Nasib Nelayan di Negeri Maritim

Umar Sholahudin(Menyambut Hari Nelayan Nasional, 6 April 2016)
Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Univ. Muhammadiyah Surabaya, Mahasiswa S-3 FISIP Unair

“Nenek moyangku orang pelaut, Gemar mengarung luas samudera, Menerjang ombak tiada takut Menempuh badai sudah biasa Angin bertiup layar terkembang Ombak berdebur di tepi pantai Pemuda berani bangkit sekarang Ke laut kita beramai-ramai”
Masih terngiang di telinga kita sebuah nyanyian anak-anak yang berjudul “Nenek Moyangku Orang Pelaut”, lagu yang sering diperdengarkan sejak kita masih berada di bangku sekolah dasar. Namun seiring perkembangan zaman, lagu lawas ini mulai tergerus oleh lagu-lagu cinta, lagu yang seharusnya bergelimang imajinasi bocah diganti dengan sebuah lagu yang bertebaran puja-puji roman picisan. Sangat memprihatinkan!
Sebagai Negara Kepulauanataumaritim terbesar di dunia (the largest archipelagic country in the world), Indonesia mempunyai sebuah potensi yang sangat besar dan berlimpah dalam bidang kelautan. Sangat beralasan jika Negara ini menjadikan laut sebagai penopang sumber penghasilan ekonomi.
Secara sosial ekonomi sebanyak ± 140 juta jiwa (60%) hidup di wilayah pesisir pantai. Negara Indonesia mestinya bisa membuat sebuah lapangan pekerjaan besar-besaran di wilayah pesisir apalagi didukung oleh sebagian besar kota provinsi dan kabupaten yang juga berada di kawasan pesisir pantai.
Secara geografis-sosiologis, nelayan ada di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tidak mengherankan mengingat dua per tiga wilayah Indonesia adalah lautan serta memiliki potensi perikanan sangat besar. Provinsi dengan jumlah nelayan paling banyak di Indonesia ialah Provinsi Jawa Timur (mencapai lebih dari 266.667 orang nelayan), diikuti Jawa Tengah (lebih dari 203.000 nelayan) dan Jawa Barat (sekitar 183.000 nelayan).
Namun demikian, keunggulan dan potensi kawasan laut dan pesisir yang begitu besar tersebut, masih sangat sedikit yang manfaatkan dan dikembangkan sebagai salah satu sumber pengembangan ekonomi kawasan laut dan pesisir yang dapat berkontribusi bagipendapatan daerah. Disamping itu, kelimpahan potensi laut dan pesisir tersebut juga, tak serta merta menjadikan masyarakatnya, khususnya nelayan hidupmnya sejahtera.
Nasib Nelayan
Ironisnya lagi, walaupun seafood menjadi salah satu makanan favorit yang mahal, tingkat kesejahteraan nelayan umumnya lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang berprofesi bukan sebagai nelayan. Berdasarkan data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 2013 (Badan Pusat Statistik). Rata-rata pengeluaran nelayan hanya sekitar Rp 561.000 per bulan, lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang bukan nelayan dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 744.000 per bulan.
Tingkat upah nelayan juga hanya sekitar Rp 1,1 juta per bulan, sedikit di bawah pekerja bukan nelayan yang memiliki upah Rp 1,2 juta per bulan. Namun, ada sedikit kabar menggembirakan, yaitu lebih dari 84 persen rumah tangga nelayan memiliki rumah sendiri. Bandingkan dengan kenyataan bahwa hanya 79 persen rumah tangga bukan nelayan yang memiliki rumah sendiri. Meskipun demikian, data ini sesungguhnya tidak menunjukkan bagaimana kualitas rumah yang dimiliki nelayan. Kenyataan lain, komunikasi bukan menjadi hambatan bagi para nelayan karena sekitar 83 persen nelayan memiliki telepon seluler. Selain itu, para nelayan kurang beruntung ditinjau dari aspek pendidikan, dengan hampir 70 persen nelayan berpendidikan sekolah dasar ke bawah dan hanya sekitar 1,3 persen yang berpendidikan tinggi. Pemerintah juga perlu memperhatikan aspek kesehatan para nelayan.
Persoalan lain yang mendera masyarakat nelayan adalah masalah kemiskinan. Secara grais besar, kemiskian yang diderita masyarakat nelayan, biasanya bersumber dari dua hal. Pertama, faktor alamiah, yakni yang berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumber daya ekonomi des. Kedua, faktor non alamiah, yakni berhubungan dengan keterbatan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini  (Kusnadi, 2002:4)
Komunitas desa pesisir pada umumnya adalah bagian dari kelompok masyarakat miskin yang berada pada level paling bawah dan acapkali menjadi korban pertama yang paling menderita akibat ketidakberdayaan dan kerentanannya. Berbagai kajian yang telah dilakukan menemukan, misalnya hasil penelitian Bagong Suyanto (2005) menyebutkan bahwa para nelayan (tradisional) bukan saja sehari-hari harus berhadapan dengan ketidakpastian pendapatan dan tekanan musim paceklik ikan yang panjang, tetapi lebih dari itu mereka juga sering harus berhadapan dengan berbagai tekanan dan bentuk ekploitasi yang muncul bersamaan dengan berkembangnya modernisasi di sektor perikanan.
Kemiskinan yang terjadi  di lingkungan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dam buruh nelayan setidaknya memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan komunitas atau masyarakat di lingkungan lainnya. Secara umum nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkapan tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana. Dalam kehiduupan sehari-hari, nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutahan pokok sehari-hari (subsistence). Dalam arti hasil alokasi tangkapan yang dijual lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya pangan, dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha(Satria, 2001).
Sebagai langkah solusi atas persoalan kemiskinan di daerah pesisir, khususnya masyarakat nelayan. Pemerintah menggulirkan program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP).  Program ini sudah sejak lama digulirkan, namun dampaknya belum begitu dirasakan oleh masyarakat nelayan. Hasil kajian Bagong Suyanto (2005), salah satu persoalan krusial yang dihadapi dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin di desa pesisir melalui kegiatan ekonomi produktif rakyat miskin atau ekonomi rakyat seringkali gagal karena kompleksnya permasalahan yang membelenggu komunitas nelayan, khususnya nelayan tradisional. Bagi nelayan tradisional, persoalan yang dihadapi bukan sekedar makin terbatasnya sumber daya laut yang bisa dieksplorasi, tetapi juga karena keterbatasan mereka sendiri. Usaha perikanan yang dikelola masyarakat miskin di daerah pesisir, sebagian besar didominasi usaha kecil, berteknologi sederhana, sangat dipengaruhi irama musim, dan hasil-hasil produksinya pun terbatas hanya untuk konsumsi lokal.
Potensi laut dan daerah pesisir Jawa Timur yang begitu melimpah di satu sisi, dan kondisi kehidupan masyarakat nelayan yang masih jauh dari kata sejahtera, menjadi dasar sosio-geografis yang kuat bagi Propinsi Jawa Timur untuk menghadirkan kebijakan daerah yang perspektif kelautan, salah satunya adalah dengan membuat peraturan daerah yang affirmative untuk melindungi dan memberdayakan masyarakat nelayan. Harus diakui pembanguan sector perikanan masih belum banyak disentuh. Bahkan sektor perikanan dan para nelayan boleh dikata menjadi “anak tiri” pembangunan. Kondisi ini tentu saja tidak bisa dibiarkan terus menerus, diperlukan kebijakan progresif untuk mengangkat harkat dan martabat sector perikanan dan dan masyarakat nelayan.

                                                                                                              —————- *** —————–

Rate this article!
Tags: