Nasib UU Pilkada Tidak Ditentukan SBY

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Jakarta, Bhirawa
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga yang menentukan sah atau tidaknya UU Pilkada secara konstitusional. Oleh karena itu, tidak ditandatangi UU Pilkada oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bukan sesuatu yang penting.
“Nasib UU Pilkada ini tidak ditentukan SBY, tapi oleh MK. MK bisa nyatakan UU Pilkada baik sebagian itu bertentangan konstitusi atau nyatakan UU Pilkada konstitusional,” kata pengamat politik dari Sigma, Said Salahudin di Taman Ismail Marzuki,  Jakarta Pusat, Minggu (28/9).
Seperti diketahui, DPR resmi mengesahkan RUU Pilkada menjadi Undang-Undang lewat hasil voting. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah yang sebelumnya dipilih langsung oleh rakyat, berubah dipilih di DPRD masing-masing daerah. Partai Koalisi Merah Putih berhasil meloloskan pilkada melalui DPRD. Sebanyak 226 suara memilih pilkada melalui DPRD. Sedangkan, pilkada langsung hanya dipilih sebanyak 135 anggota.
Pengesahan sendiri tak lepas dari tindakan sebagian besar anggota Fraksi Partai Demokrat yang memilih walkout saat sidang berlangsung. Pasalnya, tambahan suara kader Demokrat seharusnya bisa menyaingi jumlah suara anggota dewan yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), pihak yang setuju dilakukannya pilkada lewat DPRD.
Menurut Said Salahudin, UU Pilkada itu juga sudah sah secara konstitusional, karena dipilih secara demokratis oleh anggota dewan dalam Sidang Paripurna. “Pengujian di MK tidak hanya materil, juga formil. Boleh jadi MK katakan (UU Pilkada) konstitusional, karena dipilih secara demokratis,”pungkasnya.
Sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kecewa dengan aksi walkout Fraksi Partai Demokrat dalam Sidang Paripurna RUU Pilkada serta enggan menandatangi UU Pilkada, dinilai tidak patut dalam bernegara.
Said Salahudin menyindir sikap SBY yang dinilainya tidak bisa membedakan posisi sebagai ketua umum partai dan presiden.
“SBY tidak bisa bedakan dirinya sebagai Ketum Partai Demokrat dan Presiden RI. Apa yang ia sampaikan soal Pilkada kemarin itu tentang hasil Paripurna DPR tidak jelas kapasitasnya, sebagai presiden atau ketum,” terangnya.
Said melanjutkan, sebagai Presiden RI dan juga Ketua Umum Partai Demokrat (PD),  SBY sangat sulit untuk membagi tugas, walapun sudah ada Ketua Harian Partai Demokrat.  “Ini repotnya rangkap jabatan, sebagai Ketum Demokrat terlepas pernyataan SBY itu, sesuatu yang sungguh-sungguh atau sandiwara adalah wajar. Tapi sebagai Presiden RI, pemegang kekuasaan eksekutif adalah menyalahi etika kalau eksekutif mempersoalkan atau menilai legislatif,”bebernya.
Dalam sudut tata negara, UU Pilkada dinyatakan clear dan tidak ada permasalahan. Presiden boleh ajukan RUU seperti RUU Pilkada ke DPR untuk dibahas bersama. “Tapi kekuasaan pembentuk UU ada di DPR. Dalam hal ini saya mau katakan kedudukan DPR lebih kuat dari presiden, apalagi dia yang usulkan,”tuntasnya.
Presiden, kata dia, hanya mempunyai kewenangan menandatangani UU yang telah disahkan oleh DPR. “Manakala presiden tidak tanda tangan, UU itu tetap berlaku. Ini perbedaan sistem presidensil kita dengan Amerika. Di sana presiden nggak ada kewenangan untuk ajukan RUU dan membahas RUU. Tetapi dia mempunyai kewenangan untuk hak veto,” pungkasnya.
Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan Presiden terpilih Jokowi harus berhati-hati menghadapi Koalisi Merah Putih (KMP). Dia harus mampu bersikap dingin pada KMP karena kini Jokowi yang butuh kekuatan mereka.
“Sekarang Jokowi-JK yang butuh partai-partai di Koalisi Merah Putih. 80 persen di daerah dikuasai mereka,” kata Emrus dalam diskusi yang bertajuk ‘Kabinet Trisaksi atau Transaksional” di Cikini Jakarta, Minggu (28/9).
Dia mengatakan, walau Presiden adalah Jokowi, namun kekuatan saat ini justru ada di tangan KMP. Pasca disahkannya pilkada melalui DPRD, kini KMP berada di atas angin. Posisi inilah, yang menurut Emrus, menjadi kekuatan KMP saat berhadapan dengan Jokowi. “Ketika Pilkada tidak langsung digolkan maka menguatkan nilai tawar ke Jokowi,” katanya.
Sementara itu PDIP akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi setelah DPR mengesahkan RUU Pilkada dipilih oleh DPRD.
“PDIP tetap akan berjuang walau telah kalah dalam pertarungan di DPR, bisa ditempuh proses hukum seperti judicial review di Mahkamah Konstitusi, di samping proses politik,” ujar Effendi Simbolon, politikus PDIP.
Effendi Simbolon mengatakan proses pemilihan kepala daerah lewat DPRD adalah bentuk pencabutan hak kedaulatan rakyat. “Rakyat seharusnya diberikan kedaulatan untuk memilih pemimpinnya. Itu tidak bisa ditawar lagi, murni hak rakyat, semestinya wakil rakyat sadar pemilihan itu harus diserahkan kepada rakyat, ” ujarnya.

Tak Permasalahkan
Sementara itu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tak mempermasalahkan kalau Undang-Undang Pilkada yang baru kepala daerah dipilih oleh DPRD dan bukan lagi oleh rakyat.
”Saya tidak masalah, diputuskan apa saja aku nggak apa-apa. Aku tidak tahu, namun yang jelas aku tidak ada ambisi apapun,” kata Risma kepada Bhirawa Sabtu (27/9) kemarin.
Risma menyatakan jika dirinya tidak bicara setuju atau tidak setuju terhadap sistem pemilihan kepala daerah langsung, namun Risma mengaku lebih sreg dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, karena menurutnya, pemilihan secara langsung akan lebih bisa diterima masyarakat.
”Aku tidak tahu tentang RUU Pilkada. Wong aku dulu bergulir  begitu saja. Yang penting yang terbaik untuk bangsa. Aku juga tidak mengalami dipilih oleh DPRD,” kata Risma.
Menurutnya dengan pilihan langsung, maka dirinya bisa mendengarkan langsung aspirasi dan kehendak dari masyarakat. Selain itu juga bisa memperhatikan kepentingan masyarakat.
”Aku tidak ngomong suka atau tidak suka terkait pemilihan tidak langsung. Kalau secara pribadi, enak dipilih masyarakat. Ini pendapat pribadi ya,” kata mantan Kabag Bina Program ini.
Terkait Pilwali Kota Surabaya, Risma mengatakan tidak akan maju lagi. ”Lah wong ora duwe duit kok maju (tidak punya uang kok maju),” tegasnya.
Risma sekali lagi mengatakan bahwa setelah selesai menjadi Wali Kota Surabaya dirinya memilih untuk menjadi dosen ITS. ”Waktu pertama mencalonkan menjadi Wali Kota Surabaya saya sudah mendaftar menjadi dosen jurusan perencanaan kota, bahkan saya sudah mendapat NIP,” tambahnya. [ira,dre,ins]

Butir-butir Krusial RUU Pilkada
1. Pilkada Serentak  
– Pemerintah mengusulkan pelaksanaan pilkada serentak pada 2015 dan 2018. Pada 2015, dilaksanakan pilkada serentak tahap pertama bagi seluruh gubernur, bupati dan wali kota yang masa jabatannya berakhir di tahun tersebut.
– Pilkada serentak tahap kedua berlangsung 2018 untuk gubernur, bupati dan wali kota yang masa jabatannya berakhir tahun 2016, 2017 dan 2018.
– Pada 2016 dan 2017 diisi pejabat sampai dengan terpilih kepala daerah definitif pada 2018. Pejabat bisa setahun, tidak dua tahun sekaligus. Sedangkan pilkada serentak secara nasional pertama kali bakal dimulai pada 2020.

2. Pengisian Wakil Kepala Daerah  
– Pengisian wakil gubernur, bupati, wali kota melalui mekanisme pengangkatan oleh pemerintah. Sebab wakil kepala daerah itu akan melaksanakan tugas jabatan administratif.
– Wakil kepala daerah berpeluang lebih dari satu. Artinya, akan ada dua wakil kepala daerah dalam suatu daerah.  Mekanisme penunjukan wakil kepala daerah dapat ditunjuk pemerintah atau DPRD.

3. Politik Dinasti  
– Pemerintah mengatur politik dinasti sedemikian rupa, agar terhindar uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
– Dalam RUU Pilkada, calon kepala daerah tidak boleh mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan petahana (incumbent). Misalnya mempunyai ikatan perkawinan dan kekerabatan (ke atas, bawah dan samping).

4. Penyelesaian Sengketa  
– Sengketa yang terjadi antar peserta pemilihan, lalu peserta pemilihan dengan penyelenggara sebagai akibat dikeluarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berkaitan penetapan calon kepala daera, diselesaikan terlebih dahulu di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
– Kalau tidak bisa, maka pihak yang merasa dirugikan bisa mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
– Selanjutnya, penyelesaian sengketa yang timbul akan dilakukan sesuai tahapan. Pengajuan gugatan yang diajukan ke PTTUN dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu selesai.
– Dilakukan pemeriksaan, mengadili dan memutuskan oleh majelis khusus oleh hakim khusus di lingkungan hakim karir. Putusan PTTUN hanya dapat melakukan kasasi oleh MA. Kasasi peluangnya satu kali.
– Sementara penyelesaian tindak pidana pemilihan, dilakukan penyelidikan oleh polisi. Berkas kemudian diserahkan ke penuntut umum lalu dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN), sidang pemeriksaan oleh majelis khusus.
– Sedangkan penyelesaian sengketa hasil pilkada bupati dan wali kota, diselesaikan di tingkat PT. Sementar untuk gubernur diselesaikan di MA.

5. Sumber Dana, Transparansi Pencalonan, dan Pengaturan Kampanye
– Sumber dana pilkada berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tapi dapat didukung melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).   Transparansi pencalonan akan dilakukan melalui uji publik.
– Pengaturan kampanye, difasilitasi dan diselenggarakan KPU Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Hal tersebut dinilai penting untuk menghindari kapitalisasi.
– APBN sendiri akan membiayai, debat publik, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, iklan dan rapat umum. Sedangkan di luar APBN hanya dibatasi dengan kegiatan pertemuan terbatas dan dialog atatu tatap muka.

6. Sanksi Terima Imbalan  
– UU Pilkada bakal mengatur ketat proses pilkada. Salah satunya terkait politik transaksional partai dan calon kepala daerah.  
– Partai dilarang menerima imbalan dalam proses pencalonan kepala daerah. Jika terbukti dikenai sanksi denda 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.  Partai yang terbukti menerima imbalan juga akan diumumkan ke media massa.

Rate this article!
Tags: