“Muka Lama” Nyaleg Lagi

Karikatur Ilustrasi

Pendaftaran bakal caleg (calon legislatif) telah ditutup, hampir seluruh partai politik (parpol) telah siap “sapu bersih” kursi. Seluruh daerah pemilihan (Dapil) diisi penuh sesuai jatah kuota kursi. Terdapat tambahan 15 kursi di DPR-RI, dan puluhan kursi DPRD. Sebanyak 7.796 bakal caleg telah didaftarkan oleh 16 parpol. Termasuk 3.144 bakal caleg perempuan (40,32%). Kemungkinan menjadi anggota parlemen hanya 7,37%.
Ironisnya, dalam daftar bakal caleg di-dominasi “wajah lama,” termasuk mantan narapidana (napi) korupsi. Walau terdapat Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018, yang melarang mantan napi korupsi. Larangan tercantum pada pasal 7 ayat (1) PKPU 20/2018 juga menyebut napi kejahatan berat lainnya. Walau vonis hukumannya kurang dari lima tahun. Karena pada PKPU yang disebut bukan vonis hukuman, melainkan “ancaman” hukuman sesuai KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Peraturan yang tercantum pada pasal 7 ayat (1) huruf g, diberlakukan pada tindak pidana dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun. Tetapi larangan berdasar PKPU, masih terdapat pembolehan bersyarat. Tercantum pada pasal 7 ayat (4) huruf a, dan hurtuf b. Yakni, bakal caleg mantan napi harus membuat pengumuman terbuka di media masa tentang statusnya.
Munculnya nama napi korupsi (dan jenis kejahatan lain), membuktikan tidak mudah merekrut bakal caleg yang “siap tempur.” Sampai perlu berebut antar-parpol. Selain adu cepat, juga adu janji. Termasuk meng-ongkosi bakal caleg potensial. Yakni personel yang memiliki bekal cukup secara elektabilitas (kemungkinan terpilih), sekaligus memiliki bekal ekonomi kuat. Bakal caleg yang kaya menyetor biaya pemilu kepada parpol. Sedangkan yang tidak kuat bekal ekonominya, akan disokong parpol.
Konon, bakal caleg (DPR-RI) yang “siap tempur” harus memiliki anggaran minimal Rp 2 milyar. Begitu pula bakal caleg di daerah. Karena bakal caleg DPRD Propinsi, harus siaga dengan anggaran Rp 1 milyar. Serta sekitar Rp 600 juta untuk DPRD Kabupaten dan Kota. Anggaran diperlukan untuk membangun jaringan pemilih, dan belanja alat peraga kampanye individual (berupa baju, kaos, dan bingkisan lain). Juga sokongan untuk honor saksi di tiap TPS. Serta mobilisasi masa saat kampanye.
Tetapi yang terbesar (dan patut diwaspadai) adalah ongkos “serangan fajar.” Niscaya berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum. Melanggar pasal 280 ayat (1) huruf j UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Yakni, larangan menjanjikan atau memberikan uang maupun materi (barang) kepada peserta kampanye (konstituen). Juga masih terdapat Peraturan KPU, tentang nilai (harga) maksimal pemberian kepada konstituen.
Sulitnya memilih bakal caleg, menyebabkan parpol menghimpun kembali anggota DPR (serta DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten dan Kota) “muka lama.” Biasanya, “muka lama” lebih bersemangat mengulang sukses pemilu sebelumnya (tahun 2014). Termasuk siaga anggaran lebih besar. Selebihnya, parpol juga mengajak kalangan artis, dan pengusaha (karena memiliki bekal keuangan cukup memadai).
Semangat besar “muka lama” bukan sekedar maju ingin jadi lagi. Melainkan sampai pindah parpol. Dalam perjalanan karir politik, banyak “muka lama” merasa tidak nyaman dengan parpol asal. Merasa di-kuyo-kuyo, teraniaya, serta kalah bersaing memperebutkan jabatan di parpol. Bahkan “muka lama” rela di ganti (Pergantian Antar Waktu, PAW), meninggalkan kursi legislatif sampai terpilih kembali. Toh, hanya kehilangan 8 kali gaji.
Rekrutmen calon anggota parlemen, merupakan domain parpol. Sesuai amanat konstitusi UUD pasal 22E ayat (3). Namun perjalanan karir ke-parlemen-an, ditentukan berdasar tingkah laku per-orangan. Sudah ribuan anggota DPR, dan DPRD dicopot karena terlibat korupsi.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: