Musim Kemarau, Jasa Tirta Lakukan Preventif

Perum Jasa Tirta melangsungkan koordinasi dengan pihak terkait dalam upaya mengantisipasi musim kemarau di tahun 2017 ini

Pemprov Jatim, Bhirawa
Musim kemarau tahun 2017 ini diperkirakan cukup panjang. Untuk itu dalam upaya mengantisipasi, Perum Jasa Tirta I melangsungkan tindakan preventif dengan mengundang beberapa pihak terkait, diantaranya seperti BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai), Dinas Lingkungan Jawa Timur dan Kota Surabaya.
Kepala Divisi Wilayah Sungai II Perum Jasa Tirta, Viara Djajasinga mengatakan, yang dikhawatirkan pada musim kemarau panjang kedepan ini diantaranya penurunan kualitas air .
“Namun, dilihatĀ  jumlahnya dari program dan alokasi yang ada, harapannya masih bisa terpenuhi,” ujarnya.
Jika musim kemarau panjang dan debit air mengecil maka industri/perusahaan diharapkan agar tidak membuang limbahnya secara tidak terkendali. “Jika debit air semakin kecil namun pembuangan limbah tetap tidak terkendali maka sulit untuk mengembalikan kondisinya,” ujarnya.
Untuk itu, PJT bekerjasama dengan instansi terkait melakukan beberapa hal seperti sosialisasi, mengedarkan surat imbauan pada industri pemanfaat air Kali Surabaya agar mengendalikan limbah buangannya,
“Termasuk rapat koordinasi kali ini diharapkan pemangku kepentingan yang ada di seputar kali Surabaya juga punya itikad bersama menyadarkan,” ujarnya
Dari rapat yang diselenggarakan PJT, ternyata diketahui saat ini trennya limbah domestik semakin tinggi dibandingkan limbah industri. Setidaknya, limbah domestik mencapai 65 persen mencemari sungai Surabaya tersebut.
“Limbah domestik, bisa dari limbah rumah tangga, pembuangan air dari saluran got, dan salah satunya rumah pompa juga memegang peranan,” tandasnya.
Sementara, Ketua Konsorsium Lingkungan Hidup (KLH) Imam Rochani mengatakan, seharusnya dalam mengatasi limbah domestik selain sosialisasi diantaranya memperbanyak Ipal (instalasi pengolahan air limbah) komunal. Terbukti, ipal komunal bisa mengurangi potensi pencemaran pada sungai sebagai bahan baku .
“Dalam pembuatan ipal komunal bisa melibatkan masyarakat dengan dibentuk pokja-pokja untuk saling memiliki. Pemerintah mengeluarkan anggaran dan teknis kajian, kemudian masyarakat yang mendampingi dan mengerjakan ipal komunal itu. Asalkan dikerjakan sesuai standar yang ada, maka aman-aman saja,” ujarnya.
Untuk memberikan sanksi, lanjutnya, sampai saat ini hanya pada perusahaan/industri dan masih bisa dikendalikan. Lain halnya dengan masyarakat masih belum bisa diterapkan hukum dan sanksinya. Sebagian besar masyarakat masih terkesan kolot dan tidak peduli akan lingkungan hidup.
“Lebih bandel masyarakat karena kaitannya dengan perilaku. Mengubah perilaku juga tidak gampang, bisa lebih dari dua atau tiga tahun bahkan sepuluh tahun. Apalagi dibantaran sungai itu rata-rata dihuni masyarakat pendatang dan tidak mempunyai komitmen dan kepedulian terhadap lingkungan hidup,” katanya. [rac]

Tags: