Musim Giling, Petani Jeblok

Manfaat-GulaSepekan ini sudah dimulai pesta rakyat dengan bazar dan pasar lengkap. Daerah yang berada di sekitar pabrik gula (PG) sedang melaksanakan tradisi, pasca-tebang tebu. Walau sebenarnya harga tebu tidaklah “semanis” yang di-impikan. Petani tebu kelimpungan, karena biaya tanam lebih mahal dibanding hasil jual tebu ke pabrik gula (PG). Bahkan PG tak berani mengeluarkan hasil gulanya, karena kalah bersaing dengan gula impor.
Lebih lagi selama setahun terakhir, rendemen tebu sangat rendah. sehingga hanya sedikit menghasilkan gula. Produksi gula nasional akan menurun. Maka yang diuntungkan adalah importir gula, yang akan memperoleh tambahan kuota. Bahkan gula rafinasi (eks-impor) sebagai bahan baku industri makanan-minuman (mamin) juga dipasarkan secara bebas. Stok gula makin membanjiri pasar, harga anjlok, penghasilan petani makin jeblok.
Anehnya, keran impor masih terus dibuka. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian, bahwa izin impor gula (mentah) diberikan kepada perusahaan yang memiliki basis tebu atau ke-gula-an. Dus, dalam jajaran BUMN yang berhak adalah PT Perkebunan, atau perusahaan swasta pabrik gula. Ini logis, karena gula (mentah) impor harus diolah sebelum di-distribusikan. Tetapi kenyataannya, impor gula tidak hanya oleh industri gula, melainkan melalui “makelar” BUMN lainnya.
Antaralain izin (khusus?) impor gula kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Inikah yang menyebabkan gula (impor) terjual bebas di pasaran? Tetapi meng-impor gula, sungguh suatu ironi. Dulu, Indonesia pernah menjadi peng-ekspor gula terbesar (kedua) didunia, setelah Kuba. Kini, hampir seluruh PG di Amerika Latin mampu menghasilkan bahan bakar minyak dari nabati (BBN) bio-etanol.
Kisah tentang gula tak selalu manis. Ini benar-benar dialami oleh PG.  Problem pabrik gula bukan hanya masalah tebu (on-farm) di kebun, karena rendemen tebu yang rendah dan areal yang makin susut. Melainkan juga  problem off-farm di internal pabrik tebu, berupa in-efisiensi. Selain itu, juga masih harus bersaing dengan gula impor yang nyata-nyata lebih murah.
Produksi gula dalam negeri terus merosot. Inilah yang menyebabkan impor gula terus bernafsu menambah kuota. Banyak faktor yang menyebabkan merosotnya produk gula lokal. Utamanya, adalah kendala on-farm (di lahan kebun tebu) serta off-farm (di PG). Perbaikan dibidang on-farm perlu diprioritaskan karena produktivitas bahan baku (tebu) menyumbang 80% terhadap kualitas dan kuantitas produksi.
Penyebab rendahnya rendemen tebu hingga kini masih debatable. Petani lebih sering menuduh PG tak jujur dalam menentukan rendemen, sehingga tebu dihargai murah. Selain itu, interval waktu antara tebang dengan giling masih ada yang lebih dari 36 jam (kategori tebu layu). Seluruhnya menyebabkan rendahnya kandungan gula, harganya juga murah. Karena itu diharapkan pemerintah bisa membantu pengadaan alat pencatat rendemen yang bisa diakses petani.
Pada sisi lain Jawa Timur telah memiliki Perda Nomor 17 tahun 2012 tentang rendemen tebu. Rendemen sebesar 11% diamanatkan bertahap dalam tiga tahun, yang bergerak mulai dari rendemen rata-rata 8%. Tahun 2013 seharusnya sudah mencapai 9%, serta tahun 2014 mencapai 10%. Ketika rendemen tebu sudah berhasil mencapai 11%, diperkiarakan usaha perkebunan tebu oleh rakyat semakin menjanjikan kemakmuran. Pada kondisi itu gula rafinasi jatah industri mamin (dan eks-impor) tidak bisa bersaing.
Kenyataannya, tahun ini diperkirakan kerugian petani mencapai Rp 8 juta per-hektar. Padahal prestasi petani sudah cukup maksimal agar arealnya dapat menghasilkan tebu sebanyak 80 ton per-hektar. Biasanya hasil tebu yang kurang dari itu juga diiringi rendahnya rendemen (kurang dari 8%). Artinya, tebu sebagai usaha ke-pertanian, belum bisa mensejahterakan petani. Bahkan PG pun semakin kumuh, tidak effisien dan terus merugi.

——–   000   ———

Rate this article!
Tags: