Nasib Perajin Sandal Spon di Desa Candirenggo

Salah satu pekerja, Mujiono saat memproses pembuatan sandal spon yang dikerjakan di area rumahnya di Desa Candirenggo Kec Singosari Kab Malang. [cahyono]

Salah satu pekerja, Mujiono saat memproses pembuatan sandal spon yang dikerjakan di area rumahnya di Desa Candirenggo Kec Singosari Kab Malang. [cahyono]

Antara Hidup dan Mati, Kalah Bersaing dengan Produk Tiongkok
Kabupaten Malang, Bhirawa
Suasana mendung di wilayah Desa Candirenggo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang tidak membuat patah semangat para perajin rumahan dalam memproduksi sandal. Meski saat ini usaha mereka seperti pepatah Hidup Segan Mati Tak Mau atau kondisi usahanya sekarang antara hidup dan mati.
Kempang kempisnya usaha sandal spon di Desa Candirenggo karena peminatnya berkurang drastis, tidak seperti lima tahun yang lalu. Sandal spon yang diproduksi warga di sana saat ini kalah bersaing dengan sandal spon produk impor. “Saya saat ini hanya bisa bertahan saja. Sandal yang saya produksi ini, dalam lima tahun terakhir ini permintaannnya turun drastis,” kata Mujiono, salah satu perajin sandal spon kepada Harian Bhirawa belum lama ini.
Menurutnya, saat ini untuk memproduksi sandal spon dia hanya nunggu pesanan saja. Tidak memproduksi setiap hari karena jelas akan merugi. Karena sandal produksinya ini kalah bersaing dengan produk asing yang bahan bakunya lebih bagus, dan harga juga lebih murah. Sehingga jika harga sandal produksinya disamakan dengan produk impor,  dipastikan tidak akan balik modal. Sebab, harga bahan baku, ongkos pekerja, dan hasil penjualannya tidak seimbang.
Mujiono mengaku, saat ini dirinya sudah memiliki pasar tetap, tapi dengan adanya serbuan sandal spon produk Tiongkok, sandal buatannya ini terus mengalami penurunan produksi. Imbasnya  jumlah pekerja yang  dimiliki juga menyusut. Jika sebelumnya mencapai 20 orang, kini tinggal tiga orang. Sementara untuk kembali mengembangkan usahanya dia terbentur persoalan modal.   “Dan jika modal didapat dari kredit bank, yang pasti kesulitannya ada pada jaminan,” tuturnya.
Usaha produksi sandal spon ini, kata dia, saya mulai sejak 1999. Dia merintis  usaha dengan mengandalkan sisa tabungan, sebesar Rp 1,7 juta. Uang tersebut saya belikan bahan baku dan pendukung produksi, seperti spon, alat pelubang spon, bisban dan sol karet. Saat awal usaha hanya mampu memproduksi 20-30 pasang sandal. Namun, dari tahun ke tahun dia bisa terus mengembangkan sandal spon buatannya. Sehingga mampu memproduksi sandal sebanyak 800-1.000 pasang sandal, hingga memiliki pasar tetap.
“Sandal spon yang saya produksi ini, saya pasarkan di wilayah Malang Raya, dan berbagai daerah di Jatim. Di antaranya Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Pasuruan hingga Banyuwangi,” ungkap Mujiono.
Dijelaskannya produksi sandal spon yang dimiliki ini memiliki berbagai motif yakni sablon, polos, kembang, bola dan kotak-kotak. Sementara, untuk membayar gaji tiga pegawainya dia menggunakan  sistem borongan. Sehingga setiap minggu dia harus mengeluarkan uang untuk membayar gaji pekerja. Sedangkan besar uang yang dikeluarkan itu tergantung dari jumlah produksi sandal yang mereka buat.
“Kadang saya juga kasihan kepada pekerja yang selama ini membantu, jika tidak ada pesanan otomatis mereka menganggur. Tapi ketika saya paksakan untuk memproduksi setiap hari, maka pendapatan saya tidak bisa balik modal,” tegasnya.
Mujiono menyebutkan, harga jual sandal spon untuk laki-laki per kodinya atau berisi 20 pasang sebesar Rp 250 ribu, dan untuk sandal wanita Rp 200 ribu per kodi. Sementara, harga sandal spon produk Tiongkok  jauh lebih murah, yakni untuk sandal laki-laki dan wanita harga per kodinya tidak lebih dari Rp 200 ribu.
“Untuk itu saya berharap agar Pemkab Malang lebih memperhatikan perajin home industry. Karena selama ini belum ada pembinaan dan bantuan modal. Sehingga jika pemerintah tidak memperhatikan perajin, maka satu per satu perajin akan gulung tikar,” ujarnya.
Padahal, terang dia, Kecamatan Singosari sebagai salah satu wilayah di Kabupaten Malang yang paling banyak terdapat perajin home industry. Selama ini mayoritas perajin mencari terobosan sendiri, baik itu pemasaran, kerjasama, pelatihan hingga terkait modal kerja. Pemkab Malang terkesan mengabaikan home industry, padahal mereka adalah aset untuk  menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). [cahyono]

Tags: