Naik Turun “Wibawa” Satpol PP

[Polisi Pamong Praja (sudah) Berusia 67 Tahun]
Oleh :
Setijo Mahargono, SH, Msi
Staf pada Satpol PP Prov. Jawa Timur

Razia ketertiban umum, hingga kini masih bagai cerita “Tom and Jerry.” Hanya uber-uberan, antara petugas pemerintah daerah dengan masyarakat. Di berbagai kota metropolitan (se-dunia) ketertiban menjadi kinerja utama pemerintah daerah. Jika tidak, maka kota metropolitan akan menjadi kawasan kumuh, tidak tertib, dan dipenuhi peristiwa kriminalitas. Beberapa kota di Amerika Selatan dan Afrika (yang gagal mengelola ketertiban umum), telah menjadi sarang peredaran narkoba.
Sejak periode awal kemerdekaan (dekade tahun 1950-an), problem ketertiban umum sebenarnya telah diwaspadai. Setelah proklamasi kemerdekaan, terjadi kondisi yang tidak stabil dan mengancam keutuhan negara yang baru didirikan. Karena itu didirikan Detasemen Polisi sebagai Penjaga Keamanan Kapanewon di Yogjakarta. Tugasnya (bermisi) melindungi masyarakat, berupa penjagaan  ketentraman dan ketertiban. Motonya, Praja Wibawa.
Tugas Detasemen Polisi Pamong Praja, berubah-ubah sesuai kebutuhan zaman. Tupoksinya disesuaikan dengan UU (undang-undang) tentang Pemerintahan Daerah.  Istilah Satpol PP mulai terkenal sejak pemberlakuan UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pada Pasal 86 ayat (1) disebutkan, Satpol PP merupakan perangkat wilayah yang melaksanakan tugas dekonsentrasi.
Pada masa kini, Satpol PP dinaungi UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tugas pokoknya menegakkan perda, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat sebagai pelaksanaan tugas desentralisasi. Tupoksi yang tidak enteng, sekaligus sebagai garda terdepan dalam hal kasus-kasus hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Termasuk menjadi “eksekutor” ke-tidak tertib-an.
Sebagai penegak Perda (Peraturan Daerah), potret Satpol PP identik dengan “negosiator.” Walau sering berujung ke-tidak puas-an, dan kekerasan. Yang kondang, adalah operasi yustisi dan ketertiban fasilitas umum (oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota). Terasa metodanya masih kental dengan nuansa bongkar angkut. Konon, hal itu disebabkan keterbatasan yang melingkupi tupoksi Satpol PP. Termasuk keterbatasan dalam kompetensi personel, dan anggaran.
Visi Kepala Daerah
Berdasar UU Nomor 23 tahun 2014, Satpol PP masuk dalam rumpun penegakan Perda dan Perkada (Peraturan Kepala Daerah). Tugasnya tidak enteng, dan kewenangannya sangat keren. Pada pasal 255 ayat (2) huruf b, dinyatakan kewenangan Satpol PP, yakni  “menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.”
Bahkan pasal 255 ayat (2) huruf c, menyatakan kewenangan “melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.” Jadi, Satpol PP dapat berlaku bagai jaksa untuk menyelidiki aparatur yang melanggar peraturan. Fungsi ini (penyelidikan) niscaya memerlukan kompetensi memadai. UU juga meng-amanat-kan peningkatan kompetensi personel Satpol PP.
UU Nomor 23 tahun 2014, pasal 256 ayat (3) menyatakan, “Polisi pamong praja harus mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional.” Kewajiban ini, berdasar pasal 256 ayat (4), diselenggarakan oleh pemerintah pusat (Kementerian Dalam Negeri). Namun mayoritas personel Satpol PP, belum memperoleh pendidikan dan pelatihan. Begitu pula Satpol PP yang memenuhi persyaratan (kompetensi), dapat diangkat menjadi penyidik PNS.
Satpol PP, sesungguhnya, merupakan potret visi dan misi kepala daerah (Bupati, Walikota dan Gubernur). Namun harus diakui, masih dipandang sebelah mata. Dianggap tidak cerdas, dan hanya berdasar peraturan tanpa kompromi. Padahal seharusnya, personel Satpol berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi (dengan tugas belajar), terutama problem komunikasi sosial dan hukum. Namun sesungguhnya, “kecerdasan”  Satpol PP, bergantung pada atasan (Sekretaris Daerah).
Satpol bekerja sesuai program pemerintah daerah, berdasar misi dan visi Kepala Daerah yang memenangi Pilkada. Misalnya operasi yustisi bisa mengacu pada paradigma Pembinaan Kependudukan (Binduk). Bukan sekedar “tilang” KTP (Kartu Tanda Penduduk). Visi Binduk, lebih persuasif. Visi ini bersifat edukasi, sosialisasi serta pelayanan tentang pendaftaran dan catatan sipil. Tujuannya membangun kesadaran warga pendatang untuk tertib administrasi. Begitu pula terhadap penertiban kawasan yang dilarang mendirikan bangunan.
Diperlukan “kecerdasan” petugas lapangan, terutama nego dengan warga. Walau warga dalam posisi lemah (melanggar). Visi dan misi Kepala Daerah, dapat mengubah paradigma kinerja Satpol PP. Beberapa daerah (termasuk propinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya), terasa lebih “menghargai” warga yang tertinggal secara ke-ekonomi-an. Warga miskin yang menggunakan fasilitas umum (secara melanggar), bukan dihardik. Melainkan dibina, difasilitasi menempati rumah susun sewa yang murah.
Tantangan Satpol PP
Begitu pula perlakuan terhadap pedagang asongan, serta pasar dadakan dan “pasar tumpah.” Dalam hal ini Jawa Timur memiliki Perda yang wajib ditegakkan oleh Satpol PP. Yakni Perda Nomor 3 tahun 2008 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisonal dan Penataan Pasar Moderen. Begitu juga di beberapa kabupaten/kota memiliki Perda senafas. Namun kenyataannya, pasar moderen terus berkembang, sedangkan pasar tradisional makin terdesak.
Lebih lagi pasar moderan, kini boleh buka di sembarang tempat, serta beroperasi 24 jam. Dalam hal per-pasar-an, Pemda (kabupaten dan kota) umumnya rajin menarik retribusi, termasuk kepada pedagang ber-gerobak dan asongan. Tetapi tidak disertai pembinaan. Misalnya, dengan program relokasi. Namun pada saat penertiban, pedagang ber-gerobak dan asongan, bagai kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP.
“Banyak jiwa, banyak rezeki,” begitu bunyi pepatah lama keluarga Jawa. Tetapi pepatah ini terasa kurang tepat pada zaman moderen. Problem ini (kebanyakan jumlah penduduk), dialami berbagai kota di Indonesia. Terutama kota-kota besar. Seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Makassar, kebanjiran penduduk pendatang. Masyarakat warga daerah merasa rugi, karena alokasi anggaran tercurah untuk pendatang. Konsekuensinya bisa menimbulkan ke-rumitan secara ekonomi maupun politik.
Tetapi tren urbanisasi, merupakan gejala sosial yang logis. Sehingga tidak perlu direspons secara ego-teritorial. Melainkan niscaya, memerlukan manajemen perkotaan lebih holistik, namun tetap ramah. Walau pemerintah kota metropolitan seperti, sering kerepotan dengan banyaknya pendatang yang tak diinginkan. Karena itu beberapa Pemerintah Kota melakukan operasi yustisi kependudukan. Namun pada era pencerahan HAM (Hak Asasi Manusia), operasi yustisi bisa dianggap melanggar HAM.
UUD pasal 28E ayat (1) memberi hak kepada setiap orang untuk memilih tempat tinggal. Tetapi pada UU Kependudukan pada pasal 15 ayat (1) juga mewajibkan setiap warga negara yang berniat pindah (maupun pindah sementara karena bekerja) mestilah membawa surat pindah dari daerah asal. Dan wajib melapor di tempat tujuan. Manakala warga yang akan pindah tidak dapat mengurus administrasi kepindahan, instansi pelaksana kependudukan wajib membantu.
Maka peningkatan peran Satpol PP menjadi sangat urgen dan strategis. Problem urban, dan sosial di perkotaan, niscaya menuntut pelaksanaan tupoksi lebih baik. Sesuai standar pelayanan publik. Diharapkan, Satpol PP, bukan hanya “garang” pada penegakan peraturan. Melainkan juga bisa membantu (pembinaan) masyarakat.

                                                                                                         ———- ooo ———-

Rate this article!
Tags: