Narasi Manusia Besi dari Surabaya

Judul : Rafilus
Penulis : Budi Darma
Penerbit : Noura
Cetakan : I, Mei 2017
Tebal : 386 halaman
ISBN : 978-602-385-229-1
Peresensi : Teguh Wibowo
Anggota Forum Lingkar Pena Surabaya 

Sastra absurd yaitu aliran sastra modern yang memandang kehidupan ini tidak rasional, tidak pasti, penuh kontradiksi dan kacau. Norma-norma kehidupan yang selama ini dipakai manusia tidak memiliki dasar pijakan yang kuat. Dari Wikipedia: “Meskipun banyak fiksi absurditas yang tampak humoris atau irasional, namun kunci dari aliran ini bukanlah komedi maupun nonsens, melainkan pembelajaran mengenai kelakuan manusia di situasi-situasi (baik realistik maupun fantastik) yang tampak tanpa guna dan absurd.”
Novel berjudul “Rafilus” karya Budi Darma ini termasuk absurd. Novel ini pertama kali diterbitkan dengan judul yang sama oleh Penerbit Balai Pustaka pada tahun 1988, kemudian Penerbit Jalasutra pada Mei 2008, dan Penerbit Noura pada Mei 2017.
Novel yang membedah kemagisan sosok Rafilus ini berlatar di Surabaya. Surabaya punya sejarah penting, ragam budaya, wisata, kuliner, dan lainnya. Nah, bagaimana jika Surabaya digarap sebagai latar (setting) sebuah cerita fiksi? Menarik untuk membaca novel ini lebih lanjut. Membayangkan kondisi saat ini dengan situasi 1987-tahun novel ini ditulis.
Novel ini terdiri dari lima bab, dibuka dengan paragraf yang sungguh seru dan membuat penasaran: “Rafilus telah mati dua kali. Kemarin dia mati. Hari ini, tanpa pernah hidup kembali, dia mati lagi. Padahal, semenjak bertemu dengan dia untuk kali pertama beberapa bulan lalu, saya mendapat kesan dia tidak akan mati. Andai kata tumbang, paling-paling dia hanya akan berkarat” (hal 2).
Rafilus, sosok tubuhnya tidak terbentuk dari daging, melainkan dari besi. Kulitnya hitam mengilat, seperti permukaan besi yang sering dipoles dan hampir tidak pernah berhenti digosok. Semenjak kecil dia sudah terbiasa menjadi kebal terhadap segala macam cuaca. Sampai kapan pun dia akan tetap tahan terhadap segala macam siksaan.
Novel ini menyuarakan tokoh “saya” yang diemban Tiwar. Dia menceritakan kesempatannya sepanjang bertemu dan bersahabat dengan Rafilus. Rafius merasa seperti patung besi yang kebetulan dapat bertindak dan berteriak. Tubuhnya hanyalah lonjoran-lonjoran besi yang sudah telanjur dibentuk menjadi tubuh manusia. Dalam kepalanya tidak ada otak, dalam dadanya tidak ada jantung dan paru-paru, dan dalam gembungnya tidak mengendon lambung, hati, limpa, dan lain-lain.
Sebagaimana manusia normal, Rafilus memiliki sebuah keinginan. Dia sudah lama mencita-citakan untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Dia sadar, sebagian orang menjadi bermanfaat apabila mereka mengucilkan diri. Mereka berbuat bijak bukan dengan gerak, melainkan dengan kata-kata. Pemikir, filsuf, pengarang, dan orang-orang semacam itu adalah makhluk-makhluk bermanfaat. Melalui kata-kata, mereka mengubah dunia. Mereka menjadi bijaksana karena pikiran mereka tidak dikotori dengan kotoran-kotoran.
Rafilus mati sekitar pertengahan atau akhir Juni 1981. Semua pengalaman bersama Rafilus segera memberontak dan mencari bentuk dalam kepala Tiwar. Selama hampir tiga minggu dia berkelanjatan, dalam usahanya untuk melepaskan diri dari Rafilus. (Abstraksi, hal 345).
Novel ini benar-benar khas Surabaya. Penulis banyak menyebutkan nama-nama jalan dan tempat di Surabaya. Karakter tokoh-tokoh novelnya detail, bersimbiosis, saling terkait. Bahkan, konflik cerita menyasar orang Belanda yang tinggal di Surabaya bernama Jaan van Kraal dan Van der Klooning.
Kalimat-kalimat bijak bertebaran dalam novel ini. “Setiap pekerjaan memerlukan keahlian dan kejelian yang mungkin tidak dituntut oleh pekerjaan lain.” “Manusia sudah berusaha untuk mengatur segala sesuatu dengan baik, sementara apa yang akan terjadi sepenuhnya terserah kepada Tuhan Seru Sekalian Alam.” “Amal dan bakti seseorang tidak perlu diukur dengan keinginan untuk menjadi gemerlapan.”
Menurut Nirwan Dewanto, prosa-prosa Budi Darma adalah dunia jungkir balik. Kejam, absurd, dan menakutkan. Sedangkan menurut Joni Ariadinata, Budi Darma adalah sastrawan yang dikenal sangat iseng dan keji memperlakukan tokoh-tokohnya: penuh logika kelakar, dan seenak sendiri. Membaca novel “Rafilus” sejatinya masih efektif dalam situasi yang demikian pelik seperti saat ini. Menjadi cermin keragaman psikologis manusia, polos sekaligus kompleks.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: