Nasib Demokrasi di Tangan Influencer

Nurudin

Oleh :
Nurudin
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Beberapa waktu lalu, Juru Bicara (Jubir) presiden Fadjroel Rachman mengatakan bahwa influencer menjadi ujung tombak demokrasi di era digital. Tentu saja pendapat tersebut layak disimak karena bisa menjadi acuan pendapat berbagai ihak. Terlebih lagi, apa yang dikatakan Jubir itu tentu bisa merepresentasikan kepentingan dan membela kebutuhan negara.

Mengatakan bahwa influencer itu menjadi ujung tombak demokrasi digital bisa mendangkalkan masalah dan membutakan diri pada fakta. Masalahnya tidak sesederhana yang diucapkan oleh Jubir. Juga, kepentingan Jubir lebih melihat pada kebutuhan kelembagaan bukan demokrasi dalam arti sebenarnya. Tulisan ini akan mencoba mengeksplorasi terkait tema aktual tersebut karena akan menjadi bahan perbincangan dan acuan pengembangan demokrasi di era digital saat ini.

Menjadi Agen

Secara sederhana influencer itu bisa diartikan sebagai orang yang punya pengaruh. Tentu saja memengaruhi banyak orang. Entah karena sosoknya, ide, kepribadian, atau teladan yang baik. Dalam hal ini kita tidak mengartikan influencer sebagai orang yang memengaruhi sikap dan perilaku orang lain dalam berbuat jahat. Influencer kita dudukkan sebagai orang yang bisa memengaruhi secara baik. Meskipun baik tidaknya sangat relatif, namun baik dalam hal ini diakui, didukung, dan secara moral bisa dipertanggunjawabkan. Orang menolong sesama itu jelas perbuatan baik tanpa harus diperdebatkan.

Sosok influencer ini tentu akan bermakna bias jika sudah berkaitan dengan kepentingan politik. Dalam politik segala cara biasanya akan ditempuh untuk meraih tujuan. Sesuatu yang ideal akan berubah menjadi “alat” jika sudah berkaitan dengan politik.

Partai Politik (Parpol) sebuah instrumen dalam negara demokrasi. Namun dalam perkembangannya ia bisa tumbuh menjadi organisasi yang mentingkan kepentingan para pengurus Parpol. Sementara itu, tujuan idealnya menjadi penyalur aspirasi rakyat ke dalam pemerintahan.

Aspirasi pun bisa secara sepihak diartikan hanya berurusan dengan mendulang suara. Persoalan apakah aspirasi rakyat bisa disalurkan atau tidak sudah bukan urusannya jika tujuannya sudah tercapai, misalnya menjadi anggota dewan. Maka kepentingan Parpol dan orang-orang yang terlibat menjadi prioritas. Mereka hanya akan menjadi populis dengan maksud meminta dukungan menjelang pemilihan umum.

Hal demikian juga tidak jauh dengan influencer. Sekarang kita bertanya, apa latarbelakang dibentuknya influencer? Mengapa investasi dana yang dilakukan pemerintah sedemikian banyak di tengah krisis ekonomi Indonesia yang belum berujung pangkal? Menurut data dari Indonesian Corruption Watch (ICW), dana influencer mencapai 90 miliar.

Tentu saja sebagai “institusi politik” (karena setiap kebijakannya tidak akan lepas dari keputusan politis) pemerintah berkepentingan juga untuk mengerahkan influencer. Sekali lagi negara adalah lembaga politik. Dengan demikian latar belakang menggunakan influencer tak lepas dari kepentingan politik pula.

Lalu apakah kepentingan pemerintah atas influencer? Ia akan bertugas “mendengungkan” kebijakan pemerintah. Agar masyarakat tahu apa kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemerintah bisa jadi jengah dengan informasi yang beredar di masyarakat yang cenderung liar, misal berasal dari media sosial (Medsos).

Oleh karena itu, penting kiranya menyosialisasikan kebijakan melalui influencer. Influencer dipilih dari kalangan pesohor agar informasinya cepat sampai ke tujuan. Pemilihan bisa jadi bukan pada substansi isi atau komitmen pada demokrasi tetapi lebih pada pengaruh kuantitas penyebaran pesannya. Jika sudah demikian, kepentingan pemerintah atas kebijakannya jauh melampaui kebutuhan masyarakat.

Dari kasus di atas bisa dikatakan bahawa influencer dibentuk hanya untuk mendukung kebijakan pemerintah. Tentu saja pemerintah berkeinginan seperti itu karena ia yang membayar para influencer tersebut.

Pertanyaannya apakah influencer itu bisa mendorong penguatan demokratisasi? Dilihat dari latar belakang pembentukannya “jauh panggang dari api”. Influencer telah tumbuh menjadi agen kebijakan pemerintah. Ia hanya perlu melaksanakan “perintah” pemerintah saja. Perkara apakah kebijakannya berkaitan dengan kepentingan banyak orang itu soal lain.

Dalam hal itu, influencer telah menjadi agen sepihak pemerintah. Pertanyaannya apakah perannya bisa mendorong demokrasi atau sebagaimana dikatakan Jubir presiden menjadi ujung tombak demokrasi di era digital? Jika demokrasi dilihat hanya dari kepentingan pemerintah maka pernyataan itu benar. Namun demikian jika demokrasi itu berkaitan dengan kepetingan orang banyak maka belum bisa dikatakan sebagai ujung tombak.

Jika kita mengacu pada “ajaran” demokrasi dengan esensi utamanya dari, oleh dan untuk rakyat pernyataan bahwa influencer sebagai ujung tombak demokrasi itu mendangkalkan masalah dan membutakan diri pada fakta. Sebab, realitasnya tidaklah demikian. Influencer hanya menuruti kepentingan sepihak ,yakni kepentingan pemerintah semata. Apakah yang dilakukan pemerintah itu lantas salah? Tidak juga. Pemerintah hanya berusaha secara sepihak dengan kebijakan politisnya. Namun klaim bahwa influencer menjadi ujung tombak demokrasi menjadi pernyataan yang buruk untuk dikatakan.

Klaim Sepihak

Klaim bahwa influencer itu menjadi ujung tombak demokrasi digital biasanya berasal dari para “pembela” dan pendukung pemerintah. Tidak salah memang, hanya klaim tersebut terlalu menyederhanakan substansi demokrasi yang sebenarnya. Klaim sepihak itu tentu tidak sehat untuk kehidupan demokrasi kita di masa datang. Sebab, klaim sepihak demokrasi akan dimonopoli kembali oleh pemerintah sebagaimana era Orde Baru (Orba).

Untuk pendidikan politik bagi generasi muda juga kurang baik. Seolah kalau sudah menjadi influencer telah berperan dalam proses demokrasi digital. Klaim-klaim sepihak inilah yang sebaiknya dihindari. Itu menjadi penting karena bangsa ini sedang merusaha keras untk bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi covid-19 yang belum diketahui kapan akan berakhir. Memakai influencer memang tidak salah, tetapi mengklaim mereka sebagai ujung tombak demokrasi digital sementara tugasnya hanya menjadi “corong” pemerintah tentu jangan.

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: