau dilihat dari sisi SARA bisa, ada unsur SARA nya, kalau di lihat dari sisi tidak SARA juga bisa, karena itu hasil imajinasi atau dengan kata lain produk sastra,” jelasnya.
“Makanya, tergantung siapa yang melihatnya, dari mana dilihatnya, dari sisi apa dampak yang di timbulkannya. Tapi secara umum, puisi itu menimbulkan rasa tidak nyaman bagi umat yang meyakini kebenaran islam,” tambahnya.
Begitupun penyikapan tentang unsur pidana atau tidaknya, lanjut Kyai Kholil, hal tersebut tinggal siapa yang melihatnya (menilainya). Kyai Kholil menuturkan, dalam membuat produk budaya, seharusnya berhati-hati, karena kondisi masyarakat tidak hidup dalam dunia budaya saja, namun juga hidup dalam dunia keyakinan.
“Ketika di lingkungan budayawan, eksklusif yang hanya orang-orang sastra, hal ini tidak menjadi masalah. Namun jika di bawa ke luar, ke publik, ini bisa menjadi masalah,” pungkas Kyai Kholil.(rif)

Tags: