Musyawarah Mufakat Harusnya Dijalankan Parpol

Pengamat Politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti.

Pengamat Politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti.

Jakarta, Bhirawa
Pengamat Politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti mengungkapkan Musyawarah untuk mufakat seharusnya dijalankan oleh partai politik, khususnya yang sedang mengalami konflik internal.
“Jika kita tarik masalah konflik partai ke UUD 1945 musyawarah mufakat itu untuk apa. Ini kan partai-partai bicaranya selalu tentang musyawarah mufakat yang merupakan penjelmaan dari sila ke empat Pancasila. Musyawarah mufakat kalo ke pengadilan gak ada musyawarah mufakatnya,” kata, Ray saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Hal tersebut dikatakan Ray saat menyoroti permasalahan dualisme kepengurusan partai politik yang dialami beberapa parpol seperti PPP serta Golkar, dan kini sedang ramai di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Ray memandang kisruh dalam kepengurusan partai politik seharusnya diselesaikan secara internal saja karena memang sudah ada forumnya yaitu mahkamah partai sesuai Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang partai Politik.
“Jika mau jujur, UU parpol kita saat ini sudah sangat bagus dengan mengembalikan sengketa kepengurusan parpol untuk diselesaikan secara internal oleh mahkamah partai,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ray mengatakan mahkamah partai tersebut yang lahir di era reformasi selama 15 tahun dan jika masalah seperti ini diselesaikan di pengadilan secara hukum maka akan mengurangi esensi dari politik itu sendiri.
“Jika diselesaikan secara hukum, lama-lama politik tidak ada gunyanya, terus pengalaman kita selama 15 tahun dengan perubahan terus menerus sistem ini seperti tidak berguna juga,” ucapnya.
Bahkan, menurut Ray pada tingkat tertentu demokrasi tidak akan ada artinya jika menyelesaikan perbedaan-perbedaan politik dalam parpol melalui pengadilan karena seharusnya setiap partai mengoptimalkan mahkamahnya untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internal.
“Seharusnya dimaksimalkan itu, karena kalau mau tahu partai-partai itu juga yang dulu ngotot ingin mahkamah partai, namun setelah dibentuk eh menyelesaikannya di pengadilan juga. Jika begitu pada tingkat tertentu demokrasi jadi tidak ada artinya,” tukasnya.
Selain itu, kata Ray, jika menggunakan pengadilan akan berpeluang menghambat hak berpolitik kader-kader partai seluruhnya karena waktu yang dibutuhkan tidak sebentar hingga putusan yang sifatnya tetap.
“Kalo misalnya ini gak selesai, mereka kan tidak diizinkan dua partai, sehingga hak politik yang banyak itu akhirnya tidak bisa diwijudkan karena karena pengurus atasnya bertengkar. Kalo pengadilan kita tidak cepat mutus, ini akan terlambat ikut pilkada kan ini sangat sayang sekali,” paparnya.
Sementara itu, Profesor Riset LIPI, Siti Zuhro berpendapat jika anggota majelis partai adalah partisan maka tidak akan efektif. Dalam proses pengambilan putusan, anggota majelis akan cenderung menguntungkan kubu kepengurusan pilihannya.
“Karena ada partisan, akibatnya Mahkamah Partai tidak independen,” ujarnya saat dihubungi.
Hal senada juga diungkapkan Pengamat hukum tata negara, Refly Harun yang mengatakan Mahkamah Partai seharusnya diisi orang-orang yang kredibel dan independen, bisa orang luar partai yang ditunjuk.
“Kalau masih mengandalkan sepenuhnya orang parpol, Mahkamah akan berada dalam posisi sulit kalau anggotanya juga ikut pecah,” imbuhnya. [ant.ira]

Tags: