Mungkinkah Pemilu Diulang ?

2089353Tren kecurangan dalam pileg (pemilu legislatif) 2014 semakin masif dan terstruktur. Bukan hanya dilakukan oleh calon legislatif (caleg), melainkan juga atas  “permintaan” elit parpol di daerah (Propinsi dan kabupaten serta kota). Diduga, banyak pula keterlibatan Kepala Daerah menggunakan institusi kedinasan untuk memenangkan parpol tertentu.  Berbagai kecurangan pemilu menyebabkan semakin banyak tuntutan adanya pemilu ulang.
Pada tataran sipiritual, banyak “orang pintar” menyatakan pileg 9 April lalu sebagai “tidak menghasilkan apapun.” Banyak yang menafsirkan bahwa pileg akan diulang, boleh jadi secara nasional. Artinya, hasil pileg dianulir. Tetapi belum diketahui, institusi yang memiliki kewenangan membatalkan hasil pileg. Namun yang pasti, kualitas pemilu yang buruk akan meruntuhkan legitimasi caleg yang berhasil memenangi kursi parlemen (pusat) maupun daerah (DPRD).
Mandat yang diberikan melalui UUD pada 22E ayat (1) berbunyi: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Terdapat frasa “jujur dan adil ” yang harus pula dilaksanakan. Frasa inilah yang secara umum sangat diragukan, melalui fakta-fakta kecurangan pileg. Kecurangan dilakukan secara masif, termasuk oleh penyelenggara pemilu, terutama di tingkat bawah (KPPS, PPS, dan PPK).
Ada juga keterlaluan, yakni adanya TPS fiktif. Karena berbagai fakta kecurangan, sudah banyak dilakukan coblosan diulang, rekap ulang, serta hitung ulang. Walau sudah dilakukan pengulangan pada tahapan tertentu, toh tidak tidak memuaskan semua pihak. Sebab sebenarnya, kecurangan sudah dilakukan sebelum coblosan. Bahkan kecurangan diduga bersumber pada sistem dan regulasi pemilu.
Regulasi yang dianggap sebagai celah, tentu saja UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Misalnya pada pasal 7 dinyatakan: “Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik.” Pasal 7 ini terasa ambivalen dengan pasal 5 tentang sistem pemilu.
Pada pasal 5 ayat (1) dinyatakan: “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.” Frasa proporsional terbuka bisa dimengerti sebagai perorangan. Prakteknya, pileg 2014 menjadi pertarungan individual antar-caleg secara eksternal maupun internal. Kasus-kasus pencurian suara juga banyak diambil dari caleg se-parpol.
Ambivalen-nya regulasi juga dihasilkan oleh Mahkamah Kontitusi (MK) tanggal 23 Januari 2014 lalu. Yakni, dikabulkannya uji  materi UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pilpres. MK mengabulkan presidential threshold yang berkait erat dengan hasil pileg (dukungan suara sebanyak 20% untuk Capres). UU tentang Pilpres telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Tetapi anehnya ditetapkan pula oleh MK untuk dipakai dalam pelaksanaan Pemilu 2019.
Dengan hasil judicial review itu seharusnya, pilpres dibarengkan dengan pileg tahun (2014) ini. Penetapan MK itu bisa menjadi perdebatan dan konflik konstitusi, berujung pileg ulang (untuk diselenggarakan bareng pilpres). Pada tataran media sosial, seorang mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI, menduga bisa saja akan terjadi kudeta konstitusional. Artinya, kudeta yang bertujuan menegakkan konstitusi.
Berbagai kecurangan tentu, mengakibatkan gangguan terhadap jadwal penetapan hasil pileg. Berdasar data KPU, sampai akhir pekan lalu masih 9 propinsi yang hasil rekapnya sudah bisa ditetapkan. Sepuluh propinsi yang lain harus ditunda, dan sisanya masih mengalami proses rekap. Setelah seluruhnya ditetapkan oleh KPU, pasti akan banjir gugatan. Saat inipun parpol sudah menyiapkan gugatan sengketa pemilu.
Saling menggugat hasil pemilu pasti akan ramai pasca penetapan oleh KPU. Bisa berujung chaos nasional. TNI pastilah sudah mencermati pelaksanaan pileg serta hasil judicial review. Dan pasti siap melindungi dari gangguan keutuhan.

———   000   ———

Rate this article!
Tags: