Memeringati Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia, 5 Juni 2022
oleh:
Rachmad K. Dwi Susilo, MA, Ph.D
Dosen Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam pada Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Alumni Public Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo, Jepang dan Pendamping Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA), Kota Batu
Sejatinya Peringatan Hari Lingkunan Hidup se-Dunia, 5 Juni merupakan momen tepat untuk mengevaluasi kondisi lingkungan hidup kita. Terlebih tema yang diambil tahun 2022 ini cukup menarik yaitu “Hanya Satu Bumi” yang menjelaskan satu-satunya hunian yang kita miliki. Tidak ada pilihan lain selain bumi, maka mengonservasi dan menyelamatkan lingkungan hidup, baik lingkungan fisik, biologis dan lingkungan sosial menjadi tugas kita.
Terlebih kita hidup di negara yang kaya sumber daya alam dan beragam lingkungan. Masuk akal jika bangsa ini telah “menggoda” para imperalis. Karena faktanya, kita sejahtera karena pasokan sumber daya alam ini. Sayangnya, pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam kian belum ideal.
Evaluasi hari ini menyatakan, kita sekedar pemanfaat dan belum serius melakukan langkah-langkah konservasi. Sekalipun secara kebijakan, regulasi kita tidak kurang-kurang. Sebut saja Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 tahun 2009 dan Ketentuan tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk mengkaji dampak sebuah kebijakan, rencana dan program (Asdak, 2012). Secara lingkungan spesifik juga diatur seperti sumber daya air, tanah, sumber daya hayati, sumber daya hutan, persampahan, sungai dan lain-lain.
Selain itu berkembang model-model pengelolaan sumber daya alam, seperti kemitraan pemerintah pusat dengan pemerintah lokal, kemitraan pemerintah pusat dengan masyarakat sipil, riset berbasis kemitraan pemerintah dengan pihak swasta dan kerja sama global selalu diikuti oleh delegasi bangsa Indonesia.
Sekalipun demikian, krisis dan kerusakan tidak bisa dikendalikan. Alih fungsi lahan yang membuat perubahan daya dukung, kerentanan sosial di lokasi-lokasi rawan bencana kian naik. Kondisi ini yang sejatinya sangat menguatirkan di tengah ancaman (threat) bencana hidometereologis. Dari persoalan ekologis tersebut, sejatinya kita perlu memikirkan, apa yang sesungguhnya yang salah dalam kebijakan lingkungan kita?
Akar Persoalan
Implementasi kebijakan tidak hanya membutuhkan perangkat regulasi dan kelembagaan saja, tetapi juga mindset pelaksana sebagai ruh dan spirit. Selain itu perlu dua mindset kebijakan penting yakni keragaman (kemajemukan) dan keadilan.
Berfikir keanekaragaman yakni pluralisme sebagai “lawan” berfikir tunggal yang menggunakan satu kacamata saja. Selain itu kita harus adil bahwa konservasi sumber daya itu adalah sumber daya semuanya. Bukan saja sumber daya alam tertentu yang “menguntungkan” manusia dengan mengesampingkan sumber daya alam lain yang jauh dari habitat manusia tersebut.
Perspektif keadilan menjelaskan bahwa semua keberadaan dan keberlangsungan lingkungan dan sumber daya alam harus diperhatikan. Motivasi konservasi bukan bersandar pada pemanfaatan, tetapi “menghormati” kehidupan. Akibat abai pada dua prinsip penting tersebut terjadi diskriminasi obyek persoalan lingkungan dan strategi pelaksanaan kebijakan menemukan kondisi bias.
Diskriminasi menyebabkan gagal fokus lingkungan/sumber daya alam tertentu. Strategi juga tidak kalah problematis. Skema proyek yang lebih diminati yakni konservasi berbasis insentif atau dari pada konservasi berbasis kerelawanan. Tidak heran jika konservasi berlangsung selama proyek berjalan, begitu proyek selesai, ia berhenti dan otomatis, kebijakan terbengkelai.
Kini kita memasuki era era tata kelola (governance) dimana pengelolaan sumber daya alam menuntut cek and balance dan kerja sama lintas stakeholders sumber daya alam. Ini artinya posisi dan kekuatan negara sama dengan stakeholders lain seperti masyarakat lokal, organisasi non pemerintah, pihak kampus dan korporasi.
Coba kita pikirkan, riset biodiversitas membutuhkan banyak biaya, pengawasan sumber daya hutan dan lautan membutuhkan partisipasi masyarakat sekitar sumber daya. Untuk penyelamatan wilayah tertentu dibutuhkan pembebasan lahan dan konsistensi penegakkan hukum, atau pemberian reward and punishment, maka pertanyaannya, apakah negara sanggup melakukan hal tersebut sendirian? Superioriotas yang tidak menghormati hak-hak lingkungan setiap stakeholders yang kerap sebagai persoalan kolaborasi.
Pentingnya Nalar Ekologis
Kita memasuki masyarakat modern yang diwarnai oleh perkembangan teknologi yang melahirkan dunia terintegrasi dan hilangnya dikotomi atau oposisi biner antara lokal dengan global. Modernisasi ini sejatinya belum selesai dan membawa cacat bawaan yang berimplikasi pada permasalahan global tidak terselesaikan.
Krisis masyarakat modern ini berpengaruh pada pengelolaan sumber daya alam global. Mengikuti perspektif Kritis sosiolog Jerman, Juergen Habermas, rasionalitas masyarakat modern telah tergelincir ke jalur rasionalisasi “berat sebelah”, sekedar rasionalisasi struktur tindakan rasional purposif (Pusey, 2011).
Nalar ini membimbing pada reduksi yang memosisikan sumber daya alam sebagai instrumen demi pengejaran tujuan-tujuan praktis dan pragmatis tertentu. Ironisnya, nalar instrumental ini tidak hanya dianut para pelaksana kebijakan, tetapi juga para aktivis lingkungan.
Seperti, konservasi adalah alat memperkaya diri, maka sumber daya alam dijadikan instrumen mendatangkan laba, keuntungan dan pencitraan. Kapitalisasi sumber daya alam menjadi instrumen negara dan para politisi. Para pelaksana kebijakan sekedar menjalankan isi dan panduan teknis kebijakan dengan minim etos, defisit “semangat” kebijakan dan abai pada substansi. Misalnya, regulasi lingkungan hidup banyak dilanggar atas nama “proyek” atau investasi. Selain itu, KLHS menjadi pelengkap kebijakan belum dipenuhi oleh rata-rata pemerintah daerah. Dokumen ini menjadi isu santer setelah terjadi konflik lingkungan dan sumber daya alam. Pada bagian lain, aktivis lingkungan sibuk mencari eksistensi.
Seharusnya, nalar ekologis mengajarkan keberagaman dan kemajemukan yang mendorong pada tindakan dan perilaku pro lingkungan. Tidak hanya profesionalisme teknis administratif seperti yang dinyatakan kebijakan, tetapi juga mengajarkan keberagaman dalam pengelolaan dan mengimplementasikan kebijakan. Baik keberagaman mengelola kebijakan dan keberpihakan pada keberlanjutan sumber daya alam atau lingkungan keseluruhan.
Nalar ini menuntut adaptasi pada perubahan, maka kebijakan untuk konservasi dan penyelamatan lingkungan tidak boleh kaku. Jika ditemui kekurangan atau kelemahan pada “praktik” langsung diperbaiki.
Kejujuran dalam menjelaskan status sumber daya dan lingkungan mutahir dibutuhkan karena pengelolaan lingkungan merupakan masalah bersama dan “harus” diselesaikan bersama-sama. Bukan saja karena kontribusi multi pihak akan membuahkan hasil maksimal, tetapi trust berkontribusi untuk keberhasilan pengelolaan sumber daya alam.
——— *** ———-