Muncul Wacana Tanah Nganggur Akan Dikenai Pajak Progresif

foto ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta BPN sedang menggodok revisi Undang-Undang Pertanahan untuk penerapan pajak progresif atas tanah yang menganggur.
Usulan kebijakan ini lahir karena sudah terlalu banyak masyarakat yang berinvestasi di tanah. Namun, lahan tersebut tidak produktif, padahal masih banyak warga yang membutuhkan lahan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Kepala Kantor Pertanahan Surabaya II Naizum mengatakan  investasi tanah masih menjadi investasi yang menggiurkan, mengingat perubahan harga tanah yang sangat signifikan. Di sisi lain, banyak masyarakat yang tidak memiliki tanah atau rumah karena harga tanah yang semakin mahal, dan sebagian sudah menjadi aset para investor.
“Saya kira, wacana menteri menerapkan pajak progresif (tanah menganggur,red) itu untuk memenuhi asas keadilan,” ujarnya saat dikonfirmasi, Rabu (25/1) kemarin.
Tujuannya, agar investor baik perorangan maupun badan hukum (misalnya pengembang perumahan,red) tidak sampai berinvestasi dalam bentuk tanah kosong.
“Yang saya lihat, ke depan, bagi mereka-mereka yang memiliki kelebihan (harta,red) kalau memang ingin investasi tanah akan dikenakan pajak progresif itu. Tapi baru perencanaan kan, kita belum melaksanakan,” katanya.
Saat ini, Menteri Agraria dan Tata Ruang masih mengoordinasikan rencana regulasi ini dengan Menko Perekonomian, Menkeu, serta Dirjen Pajak. Pada praktiknya, akan ada perubahan Undang-Undang Pertanahan.
Naizum menilai, tidak terlalu banyak pengembang di Surabaya yang membiarkan tanahnya menganggur. Hal itu terjadi di daerah lain yang harga tanahnya relatif masih murah seperti di luar Pulau Jawa.
“Karena nilai tanah di sini terlalu tinggi dan untuk mendapatkan tanah cukup sulit. Jadi saya lihat tidak banyak investor membiarkan atau istilahnya membuat tanah menjadi tidur,” kata Naizum.
Meski demikian, Kantor Pertanahan Surabaya II tetap melakukan pengawasan terhadap badan hukum pemilik tanah berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). Ada kecenderungan, setelah mendapatkan HGB, mereka tidak segera membangun bangunan yang mereka rencanakan. Padahal, HGB terbatas waktu hingga 20 tahun.
“Seksie Pengawasan dan Pemberdayaan kami terus mengawasi, setiap tiga tahun sekali, agar mereka segera membangun tanahnya,” imbuhnya.
Data Kantor Pertanahan Surabaya II menunjukkan, ada 15.110 bidang tanah berstatus HGB yang dikuasai oleh badan hukum, sedangkan 30.548 bidang tanah di Surabaya dikuasai perorangan.

Surabaya Sambut Baik
Mengenai kebijakan baru itu, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pajak Daerah (BPKP) Surabaya Yusron Soemartono juga mengaku belum mendapatkan tembusan. Menurutnya, selama ini dalam hal tanah BPKB Surabaya hanya berwenang dalam penentuan Bea Pengalihan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang kini diterapkan sebesar 5 persen.
“Kalau untuk penerapan pajak progresif, kami belum mendapat instruksi dari pusat,” kata Yusron.
Sementara, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya Ery Cahyadi menganggap kebijakan baru ini bernuansa sangat positif. Terutama dalam hal pendapatan pajak daerah.
“Mungkin maksud dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang, kebijakan ini untuk mendorong agar lebih banyak investasi yang masuk,” katanya.
Kondisi terkini di tengah kota Surabaya, kata Ery, sudah jarang ditemukan tanah yang menganggur. Yang lebih sering ditemukan adalah bangunan mangkrak. Bangunan terbengkalai berpengaruh pada estetika kota. Misalnya, yang banyak ditemui di kawasan Jalan Tunjungan, juga kawasan tengah kota lainnya. Hal ini yang membuat kota menjadi kurang enak dipandang.
“Saya kira sudah tidak mungkin pemilik tanah, dengan adanya kemudahan perizinan saat ini, akan membiarkan tanahnya menganggur lebih lama. Buktinya, sudah mulai banyak investor yang masuk,” ujarnya.
Pemilik bangunan dan tanah di samping Hotel Majapahit yang mangkrak, kata Ery sudah mulai masuk mengajukan perizinan untuk renovasi bangunan dan pemanfaatan lahan. Demikian halnya di Jalan Tunjungan.
Ini menandakan, investasi bergerak positif seiring adanya kemudahan perizinan dan keringanan pajak yang diterapkan oleh pemerintah. Apalagi bila ditambah penerapan pajak progresif atas tanah yang menganggur.
“Saya kira ini sangat positif. Ekonomi akan bergerak semakin cepat. Saat ini tanah menganggur banyak di Surabaya Timur dan Barat. Karena pembangunan di Surabaya memang sekarang lebih banyak di sana,” jelasnya.
Dengan semakin banyaknya tanah yang akhirnya dimanfaatkan sebagai bangunan, kata Ery, akan semakin banyak pendapatan yang masuk ke kantong pemilik, juga ke kantong pemerintah. Sedangkan dari sisi pemerintah, tanah yang telah berdiri bangunan juga akan memberikan kontribusi pendapatan pajak yang lebih besar. Misalnya untuk tanah seluas 1.000 meter, lantas dibangun apartemen di atasnya, maka ada pertambahan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Perbandingannya, bila hanya berupa tanah, maka NJOP hanya berlaku untuk tanah seluas 1.000 meter itu saja. Tapi kalau berupa bangunan apartemen, maka NJOP terhitung per kamar di apartemen tersebut.  [geh]

Tags: