Mulai 1 Januari 2015, Pajak Bandara Wajib Masuk Tiket

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Jakarta, Bhirawa
Pemerintah mengumumkan kebijakan baru untuk memudahkan penumpang  pengguna jasa penerbangan. Mulai 1 Januari 2015, diterapkan penggabungan pajak bandara atau airport tax dengan harga tiket.  Dengan demikian penumpang  tak perlu membayar pajak bandara secara terpisah seperti yang berlaku saat ini.
“Peraturan itu mulai berlaku 1 Januari 2015,” kata Menteri Perhubungan Ignasius Jonan usai pembukaan Rapat Umum Anggota Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Indonesia (Inaca) 2014 di Jakarta, Kamis (13/11).
Airport tax  atau Passenger Service Charge (PSC) adalah pajak bandara yang dibayar pada saat kita akan berangkat menggunakan pesawat terbang.
Dia mengatakan bahwa seluruh maskapai diberi waktu paling lambat awal tahun depan untuk melaksanakan kewajiban itu. Nantinya, pemerintah akan mengeluarkan aturan penggabungan airport tax ke dalam komponen tiket. “Mau nggak mau harus mau,” katanya.
Jonan menilai peraturan tersebut merupakan standar pelayanan minimun kepada masyarakat sesuai Peraturan Ditjen Perhubungan Udara Nomor 447 Tahun 2014.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emisyah Satar mengaku mendukung karena untuk memberi kemudahan pada penumpang. “Pada dasarnya, kita ingin demikian karena memudahkan penumpang,” katanya.
Namun, dia menyarankan agar semua sistem disinergikan terlebih dahulu karena selama ini pihaknya pernah menderita kerugian  sangat besar saat uji coba kebijakan tersebut selama dua tahun, mencapai Rp 2,6 miliar. Dan semua itu akibat  tidak adanya sinergitas antara peraturan dari standar global  International Air Transport Association  (IATA) dan Angkasa Pura I dan II.
“Kami ingin semua disinergikan, kalau tidak seperti yang lalu setelah dua tahun kita menjalani itu, akhirnya dihentikan,” katanya.
Karena tak ada sinergitas itu Garuda Indonesia per 1 Oktober 2014 kembali memisahkan pajak bandara dengan harga tiket setelah dua tahun menyatukan kedua komponen tersebut. Menurut Emirsyah, jika sistem sudah disinkronisasi, bisa meminimalisasi kerugian yang dibebankan kepada maskapai. “Nggak akan ada kerugian karena sistemnya sudah sinkron. Sekarang ini banyak sistem yang nggak sinkron, jadi kita harus bayar ke Angkasa Pura II,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Direktur Umum Lion Air Edward Sirait yang meminta harus ada satu kesepahaman terminologi mengenai pemberlakuan pajak bandara tersebut antara maskapai dan AP I dan II.
Dia menambahkan, kesepahaman terminologi tersebut meliputi peraturan teknis pengenaan pajak bandara baik di bandara tujuan (origin) maupun bandara transit. “Apakah sama berlakunya, di bandara origin atau bandara transit. Jangan seharusnya (penumpang) bayar, tapi nggak bayar, sementara saya suruh setor (ke AP II). Kan masalahnya Garuda itu orang dari Amsterdam ke Denpasar, transit di Jakarta, seharusnya di Jakarta bayar tetapi tidak bayar namun ditagih oleh pengelola. Itu lah yang membuat Garuda tekor Rp 2 miliar, ” katanya.
Karena itu, dia menegaskan, harus dibicarakan business to business  dengan AP I dan II untuk menyamakan pemahaman terkait terminologi tersebut, baru ditandatangani persetujuannya.
Selain itu, dia manambahkan tindak lanjutnya harus disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat agar tidak ada kesalahpahaman terkait pemberlakuan tersebut karena maskapai yang biasanya harus menangguh protes serta keluhan masyarakat. “Jangan kita dijadikan bemper, penumpang harus  paham betul. Jangan saya nagih buat orang lain, saya yang dimaki-maki,” katanya.
Dia juga menyarankan agar dijalankan secara transparan dan bersih dalam audit dan tidak berdasarkan persepsi masing-masing. Terkait pembelakuan mulai 1 Januari 2015, Edward mengaku pihaknya setuju asalkan permasalahan tersebut harus dibenahi.  [ira]

Tags: