Nasib Petani Tebu Kini Tak Lagi Semanis Gula

Anggota dewan saat meninjau Pabrik Gula Wonocolo Probolinggo.  Ribuan ton gula menumpuk di gudang karena tak terserap pasar, kalah dengan gula rafinasi.

Anggota dewan saat meninjau Pabrik Gula Wonocolo Probolinggo. Ribuan ton gula menumpuk di gudang karena tak terserap pasar, kalah dengan gula rafinasi.

Kota Surabaya, Bhirawa
Seperti peribahasa hidup enggan, matipun tak mau, itulah nasib yang kini tengah menyelimuti seluruh petani tebu di Jatim. Kondisi ini tak lepas dari maraknya gula rafinasi yang beredar di masyarakat.  Gula yang sebenarnya untuk konsumsi industri mamin, merembes  terus ke pasaran. Akibatnya gula lokal yang harganya di tingkat distributor 8-11 ribu per kg, kalah bersaing dengan gula rafinasi yang harganya Rp 6.500 per kg.
Dengan mata berkaca-kaca, Supardjo salah satu petani di wilayah Probolinggo mencoba mencurahkan isi hatinya yang sedang galau. Maklum sekitar Rp 500 juta uangnya belum terbayar oleh Pabrik Gula Wonolangan Probolinggo, karena memang tidak ada duit. Untuk melangsungkan kehidupannya sebagai petani tebu tidak dapat dia lakukan, karena tidak ada uang untuk membeli bibit dan pupuk. Tidak itu saja, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari dan menyambung hidup dia terpaksa utang tetangga dan makan seadanya.
“Kalau ini dibiarkan terus tanpa ada campur tangan pemerintah, entah bagaimana hidup saya dan keluarga. Karena itulah satu-satunya yang kami miliki demi menyambung hidup sehari-hari. Kalaupun harus kerja di luar, apa yang dapat saya kerjakan demi anak-anak yang masih sekolah,”tambah pria kurus ini dengan mata menerawang jauh.
Apalagi uang tersebut merupakan modal kerja yang terus diputar. Sementara sudah hampir satu tahun ini uang tebu yang digiling di pabrik tidak bisa keluar. Diapun tidak bisa menyalahkan pabrik gula, karena memang di gudang ribuan ton gula tidak laku dijual. Selama ini daerah pemasaran Jatim ada di Jawa Barat dan Jakarta, Bali dan sebagian wilayah Indonesia Timur dan daerah itu kini sudah dipenuhi gula rafinasi yang harganya memang cukup murah dibanding gula lokal yang harganya di pasaran mencapai Rp12 ribu per kg.
Di sisi lain, ayah dari empat putera ini menyesalkan sikap pemerintah pusat  yang lebih memilih diam daripada melindungi rakyatnya. Buktinya gula rafinasi yang seharusnya tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat karena alasan kesehatan justru dibiarkan beredar di pasaran. Sebaliknya pemerintah memberikan izin bagi pabrik rafinasi yang sebelumnya impor dan pemasaran terbatas untuk industri mamin saja.
“Bagaimana pemerintah dikatakan melindungi rakyatnya jika pabrik rafinasi dibiarkan berdiri di Indonesia. Ini jelas mematikan kami sebagai petani tebu yang di Jatim jumlahnya hampir ribuan ini,”papar Supardjo sembari menitikkan air matanya.
Nasib serupa juga dialami Teguh. Sebagai Manajer Pabrik Gula Wonolangan, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu nasib petani ini. Sebab dia pun dalam lima bulan ini tidak mendapatkan gaji karena gula yang menumpuk di gudang tidak bisa dijual ke pasaran. “Nasib saya dan teman-teman di sini disesuaikan dengan kondisi gula yang ada. Karena gula tak laku di pasaran, maka otomatis kami di sini tidak bisa gajian. Konsekuensinya kalau kita butuh uang, maka kita mengambil gula di gudang untuk dijual ke tetangga,”paparnya.
Tentu saja kondisi tragis ini  membuat Teguh ingin memberontak. Tapi bagaimana dapat dia lakukan karena seluruh pegawai pabrik gula dan petani tebu nasibnya sama dengan dirinya. Dan menurutnya kondisi tahun ini sangat tragis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. ”Pada 2013 di bulan yang sama gula kita masih dapat diserap pasar baik di Jatim maupun luar Jatim dan di kepulauan. Tapi saat ini sepertinya berhenti total,”tegas pria yang telah mengabdi di pabrik gula puluhan tahun ini.
Sementara itu, secara khusus Pakde Karwo panggilan akrab Gubernur Jatim Dr H Soekarwo SH, MHum mendesak kepada pemerintah pusat melalui Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan supaya menghentikan gula rafinasi yang membanjiri pasar dalam negeri agar gula lokal bisa terserap pasar.
“Kita harus desak pemerintah pusat supaya menghentikan produksi gula rafinasi karena ini bukan impor, tapi pabriknya di luar Jawa ada banyak. Mana mungkin gula lokal yang harganya sekitar Rp7 ribu hingga Rp11 ribu per kg bisa bersaing dengan melawan gula rafinasi yang harganya hanya Rp 6.500 per kg,” tegas mantan Sekdaprov Jatim ini.
Diakui Pakde Karwo protes petani tebu difasilitasi Pemprov Jatim bukan hanya  berupa surat, tetapi juga demontrasi langsung ke pemerintah pusat di Jakarta. “Kalau mereka akan demonstrasi lagi ke Jakarta, kita siap menfasilitasi tapi jangan banyak-banyak. Yang jelas Jatim sangat dirugikan jika persoalan ini dibiarkan berlarut-larut,” ungkapnya.
Bahkan pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu menduga ada upaya secara sistematis, terstruktur dan masif hendak mematikan pabrik gula secara perlahan-lahan. “Kalau pemerintah pusat membiarkan kondisi ini berarti sama saja secara struktural, sistematis, dan masif mematikan pabrik gula. Tulis saja biar pemerintah pusat mendengar keluhan masyarakat Jatim,” tambah Pakde Karwo dengan nada tinggi
Anggota DPRD Jatim Freddy Poernomo menjelaskan bahwa produksi gula di Jatim mencapai 1,3 juta ton. Sementara kebutuhan gula di Jatim hanya 450 ribu ton, sehingga ada surplus sekitar 900 ribu ton. “Produksi gula di Jatim menumpuk di gudang karena tak terserap pasar, akibat gula rafinasi membanjiri pasar nasional,” tegas politisi asal Partai Golkar.
Senada, H Rofik anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPRD Jatim berharap kepada Pemprov Jatim supaya bisa membatasi bahkan melarang gula rafinasi beredar di Jatim karena masih banyak dijumpai white sugar maupun ray sugar beredar di Jatim. “Sebaiknya Pemprov Jatim juga berani membatasi peredaran gula rafinasi untuk industri di Jatim karena banyak penyalahgunaan penyalurannya,” pungkas politisi asal Lumajang ini. [cty]

Tags: