Mulai Tarawih “Normal”

Setelah dua tahun tidak menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah, kini masjid Istiqlal (milik negara) akan memulai lagi. Seperti di masjidil Haram (Makkah), shalat akan sesuai rukun (prosedur) normal. Yakni berjajar tanpa jaga jarak. Shaf bisa rapat, tetapi masih harus menggunakan masker. Presiden telah mengumumkan seluruh masjid dan mushala bisa menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah. Ke-guyub-an (dan ke-ceria-an sosial) umat akan semakin nampak di tingkat grass-root.

Tetapi ta’mir (pengurus) masjid seyogianya tetap waspada, karena CoViD-19 masih belum sepenuhnya hilang. Namun pe-wabah-an telah melandai. Serta bisa sembuh dengan cepat melalui perawatan tenaga kesehatan (Nakes) yang lebih cakap. Bahkan diduga, CoViD-19 akan menjadi endemi, yang tidak ganas. Pemerintah perlu membangun peta jalan pandemi menjadi endemi. Sekaligus fokus memperbaiki tatanan ekonomi kerakyatan. Termasuk menyusun tatacara perayaan tradisi mudik Lebaran.

Selama 25 bulan masa pandemi, terjadi perdebatan tatacara shalat berjamaah. Terutama ke-rapat-an shaf yang harus direnggang-kan. Tetapi kalangan ulama memastikan, bahwa akidah hifdzun-nafs (asas perlindungan jiwa) wajib dilaksanakan sebagai prioritas. Tak terkecuali harus dengan merenggang-kan shaf dalam shalat. Hal yang sama juga dilakukan di masjid Nabawi (di Madinah), dan masjidil Haram (di Makkah). Masjid Al-Azhar, di Mesir, juga melaksanakan merenggangkan shaf shalat, dan menggunakan masker.

Bahkan protokol kesehatan (Prokes) jaga jarak minimal 1,5 meter antar-orang, diberlakukan ketat saat beribadah di sekitar masjidil Haram. Antara lain thawaf (mengelilingi Ka’bah), dan Sa’i (berjalan tujuh kali trip antara bukit Shofa ke bukit Marwah). Maka perdebatan Prokes dalam shalat akan berakhir, seiring melandainya pandemi. Bulan Ramadhan tahun (1443 Hijriyah) ini, akan menjadi awal ke-normal-an shalat tarawih. Sampai berujung Idul Fitri, sebagai puncak hari raya Lebaran.

Selama sepekan (sejak 22 Maret 2022) penularan CoViD-19, selalu di bawah angka 6 ribu kasus. Catatan BOR (Bed Occupation Rate) rumah sakit selama “era Omicron” tidak terjadi lonjakan. Karena masyarakat tidak berebut kamar rawat inap isolasi rumah sakit. Secara umum penanganan CoViD-19 di rumah sakit menunjukkan peningkatan sarana alat kesehatan, obat, dan manajemen isolasi. Ditambah ke-ahli-an tenaga kesehatan (Nakes) yang makin cakap menangani CoViD-19.

Angka kesembuhan terus meningkat, sampai (saat ini) sanggup meliputi 50 ribu pasien CoViD-19 per-hari. Sampai 500 kali lebih besar dibanding angka kematian. Harapan sembuh mencapai 99%. Kasus baru semakin menurun tajam. Bisa jadi, masyarakat Indonesia telah memiliki kekebalan (herd immunity) memadai. Walau belum mencapai target 70% populasi (sekitar 208,265 juta) menerima suntik dosis komplet (minimal kedua).

Berdasar data Satgas Penanganan CoViD-19, sebanyak 196 juta rakyat Indonesia sudah divaksin suntik dosis pertama. Sebanyak 158 juta orang telah menerima suntik dosis kedua. Serta sebanyak 20,1 juta orang menerima booster. Gelombang ketiga pandemi CoViD-19, terasa bisa dikendalikan. Masyarakat hanya perlu waspada dengan kukuh taat protokol kesehatan (Prokes). Tetap menggunakan masker saat ibadah berjamaah di masjid.

Kerumunan orang saat ibadah berjamaah menjadi keniscayaan. Bagai “menantang” virus Omicron. Realitanya, tidak terjadi penambahan mencolok kasus CoViD-19. Biasanya pula, penyintas Omicron bisa disembuhkan dengan istirahat 5 hari. Hampir seluruh kawasan Indonesia sudah layak ujicoba perlakuan CoViD-19 sebagai area endemi.

Pandemi CoViD-19 akan segera berakhir. Sebagai endemi, setara dengan kasus DBD (Demam Berdarah Dengue) yang biasa mewabah pada musim hujan. Pemerintah tidak perlu melaksanakan PPKM level “gawat” (4, 3, dan 2). Tarawih “normal” pertama, bisa jadi disambut romantisme emosional rakyat.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: