Negara Harus Hadir di Masyarakat, tapi Jangan Melakukan Hegemoni

Prof Dr Drs Hotman Siahaan (kiri) dan Drs Ahmad Munir (dua dari kiri) saat Sarasehan Mata Rakyat Mitra Birokrat yang digelar dalam rangka HUT ke-48 Harian Bhirawa di Hotel Mercure Grand Mirama, Kamis (6/10). [trie diana]

Prof Dr Drs Hotman Siahaan (kiri) dan Drs Ahmad Munir (dua dari kiri) saat Sarasehan Mata Rakyat Mitra Birokrat yang digelar dalam rangka HUT ke-48 Harian Bhirawa di Hotel Mercure Grand Mirama, Kamis (6/10). [trie diana]

Prof Dr Drs Hotman Siahaan dan Drs Ahmad Munir dalam Sarasehan Mata Rakyat Mitra Birokrat (3-Habis)
Kota Surabaya, Bhirawa
Ada kegelisahan dalam pikiran Prof Dr Drs Horman Siahaan terkait euforia masyarakat saat ini soal kehadiran negara dalam kehidupannya.  Sosiolog Universitas Airlangga Surabaya ini mengingatkan jika kehadiran negara yang terlalu berlebihan bisa berakibat hegemoni atau dominasi negara dalam setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat.
“Harus diingat selama 32 tahun Orde baru, kehadiran negara di masyarakat sangat hegemoni.  Bahkan soal kehidupan di atas ranjang pun diatur negara lewat program KB dengan membatasi jumlah anak, ” lontar Hotman mengawali analisanya saat menjadi nara sumber dalam sarasehan Mata Rakyat Mitra Birokrat yang digelar dalam rangka HUT ke-48 Harian Bhirawa di Hotel Mercure Grand Mirama, Kamis (6/10) lalu.
Alumnus S1 UGM 1976 ini menambahkan sekarang seolah muncul di masyarakat keinginan yang besar agar negara bisa hadir ketika masyarakat dalam persoalan.  Yang perlu diingat menurut Hotman bahwa jangan sampai hegemoni negara itu muncul lagi di era reformasi sekarang.
“Kebijakan negara itu selain legal harus juga rasional.  Jadi masyarakat harus bisa merasakan jika kebijakan negara itu masuk akal, bukan hanya memenuhi unsur legal formal, ” tambah Dekan Fisip Unair Surabaya era 2001 – 2007 ini.
Kehadiran negara memang perlu di masyarakat.  Batasan tidak terlalu mendominasi tetap menjadi sebuah syarat yang harus dipenuhi oleh negara.  Selain itu hadir atau tidaknya negara di masyarakat harus dijadikan sebagai hak negara dan bukan sebagai kewajiban.
“Hadir atau tidaknya negara di masyarakat itu biarlah menjadi hak bagi negara.  Sehingga bukan lagi sebuah kewajiban.  Sehingga tidak bisa lagi muncul hegemoni negara dalam masyarakat, ” tandas pria peraih Sayta Lancana Karya Satya XXX pada 2015 dari Presiden ini.
Selain itu format hukum di Indonesia juga tidak memberikan ruang bagi para birokrat untuk berkreasi dan berinovasi. Misalnya aturan di Indonesia selama ini hanya menggariskan birokrat untuk melakulan penyerapan anggaran secara maksimal dan Spj (Surat Pertanggungjawaban) nya benar.
“Aturannya belum mengatur untuk mendorong birokrat berinovasi. Mereka hanya menghabiskan anggaran dan Spj nya benar.  Itu saja,” beber Hotman.
Sementara itu ketua PWI Jatim Ahmad Munir memaparkan materi terkait pragmatisme pers.  Menurut pimpinan lembaga pemberitaan Antara Jatim ini,  secara idealisme media hadir bersama pemerintah adalah mendukung maayarakat dalam pembangunan.
“Makanya diperlukan sebuah strategi khusus pemerintah daerah dalam membangun komunikasi dengan kalangan media,” lontar wartawan senior ini.
Di hadapan peserta sarasehan yang di antaranya terdapat sejumlah kepala daerah,  Munir berbagi strategi pola kepemimpinan kepala daerah dalam menilai kinerja insan pers.
“Kepala daerah itu harus pas dalam memilih humas,  karena seorang humas itu yang  berhubungan langsung dengan media, dan humas itu merupakan corong pemerintah daerah.  Makanya penting sekali kepala daerah dalam memilih seorang humas, ” tambah Munir.
Sekarang ini,  menurut Munir pragmatisme pers harus bisa membangun pola sinergi dengan birokrasi. Salah satu bentuknya yakni dengan timbal balik antara pemerintah dan media berupa iklan.  Baik pemerintah maupun media sama-sama mendapatkan keuntungan dalam berinteraksi di bidang iklan.
“Tapi yang perlu dipahami rekan-rekan media bahwa jangan sampai iklan itu membungkam daya kritis media. Bahwa pramagtisme harus tetap tanpa mematikan idealisme pers,” pungkas Munir.
Ditemui usai sarasehan,  Suko Widodo yang didapuk menjadi moderator sarasehan meninggalkan sejumlah catatan kepada Harian Bhirawa selaku penyelenggara.  Terkait narasumber yang dihadirkan,  Suko menilai sudah sangat istimewa.
“Semua nara sumber sudah pas di bidangnya.  Mereka itu aset Jatim, ” terang Suko Widodo.
Hanya saja Suko menilai ada yang kurang dari sisi peserta sarasehan.  Dengan hanya menghadirkan birokrat dan kepala daerah sebagai peserta,  forum tersebut tidak lebih hanya menjadi ajang testimoni.
“Ke depan Harian Bhirawa bisa melibatkan kalangan mahasiswa sebagai peserta.  Ajak seluruh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa,  red)  untuk menjadi peserta sarasehan.  Suasana pasti lebih dinamis dan hidup, ” pungkasnya. [Karyadi]

Tags: